Selamat Datang

Selamat membaca artikel yang kami sajikan.

06 September 2011

Di Al Haram Tak Ada Yang Tersinggung

Di sini bukan hanya simbol-simbol ibadah agama yang harus kalah oleh kepentingan umum, bahkan ibadah itu sendiri. Di sini terjadi, ibadah bisa ditafsirkan sebagai kepentingan pribadi yang di atas itu berarti masih ada kepentingan umum yang harus diutamakan, apa pun arti kepentingan umum itu.
 
Di sini, di dalam masjid yang teragung ini, tak terbayangkan sembahyang ada kalanya harus kalah oleh kepentingan umum. Di dalam Masjid Al Haram Makkah Al Mukarramah ini, sembahyang bisa tiba-tiba dihentikan: ketika sembahyang itu menghalangi berfungsinya fasilitas umum.

Di sini begitu sering terjadi: ketika salat baru saja dimulai, petugas sudah datang menyuruhnya berhenti. Bahkan menyuruhnya pergi. Menyuruh pindah lokasi (menyuruhnya kadang dengan mendorong-dorong orang yang lagi khusyuk sembahyang itu) agar tugas membersihkan lantai itu tidak terhalangi.

Bagaimana bisa terjadi di sini, di dalam masjid yang paling dimuliakan di bumi ini, orang yang lagi sembayang bisa mengalah: mengalah dengan kepentingan dibersihkannya lantai. Mengalah demi  kelancaran arus orang yang berlalu-lalang.
 
Hanya di sinilah, di dalam masjid ini, petugas berlaku sangat tegas. Mulai petugas ketertiban hingga petugas pengepel lantai. Mereka begitu tidak peduli terhadap kepentingan pribadi. Kalau lantai itu sudah waktunya disiram cairan kimia sebelum dipel, petugas cukup berteriak: pergi! pergi! Dan bagi yang tidak pergi, dengan alasan lagi sembahyang sekalipun, tak terhindarkan: kakinya bakal disiram.

Kalaupun basah itu belum membuatnya beranjak, alat pengepel yang besar akan menyingkirkan orang yang lagi sembahyang itu. Kebersihan bukan saja sebagian dari iman sebagaimana doktrin Islam, tapi juga menjaga kebersihan masjid yang tidak pernah kosong itu adalah bagian dari kepentingan umum yang harus diutamakan, mengalahkan orang sembahyang yang jelas-jelas hanya untuk kepentingan pribadi orang itu.
 
Demikian juga petugas ketertiban masjid itu. Tidak kalah tegasnya. Kalaupun ada yang ngotot sembahyang di dalam masjid, tapi menempati jalur jamaah yang digunakan lalu-lalang (entah jalur ke Kakbah atau ke Sofa/Marwa, atau juga ke pintu-pintunya, jangan harap bisa tenang. Di tengah Anda sedang sembahyang pun badan Anda bisa ditarik-tarik atau disorong agar hengkang.
 
Tidak ada yang tersinggung. Misalnya dengan alasan telah melecehkan orang yang lagi bersembahyang. Tidak ada yang marah. Misalnya dengan alasan menghina orang yang lagi beribadah. Tidak ada yang protes. Misalnya dengan alasan praktik keagamaan telah dihinakan.
 
Di sini, hanya di sini, terjadi peraturan ditegakkan mengalahkan peribadatan. Di sini, hanya di sini, terjadi orang tidak bisa memaksakan kepentingan pribadi dengan dibungkus alasan keagamaan sekalipun.     
 
Saya pun tertegun: mengapa di sini orang tidak mudah tersinggung? Mengapa di sini orang tidak mudah marah?
 
Di sini, lagi-lagi hanya di sini, tidak ada jamaah yang tersinggung oleh sandal dan tidak marah oleh sepatu. Biarpun sandal itu dan sepatu itu ditaruh begitu saja di belakang tumit kakinya yang berarti juga tempat wajah bersujud bagi barisan jamaah di belakangnya.

Di sini tidak ada yang memperdebatkan membawa najiskah sandal itu? Tidak ada yang tersinggung mengapa sandal masuk masjid.
 
Ataukah citra sandal dan sepatu yang identik dengan najis memang sudah waktunya harus berubah? Dulu, di masa yang lalu, ketika di sekitar masjid masih berkeliaran ayam dan kambing, ketika masyarakat sekitar masjid masih sangat agraris, barangkali sandal dan sepatu memang sering bernajis.

Tapi, kini? Ketika dari rumah langsung masuk mobil dan dari mobil masuk ke masjid, masih adakah potensi najis itu? Atau dalam kasus Makkah, sandal itu hanya mondar-mandir dari hotel ke masjid? Tidakkah sudah lebih kecil jika dibandingkan dengan potensi najis dari kencing cicak dan coro dan tikus (eh, kencing jugakah cicak?) yang berkeliaran di dalam masjid?
 
Di sini, di Masjid Al Haram yang sangat agung ini, bermula perubahan sikap akan sandal dan sepatu. Juga pengutamaan kepentingan umum atas kepentingan pribadi "biarpun kepentingan pribadi itu terbungkus keagamaan dan peribadatan.
 
Oleh: Dahlan Iskan (Direktur Utama PT PLN)

24 Juni 2010

Membangun Morale Pajak ( Rhenald Kasali)

Ketika ribuan orang dan para elite mencaci-maki Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak gara-gara Gayus Tambunan, lenyaplah morale (spirit,kegigihan,dan kegairahan) para pegawai.

Hal yang sama saya rasakan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat proses “kriminalisasi” pimpinan berlangsung, mulai dari kasus Antasari sampai Bibit-Chandra. Sayang, pimpinan yang tinggal dua di KPK saat itu terlalu sibuk untuk memikirkan masalah morale ini. Informasi yang saya temui menyebutkan, gangguan psikologis mulai membuat mereka lamban bertindak.

Hal serupa bisa saja terjadi di Ditjen Pajak. Apalagi mantan dirjennya, yang dulu mungkin tak berbuat apa-apa, hampir setiap hari muncul di televisi mencacimaki Ditjen Pajak. Dia merasa Ditjen Pajak dulu lebih baik daripada sekarang. Terhadap ocehan seperti ini, secara kritis saya hanya bisa mengatakan,” Apa kata dunia?” Beruntung, pemerintah segera merumuskan pengganti mereka yang tak kalah cekatannya.

Dan beruntung pula di Ditjen Pajak sudah ada hasil yang memadai dari reformasi birokrasi perpajakan jilid satu yang lalu. Beruntunglah Ditjen Pajak segera bertindak, menyatukan morale yang dipelopori para reformer yang “gerah” dikait-kaitkan dengan Gayus. Apa yang harus dilakukan Ditjen Pajak untuk memperkuat pilar bangsa agar dana pajak dapat terus ditingkatkan dan diamankan dari orang-orang rakus?

Halte Bus Gayus

Melalui siaran televisi Anda sudah sering menyaksikan kondektur bus yang melewati Kantor Ditjen Pajak di dekat jembatan Semanggi, menyebut kantor itu dengan nama Gayus. Begitu kerasnya amarah rakyat terhadap Gayus, sampai seluruh insan Ditjen Pajak terkena imbas. Beberapa orang muda pegawai pajak yang naik bus kota bahkan memilih untuk turun di halte bus sebelum atau setelah halte Gayus lalu berjalan kaki sejauh 1-2 km menuju kantor.

Seperti masyarakat umum,mereka juga kecewa pada atasannya, terlebih pada yang terlibat kasus Gayus. Mereka marah besar, apalagi selama ini sudah bertekad antikorupsi. Bekerja di Ditjen Pajak hidup mereka benar-benar berada dalam ujian. Setiap hari orang datang merasakan kompromi beserta amplop tebal.Tapi,kalau Anda tanya kepada pembayar pajak seperti saya, saya yakin jawabnya akan sama: Banyak pembaruan yang telah mereka lakukan.

Seorang mantan pegawai pajak di era lalu mengatakan,“Dulu 8 dari 10 petugas pajak adalah markus dan pemburu amplop. Sekarang jumlahnya sudah jauh berkurang, tetapi masih ada,mungkin 2 dari 10”. Mendengar ucapan itu, saya jadi tersenyum,bagaimana mantan Dirjen Pajak yang sekarang menjadi praktisi dan sering muncul di televisi bisa bilang,zaman dia itu jauh lebih baik dari sekarang.

Tetapi, itulah politik, penuh intrik, balas dendam, tapi tidak kritis, cuma sinis. Yang mereka suka tidak berpikir panjang adalah apa dampaknya bagi nasib bangsa di kemudian hari? Bayangkan kalau orang pajak yang bagusbagus ramai-ramai mengundurkan diri. Atau kalau mereka jadi tak bergairah memburu wajib pajakwajib pajak kakap? Morale kerja adalah modal utama seorang pegawai.Sejak mazhab learning dalam manajemen hidup, aliran Isaac Newton yang kaya dengan logika terstruktur sudah lama ditinggalkan.

Manusia tidak bisa lagi dipandang sebagai komponen yang sama dan standar. Dia juga bukanlah sebuah objek yang duduk dalam hierarki vertikal pada suatu jajaran birokrasi. Manusia adalah makhluk hidup yang dilahirkan dengan nalar, kehendak, dan perasaan. Ketika kita gagal memahaminya,gagal pulalah kita memartisipasikan mereka. Untuk itulah,kita perlu terus menumbuhkan morale birokrasi, terutama jajaran yang ditugaskan untuk menghimpun dana dalam jumlah besar.

Ciri-ciri morale dapat dilihat secara kasatmata dalam daya juang, semangat hidup, daya kreasi, daya tangkal, dan tentu saja besarnya goals yang mereka tetapkan. Sedangkan morale yang memburuk dapat dilihat dari kegairahan yang memudar, bekerja karena diperintah, ketidaksempurnaan pencapaian target, konflik, keinginan untuk berhenti, tak ada inisiatif, dan saling menyalahkan.

Lingkaran Baik

Pekan lalu Rumah Perubahan diminta bantuan untuk membangun kembali morale aparat Ditjen Pajak. Ini untuk kesekian kalinya saya membantu temanteman Ditjen Pajak sehingga saya agak kenal siapa mereka, apa pergulatan yang mereka hadapi, dan bagaimana perubahan menghantam mereka. Sembilan tahun lalu saya mulai bergulat dengan mereka menantang asumsi-asumsi yang mereka anut selama bertahun-tahun dan mengajak keluar melawan belenggu-belenggu.

Lalu ketika Darmin Nasution memimpin Ditjen Pajak, saya juga diminta memberikan pengarahan tentang Strategic Change & Planning dalam mengawal reformasi pajak jilid satu. Semua program perubahan di Ditjen Pajak mereka kerjakan sendiri praktis tanpa bantuan konsultan.Padahal di luar sudah banyak konsultan asing yang menganga di depan mereka. Sebagai guru perubahan, saya selalu mengatakan empat hal ini.

Pertama, perubahan selalu datang bersama teman-temannya yaitu penyangkalan, perlawanan (resistensi), kecurigaan, dan pengkhianatan internal.Kedua, perubahan tidak pernah bergerak lincah seperti garis lurus yang mengikuti pola teratur. Perubahan memiliki dua pola berbentuk spiral yaitu lingkaran baik dan lingkaran setan. Lingkaran spiral itu dapat dijelaskan seperti orang yang menaiki gunung.

Dia melewati lekuk liku kontur gunung yang kadang menanjak,lalu menurun, dan naik lagi.Meski banyak melewati turunan, arahnya menuju puncak dapat dilihat. Sedangkan lingkaran setan tak memberi kepastian tujuan. Bila ada masalah setelah lama berhasil, dia segera menukikkan balik ke titik nol. Seperti kata Chairil Anwar,” Sekali berarti,lalu mati.” Ketiga,tidak semua orang dapat diajak berubah.

Ibarat tanah di perbukitan yang tandus ingin diubah menjadi hutan,hendaknya kita tak perlu berambisi dengan menanam semua titik. Kita cukup menanam benih pada tanah yang subur, dan mendiamkan batu-batu besar berada di sana. Lalu pohon-pohon besar itu akan mengeluarkan biji. Biji-biji dibawa musang, tikus, bajing, dan seterusnya menambah area persebaran. Lama-lama batu tertutup oleh pohon-pohon besar, dan bukit menjadi hijau.Namun, batu tetaplah batu,bukan tanah.

Keempat,perubahan harus dimulai dari kesamaan cara pandang. Dari semua orang yang melihat, bahkan hanya 20% yang bergerak.Maka ketika Ditjen Pajak mendapat serangan,saya kira harus ada orang yang mengambil peran. Bukan untuk melakukan pekerjaan sia-sia mengetuk batu, melainkan melindungi pohon-pohon yang sudah tumbuh. Itulah tugas mulia kita,menjaga agar reformer pajak jangan dijadikan tumbal wajib pajak bermasalah.

Pesan Menteri Keuangan

Harus diakui sudah ada banyak reformer di Ditjen Pajak. Mereka menulis perasaan mereka pada buku berjudul Berbagi Kisah dan Harapan. Cara menulisnya memang masih amatir,tetapi itulah isi perasaan insan pajak yang secara garis besar selalu mengatakan, “Ingat pesan itu dari kampung. Hidup bermartabat bukan dengan uang korupsi.”

Di penghujung acara selama tiga hari pekan lalu itu, Menteri Keuangan (Menkeu) berpesan: Musuh terbesar birokrasi adalah rasa sungkan bawahan terhadap atasannya dan sungkan sesama pejabat. “Beranilah menyampaikan yang benar. Bila perlu, berdebatlah,” ujar mantan CEO Bank Mandiri itu. Saya kira Menkeu Agus Martowardojo sangat tepat. Ini musuh bersama reformasi birokrasi yang harus dihadapi bersama.

Kalau birokrasi kita lebih profesional, mereka akan mendahulukan halhal yang utama ketimbang mementingkan kehendak orang lain yang belum tentu penting. Saya mengerti rasa berang kita terhadap aparat perpajakan belumlah pupus. Namun, mereka yang mau berubah dan menjadi reformer harus diberi apresiasi. Bersama merekalah kita melawan para koruptor dan pengemplang pajak yang berlindung di balik kekuatan atau motif-motif balas dendam politisi kotor.

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI

dari situs Intranet DJP: http://portaldjp/berita/Pages/MembangunMoralePajak.aspx

17 Mei 2010

Krisis Yunani dan "Logika Century"

Yunani adalah sebuah negara dengan kekuatan ekonomi kecil di Eropa bagian selatan. Produk domestik brutonya ”hanya” 350 miliar dollar AS, yang dalam peta dunia berada di peringkat ke-27. Indonesia dengan produk domestik bruto sekitar 600 miliar dollar AS menduduki peringkat ke-16.

Kalau memakai logika yang digunakan Panitia Khusus (Pansus) DPR dalam kasus Bank Century, krisis ekonomi Yunani tidak perlu ditalangi. Alasannya, perekonomian Yunani kecil, tidak berpotensi menyebabkan kehancuran ekonomi negara Eropa lainnya. Tidak berisiko sistemik.

Semula memang demikian. Negara-negara Eropa awalnya tidak berhasil menyepakati, apakah Yunani perlu ditalangi. Pada 2 Mei 2010, negara-negara pengguna euro dan Dana Moneter Internasional (IMF) menyepakati talangan 110 miliar euro, atau setara 145 miliar dollar AS.

Namun, jumlah ini dinilai jauh dari cukup. Utang Pemerintah Yunani 406 miliar dollar AS, atau setara 115 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Mana cukup dana talangan 145 miliar dollar AS untuk mengatasi krisis utang ini? Pada Minggu (9/5), dana talangan dinaikkan menjadi 750 miliar euro (1 triliun dollar AS).

Cukupkah jumlah ini? Belum tahu, tetapi setidaknya bisa mengurangi kekhawatiran menularnya krisis Yunani ke seluruh Eropa. Mengapa negara-negara Eropa begitu waswas terhadap Yunani? Bukankah Yunani negara kecil di bagian selatan, yang ukuran perekonomiannya ”hanya” sekaliber Portugal, dan bukan negara utama Eropa seperti Jerman, Perancis, Inggris, dan Italia?

Tidakkah mereka menggunakan ”logika Century”, krisis ekonomi di negara kecil tidak akan merembet ke negara-negara lain, apalagi negara-negara besar?

Negara yang perekonomiannya terkuat di Eropa adalah Jerman (4 triliun dollar AS), disusul Inggris dan Perancis (masing-masing 3 triliun dollar AS), serta Italia (2,5 triliun dollar AS). Ukuran ekonomi Yunani kurang dari sepersepuluh Jerman. Adapun PDB gabungan semua negara pengguna euro adalah 14 triliun dollar AS. Berarti, size ekonomi Yunani hanya 2,5 persen terhadap PDB total negara-negara euro. Namun, faktanya, krisis Yunani menyebabkan kepanikan dan memaksa negara-negara euro dan IMF turun tangan lebih serius. Mengapa?

Jawabannya sederhana. Sama dengan Yunani, perekonomian Eropa sekarang menghadapi utang luar negeri yang besar. Sesudah krisis global membesar sejak bangkrutnya Lehman Brothers di New York, 15 September 2008, praktis semua negara besar, terutama AS dan negara-negara Eropa, menjalankan program penalangan dan stimulus fiskal. Ini dilakukan karena kebijakan moneter berupa penurunan suku bunga kurang efektif dilakukan saat perekonomian tercekam krisis.

Suku bunga rendah tidak serta-merta dapat mendorong pertumbuhan konsumsi dan investasi, karena konsumen dan investor masih dicekam pelemahan kepercayaan. Dalam situasi ini, kebijakan moneter cenderung kurang efektif, dan pemerintah harus mengambil alih tanggung jawab dengan mendorong sisi fiskal.

Itulah sebabnya, AS dan Eropa memompa perekonomian domestiknya melalui kenaikan belanja pemerintah, yang menaikkan defisit anggaran. Defisit fiskal AS tahun ini bahkan sampai 1,6 triliun dollar AS. Utang Pemerintah AS kini 12 triliun dollar AS, terbesar di dunia. Rasio utang Pemerintah AS terhadap PDB kini 84 persen, sedangkan rasio negara-negara pengguna euro rata-rata 80 persen. Rasio tertinggi, yang berarti terburuk, dialami Yunani dengan 115 persen. Defisit anggaran Yunani juga sangat tinggi, yakni 13,6 persen terhadap PDB.

Ini tidak lazim karena konsensus ekonom dunia bagi negara berkembang adalah defisit 2 persen, dan untuk negara industri bisa ditoleransi hingga 4-5 persen. Dalam situasi darurat seperti sekarang, defisit anggaran AS mencapai 10 persen. Sangat besar, tetapi tetap di bawah Yunani.

Problem lain adalah neraca perdagangan. Ekspor Yunani 2009 cuma 19 miliar dollar AS, impornya 62 miliar dollar AS. Ekspor ataupun impor dilakukan dengan negara-negara Eropa. Defisit perdagangan 43 miliar dollar AS ini sangat besar. Itu sebabnya, cadangan devisa Yunani cuma 4 miliar dollar AS. Bandingkan dengan Indonesia yang menuai surplus perdagangan 22 miliar dollar AS (2009) dan cadangan devisa 77 miliar dollar AS (akhir April 2010).

Mengapa Eropa dan IMF perlu menyelamatkan Yunani? Jika mereka tidak menyediakan dana talangan, maka imbal hasil obligasi yang diterbitkan Yunani akan terus meningkat. Ini akan menular ke negara-negara lain. Pemerintah Eropa dan AS akan kesulitan menerbitkan obligasi, yang jadi sumber utama pembiayaan anggaran.

Dengan kata lain, krisis ekonomi akan ditularkan Yunani ke negara-negara lain yang sesungguhnya belum pulih dari krisis. Negara-negara Eropa tidak boleh membiarkan Yunani bangkrut. Meski besaran krisis Yunani tidak besar, efek penularan melalui transmisi sektor finansial (penerbitan obligasi pemerintah) serta tekanan psikologis akibat tekanan fiskal di banyak negara tidak boleh dipandang enteng.

Sayang, pelajaran dari Yunani kita peroleh sesudah hiruk-pikuk kasus Century mereda. Padahal, kasus Yunani bisa memudahkan pemahaman DPR dan masyarakat bahwa janganlah keputusan menalangi Century hanya didasarkan pada besar-kecilnya ukuran sebuah bank. Bank sekecil Century (aset saat krisis Rp 14 triliun) bisa saja menularkan kepanikan di sektor finansial (bukan di sektor riil) tatkala kondisi sektor finansial sedang terhuyung-huyung. Sebaliknya, menutup Century tidak berisiko sistemik jika fundamental sektor finansial dan perekonomian makro sedang kokoh.

Apakah krisis Yunani akan menyebar dan berdampak terhadap perekonomian Indonesia? Rasanya tidak. Krisis subprime mortgage di AS saja tidak berdampak besar pada Indonesia, hanya menurunkan pertumbuhan ekonomi dari 6,1 persen (2008) menjadi 4,5 persen (2009). Apalagi krisis Yunani sudah mendapat perhatian serius dari negara-negara besar dan dijadikan ”musuh bersama”.

Namun, bukan berarti kita boleh mengendurkan kewaspadaan karena konon Portugal juga akan segera menyusul menjadi ”pasien” berikutnya.

Oleh: A Tony Prasetiantono Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/17/05252385/krisis.yunani.dan.logika.century