Selamat Datang

Selamat membaca artikel yang kami sajikan.

30 April 2008

Pesawat F-16

Setelah Papa lulus dari sekolah penerbangan Perancis, beliau menikah dengan mamaku. Papa seorang kulit hitam, namanya Charles Jacquet, mamaku seorang kulit putih, namanya Isabell Louvrett. Keluargaku cukup demokratis, oleh karena itu, bagi Papa, pernikahan tidak memandang perbedaan kulit. Cara berpikir itu pula yang mendorong Papa untuk pindah ke Amerika. Baginya dunia itu luas, di manapun kita berada, asal mau berusaha, pasti kita menjadi seseorang. Oleh karena itu kami pindah ke Portland . Papa ditawari menjadi penerbang di suatu perusahaan. Di sana beliau menjadi Pilot pesawat Air Bus dan menerbangkan pesawat ke banyak wilayah di Amerika.

Papa mempunyai sebuah cita-cita. Ada sebuah pesawat yang sangat dicintainya. Kecepatannnya luar biasa, mach2, selain itu bodinya sempurna. Pesawat kebanggaan Amerika ini menjadi cita-cita papaku. Namanya F-16. "Voir ma dear, lihat sayang," Ujar Papa suatu kali di pangkalan pesawat terbang, tempatnya bekerja. Beliau menunjuk ke sebuah pesawat indah.Itulah F-16. "Suatu hari, Papa akan menaikinya, begitu pula dengan Mama dan kamu ma pouppette." Saat itulah aku tahu, betapa tingginya cita-cita Papa. Beliau bukan berasal sekolah militer, dan bukan warga negara asli Amerika. Hampir tidak mungkin baginya untuk menjadi anggota AU Amerika. Tapi cita-cita itu tetap dipegangnya dengan teguh dalam hati. Ya, cita-cita indah tentang menaiki burung besi yang bagaikan seekor rajawali.Tujuh tahun telah berlalu sejak kepindahan kami. Usiaku sudah 12 tahun.Papa kini menjadi salah satu pegawai yang disegani di perusahaannya. Mama juga meneruskan kuliahnya, dia mengambil jurusan sastra Perancis. Jelas terlihat pada dirinya, betapa ia masih mencintai Perancis. Di rumah pun, bahasa Inggris masih terbatas pemakaiannya. Hampir sepanjang hari mama berbicara dengan bahasa Perancis. Terkadang kalau kami bepergian dengan taksi, mama suka tiba-tiba
berkata, "Conduisez-moi a...ups, I mean, take me to..." Kalau sudah begitu, papa dan aku hanya bisa tertawa kecil.

Teman-temanku di sekolah pun cukup heran dengan keberagaman keluargaku. Apalagi kalau ada pertemuan orangtua murid di sekolah. Guru-guruku selalu memanggil nama mamaku bekali-kali, padahal beliau sudah ada di hadapan mereka. Maklum, kulitku hitam seperti Papa, walaupun mataku biru seperti mama. Tapi ini semua membuatku bangga. Tidak semua anak beruntung sepertiku. Ya, kan?

Segala sesuatunya berjalan normal, Papa bekerja, Mama kuliah, dan aku sekolah. Tapi suatu hari, sesuatu yang benar-benar merubah kami sekeluarga.
"Jai faim, Mama. Saya lapar, Mama," ujarku kepada Mama ketika tiba-tiba Papa masuk tanpa mengetuk pintu dahulu. Karena Papa baru pulang setelah seminggu penuh bekerja, aku segera berlari menujunya, biasanya, Papa akan langsung menggendongku sambil mengajakku bercanda. Tapi hari itu, dia hanya mengelus kepalaku, sambil tersenyum, dalam sekali. Lalu, tanpa basa-basi, Papa memeluk Mama, dan mulai menangis, pelan. Saat itu, pertama kalinya aku melihat laki-laki yang paling kubanggakan menangis seperti itu. Saat itu, aku hanya memandangi, dan tidak tahu apa yang terjadi .
Ketika melihatku, Mama segera berkata, "Aller pour tranguille, dear, I'll bring your dinner, in a few minutes, okay?" ujar Mama lembut. Aku lalu naik ke atas dengan perasaan bingung. Selama 3 jam Mama dan Papa ngobrol di bawah, sepertinya menggunakan bahasa Perancis yang "complicated" sekali. Perutku yang lapar tidak terasa lagi, aku hanya ingin tahu, ada apa di bawah sana. Esok paginya aku terbangun. Rupanya semalam aku  ketiduran. Cepat-cepat aku turun ke bawah. Hari ini hari Sabtu, sekolah libur. Begitu sampai di bawah,sudah ada Papa dan Mama menunggu di meja makan. Wajah mereka cerah sekali, bahkan jauh lebih tenang dari biasanya. Seperti ada jiwa baru di mata mereka yang membuat segala sesuatunya lebih baik. "Bonjour, ma
pouppete," Ujar Papa sambil menenggak kopi hangatnya. "How's your sleep dear? Waktu mama ke kamarku semalam, kamu sudah tertidur.Jadi, pagi ini ada masakan istimewa, omelet kesukaanmu." Keduanya tampak
berseri. Tapi kebingunganku, belum juga reda. Papa melihat itu, lalu menyuruhku duduk di dekatnya.

"Siapa Tuhanmu, Anna?" Pertanyaan Papa yang aneh dan tidak biasa itu mengejutkanku. Papa belum pernah bertanya seperti itu, bahkan menyinggung- nyinggung hal itu pun jarang. Iya, kami merayakan natal setiap tahun, seperti orang lain. Setiap Paskah selalu ada ayam kalkun di meja makan. Terkadang kami ke gereja, di rumahku juga ada Bible. Tapi mempelajarinya? Membukanya pun, hanya pada saat-saat khusus itu. Papa,
atau Mama, yang memang sangat demokratis, benar-benar tidak peduli tentang itu. Aku pun tidak, selama kami bahagia, itu sudah cukup.
Tapi kujawab juga pertanyaan papa, sepanjang pengetahuanku. "Yesus, Papa," Jawabku. "Lalu bagaimana dengan Tuhan Bapa?" Pertanyaan Papa benar-benar membingungkanku. "D-Dia juga, Papa," jawabku ragu. "Lalu, Roh Kudus?" Hatiku gelisah, apa maksudmu Papa? "Iya! Dia juga Tuhan!" "Lalu, ada berapa Tuhan kalau begitu?" Aku teringat kata pastur yang masih membingungkanku sampai sekarang."Semuanya satu Papa, hanya satu!" "Kamu yakin Anna? Apa tiga sama dengan satu?" Aku terdiam. Aku gelisah dan heran, apa maksud papa bertanya seperti ini. Lalu Papa merubah pertanyaannya.

"Menurutmu, kalau ada, misalnya, dua yang sempurna, diberi kesempatan untuk menguasai dunia, apa yang mereka lakukan?" Tanya Papa. "Bi-bisa saja mereka berebut atau bekerja sama, Papa," jawabku. "Misalnya mereka bekerja sama, dan yang satu tidak setuju dengan yang lainnya apa yang bakal terjadi?" "Me-mereka akan bertengkar Papa." "Tepat, my little, pouppete, satu lagi kalaupun mereka bekerja sama bukanlah pola pikir mereka sama, sehingga dalam menciptakan sesuatupun sama. Apakah perlu dua orang kalau begitu?" tanya Papa.
"Tidak Papa, satupun cukup." Papa lalu tersenyum mendengar ucapanku.
"Kalau begitu, apa perlu Tuhan yang banyak?" Aku terdiam. Jauh di dalam hatiku seperti ada sinar terang. Ya, aku memang baru berumur dua belas tahun, tapi perasaan itu benar-benar terasa di dalam hatiku.

"Tidak Papa, cukup satu," jawabku mantap. Tiba-tiba air mata Papa tumpah,Mama juga. Dengan suara bergetar, Papa bertanya."Terakhir dear, apa kamu percaya Tuhan?" Saat itu, bagaikan sekelilingku benar-benar sunyi senyap. Aku teringat betapa indah semua pertanyaan yang pernah kualami. Melihat bintang-bintang di planetarium, alam Perancis yang luar biasa, bukan hanya itu, segala sesuatu yang pernah kulihat selama ini Pasti ada yang membuat. Di pelajaran Biologi di sekolah, benda hidup tidak mungkin berasal dari benda mati. Kalau begitu, pasti segala sesuatu ini ada yang meciptakan, dan itu adalah...
"Ya, Papa. I believe in God." Kedua orang tuaku tesenyum. Damai sekali.Tanpa sadar aku menitikan air mata, seperti aku baru terbangun dari mimpi panjang , dan pertama kali melihat cahaya. Rupanya ini yang membuat Papa menangis. Kembalinya keyakinan dalam dirinya. Ya, Papa telah menemukan Tuhannya.
Dan kini aku ingin mengetahuinya.

"Allah, Tuhan kita, Anna." Perlahan Papa mulai bercerita," Papa menemukan Dia saat mendengar seorang teman Papa, muslim yang membaca kitabnya dengan bahasa yang asing sekali bagi Papa. Tapi hati Papa bergetar, walau tidak tahu artinya, hati Papa benar-benar tergetar. Saat Papa menanyakan artinya, teman Papa menjawab, 'Sesungguhnya bumi Allah itu luas, dan rezeki Allah berlimpah di mana-mana'. Papa kaget. Itu prinsip hidup Papa selama ini! Papa tidak menyangka, prinsip hidup Papa yang selama ini banyak ditentang, ada di suatu kitab. Apa itu kebenaran? Lalu papa meminta teman Papa membacakannya ayat-ayat lain, dan hati Papa seperti disiram air sejuk." "Anna, Mama pun merasakan itu. Tadi malam Papamu menceritakan semuanya.

Inilah yang Mama belum dapatkan selama ini. Islam! Menyembah Tuhan yang satu! Inilah jalan hidup yang Mama dan Papa cari. Bertahun-tahun, ya kau tahu sendiri Anna, hidup bahagia, tapi hati penuh kegelisahan. Dan kini, hanya dengan sepotong ayat saja, Papa dan Mama merasakan hidup yang sebenarnya. Anna, kau masih kecil, kami tidak memaksamu, tapi apa kau merasakan sesuatu? Coba rasakan di dasar hatimu, my little pouppete." Aku tidak bisa berkata, tapi kepalaku kuanggukan. Dengan penuh keyakinan. Ya, aku masih kecil, tapi aku sudah merasakannya, getaran itu benar-benar menggema ke seluruh tubuhku. Pagi itu, sarapan kami terasa penuh makna. Seperti ruang-ruang kosong di relung hati, terisi sedikit demi sedikit. Bahkan sinar matahari pun terasa lebih jauh-lebih rendah.

***

Hari itu juga, kami ke rumah teman Papa, Mr.Ahmad Brown, dia sudah masuk Islam selama lima tahun. Dia Angkatan Udara Amerika Serikat yang sedang cuti. Papa bilang, di AU, perkembangan Islam sangat pesat. Terutama dari golongan orang kulit hitam.

Papa memiliki banyak kenalan dari AU, karena-seperti yang kalian tahu-kecintaannya pada pesawat F-16. Rupanya Papa mencuri-curi tahu ke mana saja pesawat itu berdinas, bagaimana onderdilnya, dan banyak lagi.

Kami bertiga diajak oleh teman Papa ke sebuah masjid sederhana di Portland. Tempat ini merupakan salah satu tempat syiar Islam yang masih jarang ditemukan di Portland . Kami bertiga masuk ke dalam dan
melihat beberapa orang sedang sujud, membaca kitab, atau bergumam-gumam. Wajah mereka tenang sekali. Beberapa adalah orang Amerika asli, atau juga berkulit hitam seperti Papa. Tapi yang paling banyak adalah  orang Asia . Teman Papa lalu mengajak kami bertemu pemimpin agama, pastur kalau di Kristen. Lalu secara
sederhana, saat Papa minta diislamkan, dengan mata yang berkaca-kaca, dia menyuruh kami mengikuti perkataannya, "Asyhadu anla ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah, I witness that there is no God except Allah, and I witness that Muhammad is his messenger." Singkat, tanpa perlu ritual berlebihan. Beliau lalu memberikan kami masing-masing sebuah kitab.

"This is Koran. Bacalah, pelajari. Tidak usah terlalu di buru. Ini jugasebuah kitab fiqih untuk mempelajari  Islam, banyak buku yang bisa kalian pinjam dan pelajari, dan kami semua siap membantu. Apa saja. Bersabarlah, remember, Actually God is with whom is patient."

***

Kami sekeluarga perlahan-lahan mulai mempelajari Islam. Setiap habis Maghrib, selama satu jam sampai waktu Isya' kami belajar membaca Al-Qur'an. Kalau Papa pergi tugas, istri Mr. Ahmad yang membantu. Islam perlahan-lahan mulai menjadi tiang penyangga hidup kami.

***

Namun, tidak semuanya berjalan mulus. Terutama bagi Mama. Beliau mulai memakai kerudung. Dan pakaiannya, benar-benar mencerminkan muslimah. Tapi, teman-teman di kampusnya mulai menjauhinya. Hanya beberapa yang, yang benar-benar demokratis mau berteman dengannya. Untunglah, teman-teman
muslimah bertambah banyak. Sehingga Mama tidak merasa sendiri. Tapi ada satu hal yang terberat. Saat Mama menceritakan keislamannya kepada orangtuanya, Grandma terutama, marah besar. Saat mama berbicara ditelepon, air matanya tumpah. Lalu tiba-tiba ia diam, kemudian memanggil-manggil, "Mama, oh Mama, mama." Teleponnya diputuskan. Mama hanya bisa bersandar didada Papa sambil menangis. Papa terus berkata, "Actually God is with whom is patient, Ma Cherie. He is. He is.

Di sekolah, teman-temanku tetap bersikap baik. Bahkan mereka suka bertanya yang aneh-aneh. Seperti, "Dalam Islam, ada Santa Klausnya, nggak?" atau "Wah, asik dong. Kamu ngak usah ke gereja lagi tiap
minggu." Dan banyak komentar lagi komentar lain. Sekolahku memang multi etnik, dan sangat liberal. Selama tidak mengganggu mereka, semua akan seperti biasa saja. Walaupun ada juga orangtua atau guru yang
sinis, hal itu tidak kupedulikan. Mereka saja yang berpikir terlalu sempit.


***

Setahun berlalu, tiba-tiba di negara bagian ini muncul desas-desus mengerikan. Kabarnya orang-orang kulit hitam banyak yang tiba-tiba menghilang. Banyak yang mengatakan bahwa mereka menjadi korban
penculikan sekte-sekte fanatik ras kulit putih. Polisi, FBI, sudah diturunkan ke berbagai kota , tapi hasilnya secara konkret belum juga muncul. Papa sangat khawatir. "Isabell, aku akan cuti. Atasanku memaklumi. Lagipula aku belum mengambil cutiku yang sebulan. Dan kini, tugasku untuk menjaga kalian. Setidak-tidaknya sampai keadaan mereda. Oke? J'etaime I don't want to lose you." Situasi benar-benar gawat. Sudah beberapa mayat yang hilang yang ditemukan,dengan kondisi memilukan. Para maniak itu bahkan selalu
meninggalkan pesan mengerikan, bahwa tidak jarang jorok, 'Die you Negros !, atau 'Pig's skin ever better than your!" dan banyak lagi. Perlindungan bagi kaum kulit hitam dari Harlem . Kemarin, mayat seorang pastur kulit hitam ditemukan. Aku khawatir dengan Papa.

" Don't worry ma pouppete. Allah with us. Kita harus berani, dan selalu waspada. Okay?" Sampai hari itu. Hari dimana semua kebahagiaanku direnggut. Papa sedang berkendara dari kota . Kami sedang dalam  pejalanan pulang. Karena ada pemblokiran jalan, kami terpaksa lewat jalan kecil. Malam itu sepi sekali.Tiba- tiba di tengah jalan, tedengar bunyi tembakan. Papa cepat-cepat mengerem. Ternyata ban kami pecah. Lalu, muncul orang-orang bertudung putih, berjalan mendekat sambil membawa obor dan senjata. Pakaian mereka
putih, dengan lambang salib terbalik. Aku ketakutan, Mama juga, tapi Papa memegang tangan kami sambil teus berkata, "Ingat, apapun yang terjadi, Allah selalu bersama kita, Macherie."

Mereka menyuruh kami turun dari mobil. Kalau tidak, mereka mengancam kepala kami akan ditembak. Papa menurut. Lalu kami digiring ke dalam hutan, perjalanannya cukup jauh, aku ingin menangis, tapi aku percaya, aku harus kuat. Kami tiba di sebuah lapangan luas. Di sana ada lebih banyak lagi orang-orang bertudung putih. Mereka beteriak kasar, bersorak-sorai, sambil membakar kayu-kayu. Pandanganku lalu tertuju ke sebuah penjara kayu. Panjang, dan didalamnya,banyak orang kulit hitam! Kami didorong ke sana . Tiba-tiba
Mamaku ditarik lengannya."Lepaskan istriku!" Papa coba berontak. Mama berusaha untuk lepas, tapi sia-sia. Orang tiba-tiba berkata. "Wanita ini seorang kulit putih. Tapi lihat! Keluarganya Negro, cih, menjijikan! Tubuhnya sudah ternoda oleh si hitam itu! Negro hina! Dan, apa ini?" Ujarnya sambil menarik kerudung Mama, "Ini benda yang dipakai wanita-wanita Islam itu. Cih! Ini lebih hina lagi. Tidak ada pantas-pantasnya, bahkan untuk di muka bumi ini! Mau apakan dia?" Ujarnya sambil berteriak keras. "Bakar! Bakar! Bakar!" orang-orang itu mulai menjadi liar. Lalu orang tadi berkata lagi, "Semua ingin kau bakar. Tapi demi ras kulit putih kita, kuberi kau kesempatan. Tinggalkan keluargamu, juga Islammu. Kau akan kami bebaskan, setuju?" Papa tiba-tiba berteriak "Isabell! Lakukan! Lebih baik seorang dari kita selamat! Lakukan! Lakukan!" Tepat setelah itu. Kulihat mata biru mama dengan penuh keyakinan menatap tajam kepada orang itu, lalu berkata.
"Aku tidak akan melepaskan agamaku walaupun kulitku lepas dari dagingnya. Dan aku tidak akan meninggalkan keluargaku, walau nyawa taruhannya!" Orang itu gemetar, lalu memerintahkan orang-orangnya
untuk mengurung mamaku juga.

Kami dilempar ke dalam, bersama orang-orang kulit hitam lainnya. Tubuh mereka kurus sekali, badannya penuh luka. Banyak juga wanita dan anak-anak seusiaku. Beberapa tampak berasal dari keluarga miskin, tapi
ada juga yang berada sepertiku. Seorang laki-laki tiba-tiba berbicara kepadaku. "Hari ini mereka akan membunuh lima orang dari kita." Lalu anak lain menyahut. "Lalu, mayatnya dibawa entah kemana...seperti ayahku," gadis kecil itu menerangkan, lalu menangis. Mamaku lalu memeluknya dan bertanya. "Tidak adakah yang bisa kita lakukan?" Tiba-tiba seorang berbisik kepada Papa. Papa mengangguk, sebentar wajahnya
tenang, lalu pucat sekejap dan tenang kembali. Ada apa, Papa? Papa mendekat kepadaku dan Mama, lalu berkata pelan. "Mereka telah mematahkan sala satu dari kayunya. Akan cukup bagi anak-anak dan wanita untuk keluar. Anna, kamu seorang pandu di sekolah, bawa mereka ke tempat pemblokiran polisi tadi, Isabell, kau jaga para wanita dan anak-anak ini. Okay?" belum sempat aku membantah, Mama cepat-cepat memotong sambil memegang kedua tangan Papa. "Charles, bagaimana denganmu? Bagaimana kau keluar? A-aku tidak mau pergi sendiri!" Air mata mama mulai tumpah, Papa memandangku dengan sangat dalam.Lalu Mama jatuh ke pelukan Papa, menangis sambil mengucap nama Allah. Aku menyelinap masuk di antara mereka, dan ikut menangis.

***

"Ayo saatnya sudah tiba. Anna, bawa anak-anak keluar, juga para wanita. Depechez vous! Cepatlah! Mumpung mereka sedang tertidur, Papa dan lainnya akan menahan mereka dari sini! Cepat lari!" Setelah
semuanya keluar, aku kembali ke Papa. Tidak, tidak mungkin aku meninggalkan Papa. Tepat saat semuanya berjalan sempurna, tepat saat kami menemukan kehidupan di jalan yang lurus. Aku tidak rela, Papaku yang kucinta. Sang Pilot yang kukagumi. Ma Papa. "Ayolah Anna. Yang lain membutuhkanmu. " "Tapi Papa,
kenapa harus begini? Tidak Papa! Tidak!" "Chest-la-vie. Kamu harus tabah, ma pouppet. Kalau Papa memang harus pergi bukankah Papa akan pegi ke tempat yang lebih baik? Ke sisi Allah. Prier to Dieau. Kita akan bertemu lagi, Okay?" Papa lalu mencium keningku, lama, sampai kurasakan air matanya mengalir di keningku.
"Come on, Anna dear," Mama memanggilku. Dia Lalu mematap lekat kepadaku Papa." A toute a I'huere. I'll be missing you," Lama sekali keduanya bertatapan, lalu dengan lembut Papa mencium kening Mama. Dan berkata berkali-kali. "J'etaime macherie. J'etaime. J'etaime Isabell, J'etaime Anna. J'etaime..." Lalu perlahan dilepaskannya pegangannya, " Allez vous-en! Lari sejauh mungkin. Ingat pesan Papa, jaga Mamamu!"

"Soyez tranguille I will Papa, I will." Perlahan aku keluar, Mama memegangiku. Tiba-tiba salah seorang dari mereka melihat kami. Kami bergegas. "Noubliez pas, Anna, 'Asyhaduanla ilaha....."
"Illallah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah.. ." Aku dan Mama membalas,lalu kami pergi. Para penjahat itu mulai berkumpul. "Ingat cita-cita Papa, pouppete, F-16 burung besi kecintaan Papa. Wujudkan
cita-cita Papa, Noubliez pas! J'etaime, J'etaime Isabell, J'etaime Anna!" "J'etaime Papa! J'etaime"

"J'etaime Charles! J'etaime Mama dan aku lalu pergi berlari. Aku memimpin mengikuti arah bintang, semak-semak belukar yang melukai kakiku, tidak kuingat lagi. Pardoner Papa! Aku tidak ingat lagi ketika  tiba di tempat pemblokiran polisi bagaimana kami menjelaskan kejadiannya, lalu masuk ke hutan dengan  polisi. Aku tidak ingat bagaimana para biadab itu terkepung. Aku bermimpi, di suatu tempat, putih, dan halus. Papa!

"Wonderful ma pouppete. Kau berhasil. Sekarang jaga mamamu. Papa akan ke tempat yang akan berkumpul bersama lagi. N'oubliez pas! God is with whom is patient! Wujudkan cita-cita Papa. Goodbye ma pouppete! Lalu sosok Papa menghilang, pandanganku berputar, lalu aku terbangun. Wajah yang saat itu aku lihat, Mama!

"Oh, Anna. Anna, be patient. Papa is gone. He's with Lord Now." Mama lalu memelukku erat. "Kami berterima kasih," tiba-tiba seorang berkulit hitam berbicara. Wajahnya sedih sekali," Papamu telah menyelamatkan hidupku. Dia melindungiku dari tembakan biadab-biadab itu. Papamu tidak menderita, dia pergi dengan senyum di wajahnya. Dia teus mengucap 'Allah...Allah' , dan dia sempat meninggalkan pesan untukmu," Anna, ma pouppete, jaga mamamu. Ingat cita-cita Papa. Preir to Dioer, J'etaime..." aku menangis, Mama juga. Papa kini telah pergi, tapi ke tempat yang lebih baik. Sampai aku juga kesana. Wait for me,
Papa. I'll make your dreams come true. J'etamine..

***

Papa mendapat gelar kehormatan dari pemerintah AS. Hidup Mama dan aku mendapat tunjangan, dan aku mendapat beasiswa. Aku melanjutkan ke sekolah militer. Mama, dengan tabah, membangun kembali dirinya. Beliau mengajar sastra Perancis di universitas- universitas Portland dan Seattle . Mama juga aktif mendakwahkan Islam di berbagai tempat. Perlahan kami membangun kembali keluarga kami, grandma bahkan memaafkan mama dan memutuskan untuk pindah ke Amerika untuk membantu Mama. Namun dengan hakus Mama menolak. Katanya, "I can raise my own child, trust me momm."

***

Mesin pesawat berbunyi halus. Sayap F-16 yang kokoh ini membawaku terbang ke angkasa. Hari ini, Anna Marie Fatimah Jacquet, penerbang muslimat pertama, mewujudkan cita-cita Papa. Terus membumbung tinggi ke langit yang dicintai Papa. A'toute a I'houre Papa. Sampai kita bertemu kembali....( Nur)

Kamus singkat :
N'oubliez pas: jangan lupa
Soyez tranguille: jangan khawatir
Allez vouz-en: larilah
A'toute I'heure: selamat tinggal
J'etaime aku mencintaimu
Chest la vie: inilah hidup
Aller puor tranguille: pergilah ke kamar
Harlem : tempat perkampungan orang-orang negro

Benarkah Tuhan Itu Adil?

Tidak sedikit orang yang mengeluh dengan keadaan mereka, atau karier mereka, atau keuangan mereka, atau pencapaian kesuksesan mereka, atau apa saja yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Keluhan ini biasanya berpuncak pada menyalahkan Tuhan. Diri sendiri sudah disalahkan, orang lain pun disalahkan, dan karena sudah tidak ada lagi yang harus disalahkan, maka Tuhan pun ikut disalahkan. Menyalahkan Tuhan ini–apa pun bentuknya–biasanya hanya berujung pada satu masalah utama, keadilan. Tuhan biasanya dianggap sebagai tidak adil dengan membeberkan fakta keadaan mereka. Tapi, benarkah Tuhan itu tidak adil? Kenapa ada yang miskin dan ada yang kaya? Kenapa ada yang sukses dan ada yang gagal? Kenapa? Kenapa? Kenapa?

Untuk menjawab pertanyaan ini, saya ingin mengajak Anda melihat penuturan argumen yang akan saya berikan. Argumen ini dilandasi atas pemikiran filosofis. Tapi tenang saja, saya akan mencoba menyederhanakan argumennya, karena jika sudah berbicara tentang filsafat, maka banyak orang yang merasa pusing dan menyerah. Namun sebelumnya, perlu Anda ketahui bahwa banyak sudah pemikiran filsafat dari berbagai aliran yang mencoba menjawab pertanyaan ini. Saya pun sudah mempelajari hampir semua aliran filsafat yang menjawab pertanyaan ini, dan dari sekian banyak aliran pemikiran tersebut saya akan memberikan kepada Anda satu pemikiran yang menurut saya inilah yang terbaik, dalam menjawab seputar keadilan Tuhan tersebut.
Satu hal lagi, saya sengaja menuliskan tulisan ini, sebenarnya, untuk mengajak kita semua agar tidak lagi menyalahkan Tuhan, karena sesungguhnya Tuhan itu Maha Adil. Selain itu, argumen yang biasa orang-orang kemukakan belum terasa puas bagi saya (saya tidak bermaksud menyombongkan diri, lho).

Mari kita melihat defenisi dari keadilan itu dulu. Keadilan menurut Murtadha Muthahhari–paling tidak–digunakan dalam empat hal: Pertama, seimbang. Kesimbangan yang dimaksud di sini adalah kita melihat segala sesuatu dalam neraca kebutuhan yang bersifat relatif. Mari kita ambil contoh: mobil.

Untuk menciptakan sebuah mobil maka dibutuhkan berbagai bahan-bahan yang sesuai dengan kadarnya masing-masing. Kita tidak bisa membuat sebuah mobil dengan kadar semua bahannnya itu sama, karena jika terjadi demikian maka Anda tidak akan pernah bisa membuat mobil yang sempurna. Jika saja Anda membuat sebuah mobil yang terbuat dari bahan-bahan yang kadarnya semuanya sama, maka justru Anda telah menciptakan ketidakseimbangan pada mobil tersebut. Ukuran bodi mobil tidaklah harus sama dengan ukuran pintunya, begitu juga ukuran mesinnya, apalagi ukuran setirnya.
Bisa Anda bayangkan bagaimana mengemudi sebuah mobil yang ukuran setirnya sama dengan ukuran bodinya? Jadi, kesimbangan di sini adalah penempatan segala sesuatu sesuai dengan kadarnya, sesuai dengan kepentingan dan kebutuhannya. Dan alam semesta ini seimbang karena menggunakan defenisi keadilan ini. Karena jika tidak, maka alam semesta sudah lama hancur. Itulah sebabnya kita melihat segala sesuatunya di alam ini begitu indah dan proporsional. Dan, Tuhan telah menciptakan alam semesta ini dengan sangat seimbang.

Kedua, defenisi keadilan di sini adalah persamaan dan menafikan pembedaan, yaitu memandang semuanya sama tanpa melakukan pembedaan. Perlu diketahui bahwa pembedaan itu adalah membeda-bedakan antara berbagai sesuatu yang memiliki hak yang sama yang semuanya memiliki syarat-syarat yang sama. Pembedaan ini berbeda dengan perbedaan. Kalau pembedaan terjadi dari segi pemberi, dan perbedaan terjadi dari segi penerima. Kalau Anda memiliki 10 orang pekerja yang memiliki kualitas yang sama dan jam kerja yang sama serta jenis pekerjaan yang sama, maka adalah adil jika Anda memberikan persamaan pada mereka, yaitu memberikan jumlah gaji yang sama kepada mereka semua. Artinya dari sisi Anda (sang pemberi gaji), Anda tidak membeda-bedakan mereka semua karena semuanya memiliki kualitas yang sama. Jadi sekali lagi, keadilan di sini adalah memberikan persamaan tanpa melakukan pembedaan.

Lanjutan dari defenisi kedua ini kita akan sampai pada defenisi yang ketiga, memelihara hak-hak individu dan memberikan hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya. Kembali kita menggunakan contoh di atas, jika Anda memiliki 10 orang pekerja dan masing-masing dari mereka memiliki kekhasan atau keunikan dalam bekerja, maka adalah adil jika Anda memberikan gaji sesuai dengan keunikan dan usaha yang telah mereka lakukan dan adalah tidak adil jika Anda menyamaratakan gaji mereka semua. Oleh sebab itu, untuk meraih kebahagian bagi individu-individu dalam masyarkat, penting kiranya untuk menjaga hak dan preferensi setiap individu dan juga memelihara setiap keunikan setiap individu.

Kita sekarang sampai pada defenisi yang keempat, memelihara hak atas berlanjutnya eksistensi, dan tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan peralihan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk eksis dan melakukan transformasi. Wah… mungkin Anda bingung dengan defenisi yang agak panjang ini. Namun perlu untuk Anda ketahui, pertanyaan-pertanyaan yang kita telah ajukan di atas berkaitan dengan penjelasan yang ada pada defenisi keempat ini. Sebelumnya kita perlu melihat–sekali lagi–antara pembedaan dan perbedaan. Pada defenisi kedua kita telah membahas dengan ringkas, maka mari kita lihat penjelasannya dengan sedikit lebih panjang.

Dalam penciptaan tidak ada pembedaan, yang ada hanyalah perbedaan. Untuk lebih jelasnya, cobalah Anda melihat contoh berikut ini: Apabila kita mengambil dua buah bejana yang masing-masing dapat memuat 10 liter air, lantas kita letakkan yang satu di bawah kran air dan kita isi dengan 10 liter air, sedangkan bejana yang lain kita letakkan di bawah kran dan kita isi dengan 5 liter air; maka inilah yang dimaksud dengan pembedaan, sebab sumber perbedaan di sini bukan dari segi daya muat bejana, melainkan dari segi si pengisi bejana.

Lain halnya jika kita memiliki dua buah bejana dan yang satu cukup untuk diisi 10 liter air, dan yang lainnya hanya dapat diisi 5 liter air, lantas masing-masing kita celupkan ke dalam laut, maka perbedaan di antara keduanya akan terus berlanjut, karena perbedaannya bersumber dari segi kemampuan masing-masing, bukan dari segi laut atau kekuatan masuknya air ke dalam bejana. Bukankah penelitian-penelitian telah membeberkan kepada kita bahwa potensi yang diberikan oleh Tuhan kepada kita semua adalah sama?

Jadi perbedaan antara yang sukses dan yang gagal itu berasal dari kita sendiri: Apakah mau memperbesar bejana kita atau hanya membiarkannya begitu saja dan berharap hal itu akan berubah? Semua hamba-Nya telah diberikan jumlah rezeki yang sama dan sangat berlimpah, hanya ada yang menampung rejeki Tuhan dengan bejana yang sangat besar, dan ada yang menampung rejeki Tuhan dengan bejana yang sangat kecil sekali.
Nah kembali pada defenisi keempat di atas, dapat kita jabarkan bahwa suatu yang eksis (meng-ada) mengambil perwujudan dan kesempurnaannya dalam kadar yang menjadi haknya dan sejalan dengan kemungkinan yang dapat dipenuhi olehnya. Dalam pengertian ini, keadilan Tuhan dipandang sebagai Dia tidak mengabaikan pemilikan hak dan kelayakan yang dimilki oleh sesuatu yang ada; Dia mesti memberikan sesuatu yang menjadi haknya.

Sampai di sini mungkin ada yang bertanya: Kalau saat ini saya miskin, maka inilah hak saya? Atau, pertanyaan-pertanyaan serupa yang berkaitan dengan keburukan, ketidakberuntungan, nasib jelek, dan kejahatan; atau kenapa yang lain sukses dan yang lainnya gagal, atau kenapa yang satu cantik dan yang lain jelek? Kenapa ada juga yang cacat? Kenapa saya tidak terlahir kaya?

Mari kita lihat kembali penjabaran dari defenisi keempat di atas. Suatu yang eksis (meng-ada) mengambil perwujudan dan kesempurnaannya dalam kadar yang menjadi haknya dan sejalan dengan kemungkinan yang dapat dipenuhi olehnya. Dalam pengertian ini, keadilan Tuhan dipandang sebagai Dia tidak mengabaikan pemilikan hak dan kelayakan yang dimilki oleh sesuatu yang ada; Dia mesti memberikan sesuatu yang menjadi haknya. Segala sesuatunya pasti memiliki kadar yang berbeda-beda. Jika segala sesuatunya itu sama, maka justru tidak lagi yang disebut sebagai manusia, tumbuhan, hewan, dan lain-lain. Segala sesuatu yang ada ketika eksis (meng-ada) telah mengambil porsi perwujudan mereka masing-masing.

Mari kita sederhanakan hal ini dengan melihat sistem angka. Anda tentu mengenal angka 1, 2, 3, dan seterusnya. Kita dapat melihat bahwa angka 1 mendahului angka 2, dan angka 2 mendahului angka 3, dan begitu seterusnya. Ini berarti bahwa setiap angka menempati urutannya masing-masing, dan pada urutan tersebut terdapat hukum dan pengaruh. Anda tidak mungkin menempatkan angka 5 di antara angka 7 dan 9, karena sesungguhnya wujud yang sesuai dengan kadarnya di antara angka 7 dan 9 adalah angka 8

Nah, dalam setiap penciptaan alam semesta, segala sesuatunya telah menempati urutan meng-ada seperti itu; dengan kata lain Anda dan segala sesuatu yang ada telah meng-ada sesuai dengan kadar yang dimilikinya. Dan adalah suatu ketidakadilan jika Tuhan justru melanggar hal ini karena telah mencegah kelanjutan eksistensi dari sesuatu dan kemungkinan terciptanya sebuah transformasi. Dengan demikian segala sesuatunya itu–yang tercipta sesuai dengan kadarnya–adalah suatu bentuk kesempurnaan yang Tuhan berikan. Dan ini adalah prinsip dari hukum sebab-akibat, di mana setiap akibat pasti memiliki pengaruh dari sebabnya, dan setiap sebab pasti mendahului akibat. Angka 1 mendahului angka 2, dan keberadaan angka 2 terdapat hukum dan memiliki pengaruh dari angka 1. (Saya mohon Anda jangan menanyakan: Lantas apa yang menjadi penyebab dari Tuhan? Karena jawaban untuk pertanyaan ini tidak sesuai dengan maksud dari tulisan ini).

Itulah sebabnya, yang ada itu hanyalah perbedaan dan bukan pembedaan. Tuhan telah melimpahkan rahmatnya, hanya saja perbedaan itu terjadi sesuai dengan kadarnya dan urutan kepenciptaannya, yang berlandaskan pada hukum sebab-akibat (seperti analogi angka di atas). Angka 1 tentu berbeda dengan angka 2. Angka 2 tentu berbeda dengan angka 3, dan begitu seterusnya. Setiap angka telah menduduki urutan terciptanya dan telah sesuai dengan kadarnya. Setiap angka itu telah sempurna dan sesuai dengan kadarnya.

Jadi, jika Anda berharap untuk dilahirkan sebagai seseorang yang Anda anggap sempurna, maka pada hakikatnya Anda sudah tidak menjadi Anda lagi (lihat analogi penempatan angka di atas). Adalah sebuah hal keliru jika kita mencoba membandingkan antara angka 1 dan angka 2, atau membandingkan angka 2 dengan angka 3. Bagaimana pun kita membandingkan, yang ada hanyalah perbedaan; karena seperti yang telah kita singgung di atas bahwa perbedaan itu terjadi dari sisi kadar si penerima dan urutan keberadaannya.

Perbedaan tidak mengisyaratkan ketidaksempurnaan, tetapi kesempurnaan. Mengatakan yang satu tidak sempurna dibandingkan yang lain adalah suatu pemikiran yang mencoba memaksa untuk menyamakan segala sesuatunya. Dan seperti yang telah saya katakan di atas, jika segala sesuatunya itu sama, maka tidak ada lagi yang disebut sebagai manusia, tumbuhan, atau hewan, atau apapun namanya. Pada dasarnya semuanya adalah sempurna dalam kadarnya masing-masing.

Itulah sebabnya dalam defenisi keempat juga disebutkan bahwa terdapat banyak kemungkinan untuk eksis dan melakukan transformasi. Perbedaan itu justru mengisyaratkan kenapa ada yang disebut dengan dinamika, usaha, cinta, cumbu rayu, penderitaan, kesengsaraan, cemburu, kesuksesan, kehancuran, dan kehangatan. Jadi jika Anda protes kepada Tuhan dan berharap Tuhan menciptakan semua itu sama, maka pada dasarnya akan menyebabkan tidak adanya sesuatu yang baik dan indah, semangat dan dinamika, perjalanan dan transformasi. Karena itu, “Di pabrik cinta harus ada kekufuran,” demikian syair Hafizh.

Dengan demikian apa pun yang Anda alami adalah suatu bentuk kesempurnaan dalam kadar yang Anda miliki. Hal ini menjelaskan juga kenapa setiap orang itu tidak ada yang sama alias unik. Apapun adanya Anda sekarang dan bagaimana diri Anda sekarang adalah ciptaan Tuhan yang sempurna. Membandingkan dua hal yang berbeda adalah suatu hal yang tidak bijaksana dan sangat keliru. Kesempurnaan Anda dengan kadar Anda saat ini juga memberikan kemungkinan yang sangat besar untuk melakukan sebuah transformasi dan kemungkinan eksistensi (perbaikan) yang lebih baik.

Oleh karenanya, saya ingin mengajak Anda untuk melihat contoh yang begitu menarik. Contoh ini berkisah dari seekor anjing yang saya tonton di acara Oprah. Terdapat seekor anjing yang terlahir cacat (ingat, kita menyebutnya cacat karena kita membandingkannya dengan anjing normal lainnya). Anjing ini bernama Faith dan terlahir dengan hanya memiliki dua kaki belakang. Dalam pandangan keadilan, ini adalah sebuah kesempurnaan yang sesuai dengan kadarnya. Jika Anda membandingkannya dengan anjing yang memiliki jumlah kaki empat, maka sesungguhnya Anda akan mengatakan Faith sebagai anjing yang cacat. Padahal Faith adalah anjing yang sempurna yang sesuai dengan kadarnya. Jangan membandingkan dua hal yang tidak sebanding; dua kaki dan empat kaki itu tidak sebanding.

Yang membuat saya berdecak kagum adalah, dalam kadarnya yang demikian, Faith masih bisa melakukan kemungkinan eksistensi (perbaikan diri; transformasi). Faith sekarang bisa berjalan dengan hanya menggunakan dua kakinya yang ada, padahal banyak dokter yang menyarankan untuk membunuh anjing tersebut dengan melihat kemungkinan bahwa Faith takkan bisa berjalan sama sekali. Luar biasa, bukan?

Percayalah bahwa Tuhan memberikan rahmat dan kelimpahannya yang sama kepada semua makhluk, dan Anda bisa melakukan transformasi untuk membuat bejana Anda menjadi lebih besar. Perbedaan mengisyaratkan transformasi. Sekiranya tak ada gunung, maka tak akan mungkin ada lembah dan air yang mengalir darinya. Sesuatu yang Anda anggap buruk belum tentu buruk bagi dirinya sendiri; karena–sekali lagi– embandingkan dua hal yang tidak sama adalah tidak pada tempatnya. Dan Tuhan tentu memelihara segala sesuatunya yang berada dalam kadarnya masing-masing. Jadi, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa Tuhan itu tidak adil. Anda telah sempurna dalam posisi Anda saat ini, dan Anda bisa melakukan transformasi bagi diri Anda sendiri. Semoga bermanfaat!!!

Oleh: Syahril Syam

Kerja Keras, Cerdas dan Ikhlash

KERJA KERAS, CERDAS DAN IKHLASH

Kerja keras belum tentu produktif, lihat tukang becak , sungguh ia
sudah kerja keras mengayuh becaknya hingga ngos-ngosan keringatan,
tetapi hasilnya ternyata tidak memadai.

Kerja cerdas lebih produktif, tidak terlalu keringatan tetapi hasilnya
bisa jauh lebih banyak. Tetapi banyak juga orang yang sudah kerja
cerdas, sudah menghasilkan begitu banyak, segala yang dibutuhkan sudah
tersedia, ternyata hidupnya tidak tenang, gelisah dan ujung-ujungnya
lari ke narkoba atau mendekam di penjara.

Nah ada jenis kerja lain,yaitu Kerja Ikhlas. Dapat banyak
alhamdulillah, dapat sedikit alhamdulillah, belum dapat, sabar dan
berusaha lagi. Seberapapun yang diperoleh dari kerja keras, cerdas dan
ikhlasnya, ia bisa menerimanya dengan senang hati, karena ia menyadari
bahwa wilayah manusia itu hanya berikhtiar, hanya berusaha, sedangkan
hasil, disitu ada tangan Tuhan.

Ada orang sudah dapat banyak masih kurang dan hatinya gelisah, makan
tak enak tidur tak nyenyak, dimusuhi orang banyak. Yang lain dapatnya
sedikit tetapi ia merasa cukup bahkan masih bisa memberi. Dengan
tenang ia menikmati hasil jerih payahnya, damai, harmoni dengan
lingkungan dan bahkan dihormati orang lain.

MATEMATIKA BUMI DAN LANGIT

Menurut hitungan matematis,orang yang punya uang sepuluh juta rupiah
kemudian diambil lima juta untuk membantu biaya sekolah anak-anak
yatim maka uangnya yang tersisa hanya tinggal lima juta rupiah Jika
orang itu kemudian mempunyai pola perilaku tetap yaitu selalu
memberikan setengah hasil usahanya untuk membantu orang lain yang
kesulitan,maka menurut hitungan matematis ia pasti lambat kayanya
dibanding jika ia tidak suka memberi. Jika ia menjadi kaya 10 tahun
kemudian,maka logikanya jika tidak suka memberi, ia sudah bisa menjadi
orang kaya lima tahun lebih cepat.

Tetapi realitas kehidupan sering berbicara lain. Orang yang suka
memberi justru lebih cepat kaya sementara orang yang kikir usahanya
sering tersendat-sendat. Sama halnya orang dagang yang selalu
mengambil keuntungan dengan margin tertinggi justru kalah bersaing
dengan pedagang yang mengambil keuntungan dengan margin rendah. Kenapa?
karena hidup itu bukan hanya matematis, ada matematika bumi dan ada
matematika langit. Orang yang "kekeuh" dengan hitungan matematis dalam
interaksi social tanpa disadari ia justru kehilangan peluang non
teknis yang nilainya tak terukur secara matematis, yaitu berkah.
Berkah adalah terdayagunanya nikmat secara optimal. Dari uang lima
juta rupiah misalnya semua terinvestasi tanpa ada sedikitpun
kebocoran,sehingga pertumbuhannya konstan. Sedangkan penghasilan yang
tidak berkah dapatnya sepertinya banyak,tetapi yang terdayaguna hanya
sedikit karena sebagian besar justeru bocor kewilayah-wilayah yang tak
diperlukan.

Matematika langit mengajarkan bahwa harta itu anugerah Tuhan. Tuhan
menyuruh manusia untuk bekerja keras dan Tuhan akan memberi menurut
kehendak-Nya sesuai dengan rumus-rumus matematika langit. Zakat
misalnya arti bahasanya adalah suci dan tumbuh,artinya orang yang
disiplin membayar zakat hartanya menjadi suci (dari sorotan orang
miskin) dan hatinya pun menjadi suci (dari keserakahan matematis).
Filosofi zakat ialah bahwa di dalam harta si kaya ada hak orang lain
(miskin), yang meminta atau yang malu meminta. Jika zakat tak
dibayarkan,maka maknanya si kaya memakan hak orang miskin. Zakat
diartikan tumbuh artinya harta yang dizakati akan berkembang volume
dan maknanya secara sehat. Logiskah ini ?

Tuhan mengajarkan melalui pohon. Pohon yang secara regular digunting
ranting dan daunnya ia akan tumbuh berkembang secara indah dan
berpola, karena dari ranting yang digunting akan tumbuh daun baru yang
segar. Jika pohon itu tak pernah dipotong maka pohon itu terus
berkembang tetapi tidak indah, tidak berpola dan bahkan bisa menjadi
pohon besar yang angker. Orang kaya yang pemurah biasanya akrab dengan
lingkungan, dicintai dan dihormati orang sekeliling. Orang kaya yang
kikir seperti pohon yang angker, orang takut mendekat kecuali yang
agak bau-bau pedukunan dan setan.

KEARIFAN UNIVERSAL DAN LOKAL

Matematika langit banyak sekali mengajarkan logika terbalik. Dari
nilai-nilai kearifan lokal (Jawa) misalnya ada ungkapan; wani ngalah
luhur wekasane, orang yang berani mengalah akan terhormat di belakang
hari. Kalau menurut matematika bumi, mengalah sama saja dengan kalah,
berarti lemah . Tetapi menurut matematika langit,mengalah adalah
kekuatan,karena hanya orang kuat yang bisa mengalah. Mengalah berbeda
dengan kalah, orang yang bisa mengalah biasanya menang dibelakang,
orang yang menang-menangan biasanya akhirnya malah kalah.

Nah nilai-nilai kearifan universal banyak sekali dijumpai, di ayat
kitab suci, hadits maupun maqalah atau kata-kata mutiara. Berikut ini
contohnya:

"Barang siapa (pemimpin) yang rendah hati, ia akan diangkat
martabatnya oleh Tuhan, dan barang siapa (pemimpin) sombong, ia akan
dijatuhkan Tuhan..."

"Cintailah kekasihmu sederhana saja, siapa tahu di belakang hari ia
justru menjadi orang yang paling kau benci, dan bencilah musuhmu
sederhana saja, siapa tahu di belakang hari ia justeru menjadi orang
yang paling kau cintai (Al Gazali)".

02 April 2008

Bolehkah Aku Membeli Waktu Ayah 1 Jam Saja?

Pada suatu hari, seorang laki-laki pulang dari bekerja larut malam.
Hari itu sangat melelahkan baginya. Sesampainya dirumah ia mendapati anaknya yang berusia 5 tahun sudah menunggunya di depan pintu rumah.

Anak: "Ayah, boleh aku bertanya?"
Ayah: "yeah, boleh, ada apa?" jawab sang ayah.
Anak: "Ayah, berapa gaji ayah dalam satu jam?"
Ayah: "Bukan urusan mu.. ngapain kamu nanya-nanya hal begitu??" jawab sang ayah dengan marah.
Anak: " Aku cuma pengen tahu ayah... tolonglah ayah, beritahu aku, berapa penghasilan ayah dalam sejam?" tanya si anak dengan memelas
Ayah: "baiklah, jika kamu emang pengen tahu, gaji ayah mu ini Cuma Rp.30.000 sejam.. puas?" jawab si ayah dengan ketus.
Anak: " Oh..." ujar si anak sambil menundukkan kepala... kemudian ia kembali bertanya

Anak: "ayah, boleh nggak aku minta Rp.15.000?" tanya si anak dengan ragu-ragu..

Begitu mendengar pertanyaan terakhir anaknya, kekesalan sang ayah langsung memuncak.... Pada saat itu juga sang ayah langsung berkata: "oh.. jadi kamu nanya gaji ayah berapa Cuma mau minta uang untuk beli mainan2 ga penting atau barang2 ga berguna lain ya?

Kalau begitu sekarang kamu cepat masuk ke kamar mu dan TIDUR... kau tau sekarang jam berapa HAH? Mikir dong... ayah kerja keras tiap hari untuk kamu dan mama mu, tapi kamu egois sekali... kelakuanmu sungguh memalukan" .

Dengan wajah sedih dan kepala menunduk si anak segera menuju ke kamarnya tanpa berkata-kata. . terlihat jelas bahwa ia sangat sedih mendengarkan perkataan ayahnya... ia segera masuk kedalam kamarnya dan menutup pintu dengan perlahan.

Sang ayah lalu duduk di kursi dan tanpa sengaja kembali memikirkan permintaan anaknya barusan ditengah malam buta seperti saat itu. Dalam pikirannya ia sangat kesal dan tak habis pikir kok teganya anak yang disayanginya itu malah menanyakan uang disaat ia baru saja pulang dan capek setelah bekerja keras seharian.

Setelah beberapa jam berlalu, sang ayah mulai tenang, dan ia bisa berpikir sedikit lebih jernih. Ia kemudian berpikir: "yah, namanya juga anak-anak... atau mungkin saja anak ku memang membutuhkan uang Rp.15.000 itu untuk membeli sesuatu yang sangat penting baginya. Lagi pula, anak ku itu tidak terlalu sering minta uang kok... ia juga bukan anak yang suka konsumtif."

Lalu sang ayah segera menuju kekamar anaknya, lalu membuka pintu kamar anaknya itu. "kamu udah tidur sayang?" tanya sang ayah.
"belum ayah", jawab anaknya dengan suara agak terbata-bata.
"Ayah udah berpikir, mungkin tadi ayah terlalu keras" kata sang ayah.
"Hari ini sangat melelahkan buat ayah, ayah minta maaf telah melampiaskan kekesalan ayah padamu.
Ini, Rp.15.000 yang kamu minta tadi" kata sang ayah dengan nada lembut.
Si anak seketika itu juga langsung berdiri dan tersenyum.
"OH... terima kasih ayah... " ujar anaknya dengan riang.
Kemudian, ia merogoh kebawah bantalnya dan mengeluarkan setumpuk uang kertas yang sudah lusuh.
Si anak kemudian mulai menyusun dan merapikan uang yang dimilikinya itu diatas kasur. Ketika sang ayah melihat ternyata anaknya sudah punay uang dalam jumlah yang cukup banyak, ia kembali marah dan kesal.
"Untuk apa kamu minta uang lagi kalau kamu udah punya uang sebanyak itu?" tanya sang ayah dengan nada tinggi.
"Soalnya sebelum ayah kasih, uangnya nggak cukup ayah..." jawab sang anak.
"Tapi sekarang aku udah punya uang yang cukup", kata si anak kemudian.
"Ayah, sekarang aku sudah punya Rp.30.000.. boleh nggak aku membeli waktu ayah satu jam saja...?" tanya anaknya dengan nada sungguh-sungguh dan polos..
"Aku mau makan malam bareng sama ayah dan mama... besok ayah pulang cepat ya..." ujar si anak dengan sungguh-sungguh. .. matanya menatap polos pada sang ayah yang diam terpaku dihadapannya.

Mendengar perkataan anaknya, sang ayah langsung terenyuh dan menangis.. ia lalu segera merangkul anak yang disayanginya itu sambil menangis dan minta maaf pada sang anak.. "Maafkan ayah sayang..." ujar sang ayah.
"Ayah telah khilaf, selama ini ayah lupa untuk apa ayah bekerja keras...maafkan ayah anakku..." kata sang ayah ditengah suara tangisnya.
Si anak hanya diam membisu dalam dekapan sang ayah...

Cerita ini hanyalah untuk mengingatkan kita semua yang selalu bekerja keras dalam hidup ini.

Janganlah kita membiarkan waktu berlalu begitu saja tanpa kita sempat menikmati waktu yang sangat berharga tersebut bersama orang-orang yang sangat kita sayangi dan sangat berarti dalam hidup kita.
Ingatlah untuk selalu berusaha menyisihkan waktu seharga Rp.30.000 untuk orang-orang yang Anda cintai dan sayangi. Jika kita meninggal besok, perusahaan tempat kita bekerja dapat dengan mudah mengganti orang yang menempati posisi kita hanya dalam hitungan hari..

Tapi, keluarga dan orang dekat tercinta yang kita tinggalkan akan merasakan kehilangan itu sepanjang hidupnya... Bila kita memikirkannya, kenapa kita masih saja mencurahkan seluruh hidup kita hanya untuk bekerja???

Jangan Pernah Berkata Kasar Kepada Anak

Saya menabrak seorang yang tidak dikenal ketika ia lewat.
"Oh, maafkan saya" adalah reaksi saya.
Ia berkata, "Maafkan saya juga; Saya tidak melihat Anda."
Orang tidak dikenal itu, juga saya, berlaku sangat sopan.
Akhirnya kami berpisah dan mengucapkan selamat tinggal.

Namun cerita lainnya terjadi di rumah, lihat bagaimana kita memperlakukan
orang-orang yang kita kasihi, tua dan muda.
Pada hari itu juga, saat saya tengah memasak makan malam, anak lelaki saya
berdiri diam-diam di samping saya.
Ketika saya berbalik, hampir saja saya membuatnya jatuh. "Minggir," kata
saya dengan marah. Ia pergi, hati kecilnya hancur.
Saya tidak menyadari betapa kasarnya kata-kata saya kepadanya. Ketika saya
berbaring di tempat tidur, dengan halus Tuhan berbicara padaku, "Sewaktu
kamu berurusan dengan orang yang tidak kau kenal, etika kesopanan kamu
gunakan, tetapi anak-anak yang engkau kasihi, sepertinya engkau perlakukan
dengan sewenang-wenang.

Coba lihat ke lantai dapur, engkau akan menemukan beberapa kuntum bunga
dekat pintu."
"Bunga-bunga tersebut telah dipetik sendiri oleh anakmu; merah muda, kuning dan biru.
Anakmu berdiri tanpa suara supaya tidak menggagalkan kejutan yang akan ia
buat bagimu, dan kamu bahkan tidak melihat matanya yang basah saat itu."
Seketika aku merasa malu, dan sekarang air mataku mulai menetes.

Saya pelan-pelan pergi ke kamar anakku dan berlutut di dekat tempat
tidurnya, "Bangun, nak, bangun," kataku. "Apakah bunga-bunga ini engkau
petik untukku?"
Ia tersenyum, " Aku menemukannya jatuh dari pohon. "
"Aku mengambil bunga-bunga ini karena mereka cantik seperti Ibu.
Aku tahu Ibu akan menyukainya, terutama yang berwarna biru."
Aku berkata, "Anakku, Ibu sangat menyesal karena telah kasar padamu; Ibu
seharusnya tidak membentakmu seperti tadi." Si kecilku berkata, "Oh, Ibu,
tidak apa-apa. Aku tetap mencintaimu. "Aku pun membalas, "Anakku, aku
mencintaimu juga, dan aku benar-benar menyukai bunga-bunga ini, apalagi yang
biru."

Apakah anda menyadari bahwa jika kita mati besok, perusahaan di mana kita
bekerja sekarang bisa saja dengan mudahnya mencari pengganti kita
dalam hitungan hari?
Tetapi keluarga yang kita tinggalkan akan merasakan kehilangan s
elama sisa hidup mereka.
Mari kita renungkan, kita melibatkan diri lebih dalam kepada pekerjaan kita
ketimbang keluarga kita sendiri, suatu investasi yang tentunya kurang
bijaksana, bukan?

Jadi apakah anda telah memahami apa tujuan cerita di atas?
Apakah anda tahu apa arti kata KELUARGA?
Dalam bahasa Inggris, KELUARGA = FAMILY.
(F)ather (A)nd (M)other, (I), (L)ove, (Y)ou.

NDESO

Deso (baca ndeso) itulah sebutan untuk orang yang norak, kampungan, udik, shock culture, Countrified dan sejenisnya. Ketika mengalami atau merasakan sesuatu yang baru dan sangat mengagumkan, maka ia merasa takjub dan sangat senang, sehingga ingin terus menikmati dan tidak ingin lepas, kalau perlu yang lebih dari itu. Kemudian ia menganggap hanya dia atau hanya segelintir orang yang baru merasakan dan mengalaminya. Maka ia mulai atraktif, memamerkan dan sekaligus mengajak orang lain untuk turut merasakan dan menikmatinya, dengan harapan orang yang diajak juga sama terkagum-kagum sama seperti dia.

Lebih dari itu ia berharap agar orang lain juga mendukung terhadap langkah-langkah untuk menikmatinya terus-menerus. Hal ini biasa, seperti saya juga sering mengalami hal demikian, tetapi kita terus berupaya untuk terus belajar dari sejarah, pengalaman orang lain, serta belajar bagaimana caranya tidak jadi orang norak, kampungan alias deso.

Semua kampus di Jepang penuh dengan sepeda, tak terkecuali dekan atau bahkan Rektorpun ada yang naik sepeda datang ke kampus. Sementara si Pemilik perusahaan Honda tinggal di sebuah apartemen yang sederhana. Ketika beberapa pengusaha ingin memberi pinjaman kepada pemerintah Indonesia mereka menjemput pejabat Indonesia di Narita. Dari Tokyo naik kendaraan umum, sementara yang akan dijemput, pejabat Indonesia naik mobil dinas Kedutaan yaitu mercy.

Ket ika saya di Australia berkesempatan melihat sebuah acara ceremoni dari jarak yang sangat dekat, dihadiri oleh pejabat setingkat menteri, saya tertarik mengamati pada mobil yang mereka pakai Merk Holden baru yang paling murah untuk ukuran Australia. Yang menarik, para pengawalnya tidak terlihat karena tidak berbeda penampilannya dengan tamu-tamu, kalau tidak jeli mengamati kita tidak tahu mana pengawalnya.

Di Sidney saya berkenalan dengan seorang pelayan restoran Thailand. Dia seorang warga Negara Malaysia keturunan cina, sudah selesai S3, sekarang lagi mengikuti program Post Doc, Dia anak serorang pengusaha yang kaya raya. Tidak mau menggunakan fasilitas orang tuanya malah jadi pelayan. Dia juga sebenarnya dapat beasiswa dari perguruan tingginya.

Satu bulan saya di jepang tidak melihat orang pakai hp communicator, mungkin kelemahan saya mengamati. Dan setelah saya baca Koran ternyata konsumen terbesar hp communicator adalah Indonesia. Sempat berkenalan juga dengan seorang yang berada di stasiun kereta di Jepang, ternyata dia anak seorang pejabat tinggi Negara, juga naik kereta. Yang tak kalah serunya saya juga jadi pengamat berbagai jenis sepatu yang di pakai masyarakat jepang ternyata tak bermerek, wah ini yang deso siapa yaa?

Sulit membedakan tingkat ekonomi seseorang baik di jepang atau di Australia, baik dari penampilannya, bajunya, kendaraannya, atau rumahnya. Kita baru bisa menebak kekayaan seseorang kalau sudah tahu pekerjaan dan jabatanya di perusahaan. Jangan-jangan kalau orang jepang diajak ke Pondok Indah bisa Pingsan melihat rumah segitu gede dan mewahnya. Rata-rata rumah disana memiliki tinggi plafon yang bisa dijambak dengan tangan hanya dengan melompat. Sehingga duduknyapun banyak yang lesehan.

Sampai akhir hayatnya Rasulullah tidak membuat istana Negara dan Benteng Pertahanan (khandaq hanyalah strategi sesaat, untuk perang ahzab saja), padahal Rasulullah sudah sangat mengenal kemawahan istana raja-raja Negara sekelilingnya, karena Beliau punya pengalaman berdagang. Ternyata Beliau tidak menjadi silau terus ikut-ikutan latah ingin seperti orang-orang. Lalu dimana aktivitas kenegaraan dilakukan? Mengingat beliau sebagai kepala Negara. Jawabannya ya di masjid.

Beliau punya banyak jalan yang legal untuk bisa membangun istana. Di Mekkah nikah dengan janda kaya, di madinah jadi kepala Negara, punya hak prerogative dalam mengatur harta rampasan perang dan ada jatah dari Allah untuk dipergunakan sekehendak beliau, belum hadiah dari raja-raja. Tetapi mengapa beliau sering kelaparan, ganjal perut dengan batu, puasa sunnah niatnya siang hari, shalat sambil duduk menahan perih perut dan seterusnya.

Ketika Indonesia sedang terpuruk, Hutang lagi numpuk, rakyat banyak yang mulai ngamuk, Negara sedang kere, banyak yang antri beras, minyak tanah, minyak goreng dll. Maka harga diri kita tidak bisa diangkat dengan medali emas turnamen olah raga, sewa pemain asing, banyak ceremonial yang gonta-ganti baju seragam, baju dinas, merek mobil, proyek mercusuar, dll, dsb, dst

Bangsa ini akan naik harga dirinya kalo utang sudah lunas, kelaparan tidak ada lagi, tidak ada pengamen dan pengemis, tidak ada lagi WTS (Wanita Tidak Sholat, di Malaysia "Wanita Tak Senonoh") , angka kriminal rendah, korupsi berkurang, punya posisi tawar terhadap kekuatan global. Maka orang Deso (alias norak) tidak mampu mengatasi krisis karena tidak bisa menjadikan krisis sebagai paradigma dalam menyusun APBD dan APBN. Nah karena yang menyusun orang-orang norak maka asumsi dan paradigma yang dipakai adalah Negara normal atau bahkan mengikut Negara maju. Bayangkan ada daerah yang menganggarkan Sepak Bola 17 Milyar sementara anggaran kesranya 100 juta, wiiieh!

Akhirnya penyakit norak ini menjadi wabah yang sangat mengerikan dari atas sampai bawah :
- Orang bisa antri Raskin sambil pegang hp
- Pelajar bisa nunggak SPP sambil merokok
- Orang tua lupa siapkan SPP, karena terpakai untk beli tv dan kulkas
- Orang bule mabuk krn kelebihan uang, Orang kampung mabuk beli minuman patungan
- Pengemis bisa pake walkman sambil goyang kepala
- Para Pengungsi bisa berjoged dalam tendanya
- Orang beli Gelar akademis di ruko-ruko tanpa kuliah
- Ijazah S3 luar negeri bisa di beli sebuah rumah petakan gang sempit di cibubur
- Kelihatannya orang sibuk ternyata masih sering keluar masuk Mc Donald
- Kelihatannnya orang penting, ternyata sangat tahu detail dunia persepakbolaan.
- Kelihatan seperti aktivis tapi habis waktu untuk mencetin hp
- 62 tahun merdeka, lomba-lombanya masih makan kerupuk saja
- Agar rakyat tidak kelaparan maka para pejabatnya dansa dansi di acara tembang kenangan.
- Agar kampanye menang harus berani sewa bokong-bokong bahenol ngebor
- Agar masyarakat cerdas maka sajikan lagu goyang dombret dan wakuncar
- Agar bisa disebut terbuka maka harus bisa buka-bukaan
- Agar kelihatan inklusif mk hrs bisa menggandeng siapa saja, kl perlu jin tomang jg digandeng

Yang lebih mengerikan lagi adalah supaya kita tidak terlihat kere, maka harus bisa tampil keren. Makin kiamatlah kalo si kere tidak tahu dirinya kere.

oleh : Ika S. Creech
WNI yang bekerja sebagai Pembawa Acara di salah satu stasiun di Perancis.

Dibalik Suksesnya Film "Ayat-Ayat Cinta"

Aku mulai sadar bahwa tidak mudah membuat film agama. Itulah kenapa ibuku dulu berpesan kalau kamu sudah bisa membuat film, buatlah film tentang agamamu: Islam. Awalnya aku cuma tersenyum mendengar kata-kata ibuku. Senyum yang menyangsikan. Sebab pada waktu itu buatku film agama tidak lebih dari sekedar petuah-petuah yang membosankan. Lelaki berpeci dengan baju koko, bertasbih, kadang berewokan, mulutnya nerocos soal ayat dengan cara menghadap kamera. Membuat dirinya tampak suci dengan mengumbar ayat-ayat Quran. Ah, tidak terbayang olehku sebuah film agama. Tapi aku tidak begitu saja lantas menyerah. Aku coba berangkat dari apa yang aku kenal: Muhammadiyah. Lalu merentet ke sebuah nama: Ahmad Dahlan. Hmm, aku memang menyukai film yang mengangkat satu tokoh: Gandhi, Erin Brokovich, Henry V, Shakespeare, Baghad Sigh, Malcom X, dan mungkin juga nanti Sukarno (kalau memang jadi difilmkan oleh Hollywood). Film yang mengangkat tokoh bisa membuat penonton bercermin. Dan Agama adalah cermin bagi manusia untuk senantiasa melihat kembali dirinya: Kotor atau bersih?

Lalu aku membuat proposal Ahmad Dahlan untuk aku tawarkan ke PP Muhammadiyah. Ditolak! Muhammadiyah tidak ada uang, katanya . Aku cuma bengong saja. Tidak ada uang? Kataku dalam hati. Ah, sudahlah. Mungkin waktu itu aku belom dipercaya. maklum masih kuliah di IKJ semester Akhir.Lalu kutinggalkan itikadku membuat film Agama. Aku terjun membuat film Cinta: Brownies, Catatan Akhir Sekolah, Jomblo, dsb ... dsb ... Tapi aku tetap yakin bahwa suatu saat akan datang masa aku membuat film tentang agama.

Alhamdulillah, benar. MD Entertainment menawari membuat Film Ayat-Ayat Cinta (AAC).
'Kenapa anda membuat film ini?' Tanyaku Sederhana. Pertama, Ini film dari Novel best seller. Kedua, penduduk indonesia 80 persen muslim. Kenapa saya tidak membuat film tentang mereka? Kalau saya minta 1 persen dari 80 persen masak tidak bisa.
1% dari 80% penduduk muslim Indonesia berarti sekitar 2 juta penonton. dikalikan 10 ribu per tiket. Berarti pendapatan kotor 20 milyar. Kalau bujet produksinya 10 milyar, keuntungan yang didapat 10 milyar.

Aku jadi berfikir, kenapa Muhammadiyah tidak berfikiran begitu ya? Kalau cuma mengumpulkan 2 juta penonton, masa Muhammadiyah tidak sanggup? Bukankah dari 80% tersebut 40% adalah warga Muhammadiyah? Ah, dasar stupid pikirku. Banyak orang Islam tidfak berfikir luas seperti orang-orang Yahudi. Oleh sebab itu Islam selalu dimarjinalkan, mudah diadu domba, dibohongi ... diakali.

Lalu aku mulai memasuki tahap persiapan dan riset.
Wallohu ... Aku melihat islam dari dekat sekali. Sangat dekat. Di Kairo, aku menatap Menara Azhar, aku menyentuh dinding dan lantai Azhar university, aku mencium bau apek baju-baju dan karpet mahasiswa Alzhar tetapi memiliki roman muka bersih dan santun. Aku melihat keikhlasan mereka saat bersujud diatas sajadah buluk. Bibir mereka pecah-pecah oleh panas sekaligus dingin hawa Kairo, tetapi dibalik bibir pecah itu terlantun dzikir panjang menyebut: Alloh ... Alloh ...

Lalu aku melihat seorang syaih duduk bersila dihadapan murid-muridnya. 'Tallaqi' mereka menyebutnya. Aku mendengar seorang melantunkan ayat-ayat Al quran di sudut masjid. Dan juga di pinggiran jalan. Seolah quran bagaikan bacaan novel. Allohu Akbar ... Allohu Akbar. Inikah caramu membuatku dekat dengan agamaku, Ibu?

Darahku menggelora membuat mataku terbelalak. Islam sangat indah. Islam sangat eksotis. Tapi orang-orang islam seperti tidak mengerti semua itu. Orang-orang Islam di Jakarta lebih memilih jalan-jalan ke eropa daripada ke Kairo.

'Saya akan membuat film ini eksotis, pak' begitu kata saya ke producer.
Dan mulailah persiapan dimulai. Semangatku menggelora. Aku baca buku-buku tentang Fiqih dan sunnah. Aku libatkan mahasiswa Al Azhar untuk mendampingiku. Aku sangat hati-hati sekali melakukan ini agar apa yang tertulis dalam novel dengan indah pula tersampaikan lewat gambar. Sebuah film yang lembut, yang indah, yang suci tergambar di depan mataku dan aku yakin sekali bisa mewujudkannya.

Namun semua impianku itu tidak begitu saja mudah diwujudkan.
Pertama kali berita tentang pembuatan film AAC tersebar, halangan pertama datang justru dari pembaca. Diantara banyak yang berharap, mereka juga menyangsikan, sinis, dan mencemooh. Bahkan ada yang bilang : 'Wah, sayang sekali novel sebagus ini akan difilmkan. Jadi ill Feel, deh'. ada juga yang bilang 'Tidak pernah aku lihat Novel yang di filmkan hasilnya bagus, sekalipun Harry Potter. Apalagi ini.'

Pada suatu hari ada sekelompok orang datang ke kantor MD, mereka bilang dari organisasi Islam. Mereka datang dengan membawa seorang lelaki berwajah putih dan seorang gadis berjilbab. Mereka bilang ...

'Ini calon pemain Fahri dan ini calon pemain Aisha' sambil menunjuk ke lelaki berwajah putih dan gadis berjilbab itu.

'Kami dari organisasi Islam' lanjutnya 'Kami sangat concern terhadap dakwah islamiah. Kami tidak ingin film Ayat-Ayat Cinta melenceng dari novel dan ajaran Islam. Kang Abik (Nama panggilan Habiburrahman El Shirasy) sudah tahu tentang ini.'

Kami hanya saling pandang dan tersenyum. Aku ... malu sekali.
Tentu saja kami menolaknya. Kami tahu bahwa film ini harus dibuat dengan hati-hati sekali. Kami juga tidak begitu saja memilih pemain hanya semata-mata ganteng dan 'menjual'. Karena itu kami menggandeng ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin sebagai penasehat kami.

Sebelum aku melakukan casting, aku berdiskusi dulu dengan kang Abik. Kang abik sangat concern dengan sosok Fahri. Dia harus turut serta memilih tokoh Fahri. Semula kami membuka casting di pesantren-pesantren. Tetapi hasilnya Nol. Bukan berarti para santri tidak ada yang ganteng dan pintar seperti fahri. Tetapi banyak diantara mereka sudah menganggap 'Film' adalah produk sekuler. Oleh sebab itu banyak diantara mereka tidak mau ikut casting. Saya pernah membaca satu hadist, jangankan membuat film, menggambar manusia saja hukumnya Haram. Nanti di Neraka hasil gambar yang kita buat harus kita hidupkan. Kalau tidak bisa, Malaikat Jibril akan mencambuk kita dengan cambuk api.

Kami melakukan casting lebih dari 5 bulan. Semua yang ikut casting adalah pemain-pemain terkenal. Tapi diantara mereka banyak terjebak pada tuntutan atas 'Kesucian Fahri'. Banyak diantara mereka beracting 'sok suci' dengan melantunkan ayat-ayat dan menyebut asma Alloh dengan berlebihan, mirip seperti ustadz-ustadz di TV-TV. Pernah aku menemukan seorang yang menurutku pas bermain sebagai Fahri. Tetapi lelaki itu tidak beragama Islam. Kang Abik tidak setuju. Lalu ditengah keputusasaan kami datang seorang lelaki. Ganteng, tetapi tidak sombong (tidak merasa dirinya ganteng). Sering kita lihat di Mal-Mal, banyak lelaki pesolek, sadar sekali bahwa dirinya ganteng. Tetapi lelaki ini tidak . Dia sangat santun. Bahasanya pun santun. Ketika berucap Alloh, dia agak-agak canggung. Bahkan tidak fasih seperti ustadz. Pada saat dia sholat aku melihat gerakannya jauh dari sempurna. Tetapi lelaki itu punya mata yang didalamnya mengandung semangat belajar. Dia adalah Fedi Nuril. Aku berdiskusi dengan kang Abik. Terjadi tarik ulur dan perdebatan panjang. Akhirnya kita sepakat memutuskan dia yang main sebagai Fahri. Alasanku adalah, Fahri bukan lelaki sempurna. Tapi yang membuat Fahri tampak sempurna karena dia sadar bahwa dirinya tidak sempurna. Keputusan Fedi Nuril sebagai Fahripun mengundang banyak kesangsian di kalangan pembaca fanatik AAC, terutama di Malaysia. Karena film Fedi Nuril sebelumnya menampilkan Fedi ciuman dengan perempuan bukan muhrim. Fedi pun mengakui itu. Yang membuat aku terharu, Fedi menganggap film AAC sebagai media dia buat dekat dengan Islam. Belajar kembali tentang Islam. Karena film ini, Fedi jadi rajin membuka-buka lagi buku tentang Islam. Bahkan Fedi menyadari segala tingkah lakunya yang tidak Islami selama ini setelah memerankan Fahri. Sungguh, baru kali ini aku rasakan dampak film yang begitu besar mempengaruhi keimanan seseorang. Terima kasih kang abik. terima kasih Ibu.

Pada saat kami mencari sosok Aisha dan Maria, semula kami bersepakat untuk mencari pemain Mesir. Tetapi setelah kami melakukan riset disana, sangat mengagetkan. Perempuan-perempuan Mesir lebih tua dari umurnya. Aku mengcasting seorang perempuan mesir bernama Roughda untuk berperan sebagai Aisha. Tidak hanya cantik, tetapi mainnya luar biasa. Tetapi setelah di sejajarkan dengan Fahri, terlihat Roughda lebih pas sebagai kakaknya daripada isteri Fahri. Padahal umurnya lebih muda 3 tahun dari Fedi Nuril. Lalu kami mencari pemain dengan umur 8 tahun lebih muda dari Fedi. Pada saat kami sejajarkan, sangat pas. Tetapi disaat dia berdialog tentang perkawinan, tidak bisa dipungkiri 'kedewasaannya' tidak tampak. Alias belum matang. Kami bingung dan akhirnya kami sepakat untuk mencari pemain indonesia saja.

Tidak gampang mencari pemain indonesia yang cantik sekaligus solihah. Pak Din Syamsudin berpesan kalau bisa pemain Aisha kesehariannya ber jilbab. Lihatlah siapa artis kita yang bertampang Bule yang seperti itu. Hanya Zaskia Meca saja yang berjilbab dan cantik. Selebihnya tidak ada. Sementara itu Zascia tidak bertampang bule. Dia sangat sunda. Pernah kita meng casting Nadine Candrawinata. Dia sangat cantik dan bermain bagus. Dangat cocok pula berdampingan dengan Fedi Nuril. Tapi Nadine bukan Muslim. Padahal Nadine sudah mau bermain sebagai perempuan Muslim. Aku pernah berdiskusi panjang dengan kang abik soal itu. Aku bilang padanya ...

'Suatu hal yang unik, ketika tokoh Maria yang kristen dimainkan oleh seorang muslim, sementara tokoh Aisha yang Islam dimainkan seorang kristen. Ini akan memperlihatkan sikap toleransi dan demokratisasi dalam Islam seperti di India.'

Tetapi kang abik dan pak Din Syamsudin menyarankan untuk jangan bertaruh terlalu besar di film ini. Masyarakat Islam di Indonesia berbeda dengan India. Di India, masyarakat moslem dan Non Moslem sudah terdidik tingkat kedewasaan dalam toleransi, sementara di Indonesia belum. Akhirnya dipilihlah Ryanti sebagai Aisha dan Carrisa Putri sebagai Maria.

Ketiga pemain itu dikursuskan bahasa arab secara privat untuk mendalami kehidupan Muslim di kairo. Mereka sangat antusias. Namun antusiasme itu harus berhadapan dengan kenyataan bahwa mereka juga punya kesibukan lainnya. Ryanti sebagai VJ di MTV dan Carrisa bermain sinetron. Ryanti yang bagiku sangat keteter ketika berperan sebagai Aisha. Asiha adalah sosok yang memiliki beban berat. Sementara Ryanti sebagai VJ MTV harus selalu tampak riang dan ringan. Sering sekali benturan itu membuat proses pendalaman karakter tidak sempurna. Aku frustasi sendiri. Tetapi aku ingat, bahwa di Film ini kesabaranku benar-benar di uji. Impianku mewujudkan keindahan dan kedalaman Islam terbentur oleh kenyataan sebaliknya: Ringan, Riang, Hedonistik dan Pop. Apalagi ketika producer tiba-tiba berubah pikiran melihat kenyataan penonton Film Indonesia banyak di dominasi anak-anak muda yang pop, ringan dan tidak menyukai hal-hal bersifat perenungan. Dia lantas ingin mengubah karakterr film AAC menjadi sangat pop seperti Kuch Kuch Hotahai ... Tuhanku! Tuhanku! selamatkan film ini ...

Tidak jarang aku berperang mulut dengan producerku ketika meminta adegan Talaqi dibuang. Karena boring dan membuat penonton mengantuk. Lalu beberapa adegan yang bersifat perenungan, seperti pada saat Fahri dipenjara dan menemukan hakikat kesabaran dan keikhlasan dari seorang penghuni penjara yang absurd (dalam novel digambarkan sebagai seorang professor agama bernama Abdul Rauf), Tetapi di Film saya adaptasi sebagai sosok imajinatif, bergaya liar, bermuka buruk tetapi memiliki hati bersih dan suara yang sangat tajam melafatskan kebenaran. Semua adegan itu diminta untuk dibuang atau dikurangi dan lebih mementingkan adegan romans seperti AADC ataupun Kuch Kuch Hotahai ...

Sabar ... Sabar ... Ikhlas ... ikhlas!!!
Begitulah yang aku dapatkan di film ini. Film ini tidak hanya mampu merobah pandanganku tentang Film. Film ini mampu dan sudah merobah pandangan hidupku: tentang agama, kesetiaan, kerjakeras, komitmen, dan ... cinta. Berkali-kali aku berucap syukur yang besar kepada Tuhanku yang sudah memberikan aku jalan menuju kedewasaan. Berkali-kali aku berucap terima kasih kepada Kang Abik yang sudah secara tak langsung mempercayaiku menyutradarai film ini, dimana telah membuatku kembali merasa dekat dengan Islam yang indah, bersahaja dan penuh dengan toleransi. Dan terakhir, berkali-kali aku berucap syukur kepada Ibuku yang telah berpesan untuk membuat film tentang agama. Sekarang aku mengerti, kenapa Kau berpesan begitu Ibu. Tidak lain hanyalah untuk membuatku selalu dekat dengan Islam ...
La haula wa kuwwata illa billahi ...

Kairo adalah kota dimana manusia-manusia Fahri, Aisha, Maria, Noura, Nurul, dan segudang manusia-manusia ciptaan Kang Abik bertebaran, hidup, saling bicara dan saling mencinta. Kairo sangat indah kata kang Abik. Sudut-sudut pasar El Khalili, jalanan di Down Town, Menara-menara masjid termasuk didalamnya Masjid Al Azhar dan University of Azhar Cairo. Sangat detil kang Abik menggambarkan itu dalam novelnya, yang membuat aku tertantang untuk mewujudkan dalam gambar: Bangunan-bangunan tua peninggalan 3 Dinasti (Firaun, kesultanan dan Penjajah Perancis), Kios-kios berdempetan berhadapan dengan trotoar-trotoar sempit yang penuh dengan pejalan kaki, terkadang diisi kursi-kursi rotan café pinggir jalan yang meletakkan seorang tua sedang menyedot shisa. Lalu 5 jam dari tempat itu, menuju matahari terbit, kita melihat kampung tua El Giza dengan aroma kotoran unta yang … hmmm, sekilas menjijikkan, tetapi … tertutup oleh eksotisnya lingkungan khas kairo. Bangunan itu berdiri dari tumpukan bata-bata merah yang dipoles campuran semen dan pasir. Menjadikan warna coklat muda dominan, berpadu selaras dengan warna tanah, warna kain-kain yang dipakai membalut tubuh gadis-gadis kairo, dan warna kulit unta. Bangunan itu ada banyak. Bertebaran. Saling berdiri begitu saja. Tidak begitu rapi seperti bangunan-bangunan kuno di Itali atau paris, tapi sangat menarik bagiku. Apalagi dengan latar belakang sepasang pyramid yang gagah menjulang menyentuh langit.
Kairo … ah, Kairo. Di kota ini aku akan meletakkan kamera, melukis dengan cahaya, membangun set dan meletakkan pemain-pemain didalamnya. Pemain Indonesia yang bergaya selayaknya orang kairo asli.

Aku datang bersama tim kecil, menjalin kerjasama dengan local production house, Egypt Production. Mereka sangat senang menyambut kedatangan kami. Kata mereka, tidak mudah membuat film di kairo. Skenario film harus dapat ijin dari sensor film. Tidak seperti di Indonesia. Bisa dengan gampang membuat film apa aja. Karena waktu yang kita punya sangat sempit, ijin yang seharusnya 3 bulan, bisa diurus dalam 2 minggu oleh seorang local producer bernama Tammer Abbas; seorang muslim kairo, cerdas, berpengalaman di bidang film dan kharismatis. Tammer mem-provide apa yang kita butuhkan: Hunting Lokasi, akomodasi dan transportasi hingga penyewaan alat. Di benankku, sedemikian jelas tergambar film ini akan sedetil seperti yang kang abik tuliskan di novel.

Setelah riset selesai dan scenario jadi, 20 tim dari Jakarta datang untuk melakukan hunting lokasi sekaligus test kamera. Kami melakukan shooting di sebuah tempat di El Giza. Alat-alat yang di sediakan buat kami jauh lebih bagus dari yang sering kita pakai di Indonesia. Kami sangat di support disana. Kami melakukan persiapan di kairo selama 2 minggu. Tammer akan mensupport semua shooting di Kairo berikut kostum, lokasi, crew dan pemain pendukung. Film ini benar-benar akan menjadi film Indonesia yang shooting total di Luar Negeri. Baru pertama kali terjadi dalam sejarah perkembangan film nasional. Bisa dibayangkan, bagaimana perasaanku waktu itu. Ibu, aku akan persembahkan yang terbaik buatmu … sebuah film agama yang indah dan bersahaja. Yang akan kau kenang … dan semua umat muslim Indonesia dan dunia tentunya.

Mendadak semua berhenti begitu saja. Impian itu kandas. Producer membatalkan shooting di Kairo dengan alasan bujet produksi yang ditawarkan Egypt Production tidak masuk akal. Tammer Abbas menawarkan angka 3 kali lipat produksi standart Film Indonesia. 1 Film AAC di produksi sama saja memproduksi 3 film layar lebar di Jakarta. Siapapun producer di negeri ini akan berfikiran sama: Membatalkan produksi Film.

Seakan runtuh bangunan mimpi yang sudah aku bangun. Satu persatu menimpaku.
Tapi producerku tidak begitu saja berniat membatalkan produksi film ini.
‘Kita sudah terlanjur berjanji dengan banyak orang.’ Katanya...

Bersama-sama kita mulai memikirkan bagaimana AAC bisa diproduksi sesuai dengan apa yang kita inginkan. Kemudian kita mencari sponsor untuk bisa tetap shooting di Kairo. Kita menjalin kerjasama dengan The Embassy of Egypt di Jakarta. Lewat hubungan baik dengan ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin, mereka setuju dengan tawaran ini. Kata Dubesnya, Film ini akan dikelola oleh dua Negara: Indonesia dan mesir. Sebelum di putar di bioskop, film ini harus diputar dihadapan presiden Negara-Negara Islam di Asia dan Timur Tengah, begitu kata Dubes. Betapa senangnya aku mendengar kabar ini. Impianku bangkit. Ku kabarkan berita ini ke teman-teman crew dan pemain. Mereka kembali semangat. Akhirnya dibuatkan kesepakatan antara dua Negara melalui Dubes Mesir-DepBudPar-PP Muhammadiyah. Bersama-sama kita melakukan pers conference, mengabarkan berita gembira ini ke masyarakat.

Namun lagi-lagi semua itu tidak ada artinya. Pemerintah mesir, sekalipun memberikan dukungan buat kerjasama ini, tidak bisa melakukan intervensi terhadap harga-harga termasuk di dalamnya Equiptment, lokasi, property. Itu adalah hak perusahaan swasta. Artinya, sekalipun di dukung pemerintah, tetap tidak bisa mempengaruhi harga. Harapan shooting di Kairo akhirnya kandas. Terlebih lagi pihak Egypt Production tiba-tiba mengirimkan tagihan atas hunting, pelayanan persiapan dan test kamera selama di kairo sebesar 500 juta rupiah. Angka yang tidak masuk akal buat producer untuk harga test kamera dan hunting. Biasanya di Jakarta kami melakukan hunting sekitar 5 juta sampai 10 juta. Test kamera gratis kita lakukan karena itu salah satu fasilitas perusahaan penyewaan alat.

Akhirnya producer tidak mau membayarnya. Terjadilah perselisihan antara keduanya. Pihak Egypt Production melayangkan surat gugatan ke pihak KBRI di Kairo. Pihak KBRI kairo mengirimkan surat ke Departemen Luar Negeri Indonesia dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata yang isinya terjadi penipuan pihak MD kepada perusahaan Kairo. Berita ini membuat Deplu dan Depbudpar menarik kembali dukungannya. Begitu juga dengan pihak Dubes Mesir. Seperti sebuah drama tragedy saja, nasib produksi Ayat-Ayat cinta tidak terselamatkan.

Terbayang olehku bangunan-bangunan bersejarah, menara-menara masjid Azhar yang tinggi menjulang, kios-kios berjajar, pasar-pasar tradisional, pyramid, guran sahara, pantai Alexandria yang indah … hilang … hilang ditelan angin begitu saja. Lalu pesan ibu terngiang : … Kalau kamu sudah bisa membuat film, buatlah film agama …
Ana aasif … ya ummi …


Bukan sekali ini aku mendapatkan persoalan pada saat membuat film. Persoalan buatku adalah sahabat karib. Di Dapur Film aku menekankan ke teman-teman, jika mau terjun ke dunia film, persoalan adalah bagian hidup kita. Bukan berarti kita mencari persoalan, tapi persoalan harus kita sikapi sebagai tantangan. Akan tetapi persoalan yang menimpaku sekarang ini seolah tak berujung. Menangis sudah bukan suatu yang luar biasa lagi.

Sejak kabar kita bakal sulit shooting di kairo aku jadi tidak bergairah. Tapi kabar film AAC bakal diproduksi sudah beredar. Posisiku sulit. Bersamaan dengan itu film produksi pertama MD yang berbujet besar drop di pasaran. Sebuah film yang dianggap idealis, bahkan tidak mampu menembus angka 100 ribu penonton. Keyakinan producer mulai goyah.

‘Apakah kamu masih yakin AAC akan diproduksi?’ Kata producer padaku,
‘Iya’ jawabku yakin. Sekalipun aku sendiri tidak tahu apakah keyakinan itu sekuat dulu.
‘Apakah AAC adalah film yang bakal di tonton?’ tanyanya kemudian.
Aku lalu ingat pernyataannya tentang 80% penduduk Indonesia adalah muslim. Kemudian aku membalikkan pernyataan itu kepadanya. Jawabnya …
‘Ya, tetapi setelah melihat realitas, penonton kita masih belum bisa menerima film-film berat.’

Beberapa detik aku sempet bingung dengan istilah film berat. Aku tahu pada waktu itu kondisi psikologis producerku sedang drop. Tidak hanya satu-dua juta kerugian yang dia tanggung di film pertama. Wajar jika sudah menggoyahkan keyakinannya. Aku berusaha meyakinkan dia lagi kalau AAC adalah film yang ditunggu penonton. Aku juga meyakinkan kalau kita di dukung oleh Muhammadiyah. Tapi alasan itu tidak cukup buat dia. Sebuah dukungan bisa dengan gampang dicabut. Tetapi sebuah produk yang sudah diproduksi tidak bisa diuangkan. Investor tetap menanggung beban besar. Intinya, dia butuh keyakinan kalau AAC adalah film yang bakal ditonton lebih dari 1 juta penonton. Jumlah tersebut diperhitungkan secara bisnis untuk balik modal, mengingat bujet yang dipersiapkan untuk memproduksi AAC duakali lipat bujet standart Film Indonesia. Yah, sekitar 7 Milyar.

Lalu produk seperti apa yang ditonton oleh satu juta penonton?
Pertanyaan itu yang akan merobah karakter Film Ayat-Ayat Cinta yang selanjutkan menjadi persoalanku kemudian.

Pertama yang dilakukan untuk menset-up produk agar ditonton oleh satu juta penonton adalah mengubah scenario menjadi light. Scenariopun dirombak total. Producer sempat menghubungi Musfar Yasin untuk menggantikan Salman Aristo, karena pada saat itu Nagabonar jadi 2 meraih 1,3 juta penonton. Musfar menolak dengan alasan tidak etis. Salman Aristo kemudian bersedia merubah scenario dengan catatan sedikit keluar dari novel. Kita sepakat. Dalam hal ini Kang Abik sedikit kita abaikan dengan maksud segalanya berjalan lancar. Mengingat kang Abik kondisinya waktu itu tidak di Jakarta, sehingga untuk melakukan diskusi scenario harus menghadirkannya dari semarang.

Skenario dibuat dalam 2 minggu. Selama 2 minggu itu kegiatan persiapan menjelang shooting dihentikan. Di minggu ketiga seharusnya kita sudah melakukan shooting, terpaksa dilakukan persiapan lagi. Jadwal akhirnya mundur satu bulan. Keberatan muncul dari para pemain. Sebagian pemain Ayat-Ayat Cinta adalah pemain dengan jadwal ketat. Fedi Nuril sibuk dengan album dan tour Garasi. Ryanti sibuk dengan jadwal MTV, Carissa dan tante Marini sibuk dengan sinteron striping, Melanie putria dan Surya Saputra sibuk dengan presenter. Kalau produksi ini mundur schedule pemain yang akan sulit. Di bulan kedepan para pemain tersebut sudah masuk schedule lain diluar Ayat-Ayat Cinta. Hal itu membuat Iqbal Rais, asistenku kelabakan mengatur schedule. Dalam 2 minggu itu pekerjaan Iqbal berkali-kali melakukan revisi schedule dan breakdown shooting. Sedangkan Amelia Oktavia (amek) dan Ruth Damai Pakpahan (Iyuth) yang bertugas sebagai casting director me-loby pemain kembali. Itu tidak mudah tentunya. Schedule di luar AAC sudah terlanjur di booking oleh para manajer. Malah beberapa ada yang sudah kontrak.

Seperti yang disepakati bersama, scenario rampung dalam 2 minggu. Tapi bukan berarti persoalan selesai disitu. Tahap berikutnya adalah menentukan dimana shooting dilakukan, mengingat kairo sudah tertutup buat MD. Oh,ya … Hal mendasar yang membuat produksi ini mengalami kendala kreatif adalah producer mulai menekan bujet produksi akibat kerugian di film pertama. Pemindahan shooting di Indonesia dilakukan dengan asumsi bujet produksi tidak semahal di Kairo. Padahal kenyataan di lapangan tidak semudah asumsi itu. Sesuatu yang diciptakan dengan set akan lebih mahal dibanding kita menggunakan set yang sudah jadi. Kalau toh ditemukan rumah yang mirip dengan yang ada di Kairo, perabot didalam rumah itu tidak bisa dipakai.

Menjelang shooting aku dan producer banyak bertengkar soal itu. Pengajuan bujet untuk tata artistic di potong. Begitupun dengan pengajuan lampu. Aku seperti berada dalam ruang isolasi yang semakin lama dinding itu bergerak menghimpit. Pada awal persiapan, konsep film AAC adalah menghadirkan keindahan kota kairo dengan memotret lansekap sebagaimana tertulis di novelnya kang Abik. Kini, terpaksa harus aku persempit mengingat lokasi shooting tidak memadai dan peralatan pendukung dikurangi. Aku dan Salman Aristo memutuskan memperkuat dramatik cerita daripada keindahan gambar. Oleh sebab itu beban jatuh pada para pemain. Pemain harus mampu secara meyakinkan membawakan karakter yang diperankan. Disini muncul persoalan baru. Sekalipun Amek dan Iyuth berhasil me-loby pemain untuk mundur shooting, tapi tidak bisa dapat waktu untuk latihan. Jangankan untuk melakukan riset dan observasi peran, untuk melakukan reading scenario saja waktunya terbatas. Kepalaku mendadak berat sekali. Hari-hari shooting tinggal beberapa hari, tapi permainan mereka masih jauh dari harapanku. Ya Alloh, selamatkan aku. Selamatkan film ini …

Pernah suatu kali aku minta mundur lagi karena pemain belum siap, terutama Rianti dan Carrisa. Producer tidak memberikan ijin. Aku bingung. Aku melihat Rianti dan Cariisa masih jauh dari harapanku. Pada awalnya tokoh Aisha diperankan Carrisa dan Rianti sebagai Maria. Saat latihan berlangsung, aku merasa keduanya tidak pernah mencapai klimaks. Selalu saja ada yang salah. Kemudian mas Whani Darmawan selaku acting coach (Penata laku) mencoba merobah posisi. Rianti sebagai Aisha dan Carrisa sebagai Maria. Aku melihat ada perubahan ke lebih baik. Mungkin tepatnya: Lebih pas. Tapi aku masih belum yakin dengan itu, dikarenakan banyak persoalan kreatif lain yang menghimpitku. Aku tidak bisa dengan jernih memutuskan. Lalu Aku minta bantuan Salman Aristo untuk ikut memutuskan. Setelah melewati test kamera, aku, Salman Aristo dan Producer bersama-sama melihat dan memutuskan siapa yang pantas menjadi Aisha. Aku ingat waktu itu rapat untuk memutuskan siapa yang pantas menjadi Aisha dilakukan 10 menit sebelum acara pers conference yang menghadirkan PP Muhammdiyah Din Sayamsudin dan wartawan dari media cetak dan TV. Di ruang lain, Rianti dan Carisa menunggu keputusan itu, karena berhubungan dengan siapa yang akan memakai cadar dan jilbab pada saat acara pers conference. Akhirnya, kami memutuskan Rianti yang menjadi Aisha. Cadarpun terpasang menutup sebagian wajah cantik Rianti

Ketika hari Shooting ditentukan, pemain sudah disiapkan secara schedule, Set sudah dibangun, mendadak ada kabar Ryanti akan di deportasi karena masa tinggalnya sudah habis (Rianti masih menjadi warag Negara Inggris saat ini), sehingga dia harus kabur ke Singapura beberapa hari sambil mengurus perpanjangan masa tinggalnya di Indonesia. Shooting yang sudah kita tentukan harus mundur lagi. Set yang sudah dibangun harus dibongkar. Kepalaku mulai berat. Mataku mulai kabur. Allohu akbar! Apa lagi yang harus aku hadapi? Berapa tetes lagi air mataku kutumpahkan dan berapa lapang lagi dadaku aku rentangkan? Ingin rasanya aku lari dari semua ini. Tapi aku selalu ingat pesan ayahku, wong lanang kui kudu mrantasi … (Lelaki itu harus menyelesaikan segala persoalan). Aku melihat sisi positif dari kemunduran ini. Aku bisa focus latihan buat pemain. Akhirnya kamipun mundur. Karena set yang sudah dibuat tidak bisa dibongkar, kita terpaksa shooting satu hari tapi setelah itu break seminggu.

Pada saat shooting, aku melihat kairo berdiri di Jakarta dan semarang. Aku melihat metro yang dibangun bangsa Prancis di stasiun Manggarai. Aku melihat perpustakaan Al Azhar dan ruang Talaqi masjid Al Azhar di Gedung Cipta Niaga Jakarta Kota. Flat Fahri, Flat Maria dan Pasar El Khalili di kota lama dan Gedung Lawang Sewu Semarang. Ruang sidang pengadilan Fahri di Gereja Imanuel Jakarta. Apa yang dibangun Allan, art directorku, berhasil meski dengan berbagai kendala keuangan yang tidak lancar. Untuk membangun set dan menyediakan property, Allan sering mengeluarkan uang pribadinya untuk menutup aliran uang yang tidak lancar. Gajinya yang seharusnya di bagi-bagikan kepada krunya, habis buat belanja property dan membangun set. Karenanya banyak krunya pada marah-marah dan kabur.

Pada saat shooting berlangsung, tidak begitu saja mulus dan on schedule. Hari-hari pertama kami berhasil menghadirkan suasana kairo dengan menyewa orang-orang arab sebagai extras. Karena shooting selalu selesai tengah malam, orang-orang arab lama-lama tidak mau diajak shooting lagi. Maklumlah, mereka bukan berprofesi sebagai pemain. Kebanyakan dari mereka pedagang, mahasiswa, karyawan bahkan ada yang dokter. Suatu kali pernah si dokter marah-marah karena shooting sampai malam, padahal sebagai dokter dia tidak pernah berpraktek sampai malam. Di hari-hari menjelang akhir shooting AAC, bahkan untuk mengajak gembel Arab pasar Tanah Abang pun tidak bisa. Masya Alloh!!

Di Kota lama dan Lawang sewu Semarang, kami menghadapi persoalan kamera terbakar, hujan, berhadapan dengan preman Kota Lama, ruang sempit dan lapuk karena tua yang membuat set lampu lama. Dengan begitu scene yang seharusnya diambil jadi banyak terhutang. Untuk membayarnya, kita menunggu jadwal pemain kosong, Amek dan Iyuth kembali me-loby, iqbal rais kembali membongkar break down. Hal itu terus menerus mereka lakukan sampai-sampai Amek dan Iyuth kehilangan muka di hadapan manajer dan pemain. Tidak jarang aku melakukan improvisasi demi efisiensi. Banyak adegan aku sederhanakan. bahkan dibuang. Tapi aku cukup senang karena aku bisa merobah salah satu sudut kota lama semarang menjadi pasar di El-Giza. Aku menghadirkan unta dari Kebun Binatang Gembiraloka Jogjakarta. Penduduk kota lama Semarang dibikin heboh dengan munculnya unta secara tiba-tiba di sana.

Shooting paling berat yang aku rasakan pada saat adegan sidang Fahri. Aku memilih gereja Imanuel Jakarta untuk di set sebagai ruang pengadilan. Aku menghadirkan lebih dari 300 ekstrass. Semua pemain utama kumpul jadi satu. Penata kostum, penata make up kewalahan menghadapi banyaknya pemain. Ini salah satu scene dengan jumlah pemain paling banyak. Aku melihat hal yang unik di sana. Banyak pemain memakai Jilbab bahkan bercadar, tapi mereka berada di dalam gereja. Tanda salib bertebaran di atas kepala mereka. Suatu yang lucu dan menarik aku lihat. Lalu aku ingat, pada saat aku masuk masjid Al Azhar, bahkan untuk ijin memotret saja tidak mudah. Apalagi shooting. Tapi di gereja Imanuel ini, aku tidak hanya membawa kamera dan lighting. Aku bahkan memasukkan teralis penjara sebesar 3 meter persegi didalamnya. Aku tertawa kalau memikirkan itu …

Tidak terasa, persoalan sudah menjadi bagian dari produksi ini. Malah, ketika persoalan tidak muncul aku merasa ada yang aneh. Terlepas dari semua itu, aku senang bisa terlibat dalam persoalan. Terlebih lagi, persoalan itu bisa terpecahkan sekalipun dengan air mata. Semoga kedepan, aku bisa lebih dewasa.

Robbana afrigh alaina shabran wa tsabit aghda mana fanshurnaa ala qaumil kafiriin ...
(Ya Alloh, limpahkan kami kesabaran. tegakkanlah kaki kami kembali. Lindungilah kami
atas orang-orang yang membenci kami ...)

Hingga shooting ini selesai, kami masih berhadapan dengan puluhan persoalan lagi. Nantikan di bagian IV (AAC hijrah ke India untuk menghadirkan Sungai Nil, Padang Pasir dan kota) ...

Shooting di Jakarta sudah selesai. Aku puas dengan kerja tim AAC yang solid. Sekalipun berat, tetap commit untuk menyelesaikan film ini apapun hambatannya. Padahal secara legal, kontrak crew sudah habis 1 bulan sebelumnya. Artinya, mereka bekerja tanpa ikatan kontrak lagi. Ini yang membuat aku terharu atas commitment mereka. Terlebih lagi, banyak diantara mereka non-muslim. Tapi tidak satupun dari mereka yang mengkaitkan keyakinan itu dengan kualitas kerja mereka.

Sebagaimana sudah direncanakan sebelumnya, meski Allan bisa menyulap Semarang dan Jakarta jadi kairo. Secara geografis, tidak akan tergambar jika tidak ada shooting di Kairo. Awalnya producer sudah puas dengan hasil shooting di Indonesia tanpa perlu shooting di Kairo. Saya sangat keberatan.

Sebenarnya, dari hasil sisa adegan yang belum diambil, hanya membutuhkan waktu 5 hari saja shooting di kairo. Akhirnya producer mengerti dan menjalin hubungan dengan local production lain di kairo. Local producer itu sering menangani film-film asing yang shooting di Cairo. Sebuah perusahaan yang juga berpengalaman d bidang produksi film. Setelah melihat konsep film AAC, dia menawarkan harga untuk shooting disana selama 5 hari. Jumlah yang diajukan sebesar 3 Milyar untuk shooting 5 hari. Nilai yang bahkan di Indonesia bisa membuat satu film.

‘Angka yang tidak masuk akal’ kata producerku.
Aku sepakat dengan producerku, meski aku tahu konsekwensi membuat film sesuai dengan novel Kang Abik memang berbujet besar. Tapi aku tetap tidak percaya degan penawaran itu. Setelah kita cek quote yang diajukan, aku melihat item-item yang tidak rasional. Misalnya, makan per orang dia budjet kan 100 US$ sehari. Padahal pada saat riset di sana, aku bisa makan dengan 25 ribu sehari. Bujet penawaran itu tidak bisa ditawar kecuali kita mengurangi jumlah hari dan kru. Negosiasi tertutup.

Kemudian muncul gagasan shooting di India dari salah seorang staf perusahaan MD yang orang India. Dia berjanji bisa menyediakan lokasi yang kita butuhkan mirip Cairo. Semula aku ragu, tapi setelah ditunjukkan foto-foto lokasi di India, saya jadi yakin. Dalam foto itu tergambat Sungai Nil, sudut kota kairo, Taman Al azhar University, Padang Pasir lengkap dengan unta-unta dan kafilah. Hanya pyramid saja yang tidak ada. Tapi itu bisa dibuat di studio menggunakan Computer Graphics Imagery (CGI) yang lebih dikenal dengan special effect.

Disaat persiapan menuju India, tercetus ide untuk tetap bisa shooting di Kairo dengan dibarengi workshop film buat mahasiswa Indonesia-Al Azhar. Lalu aku menghubungi PCIM (Pimpinan Cabang Islam Muhammadiyah). Mereka setuju dengan ideku. Kita bahkan dibantu KBRI. Di Kairo, aku dan PCIM berencana menggelar workshop dengan peserta anggota PCIM (mereka adalah mahasiswa Indonesia yang sekolah di Azhar Univ yang menjadi anggota Muhammadiyah) dan akan Shooting mengambil suasana kota dengan kamera kecil bersama dengan mahasiswa peserta workshop tersebut. Biasanya, kegiatan yang mengatasnamakan mahasiswa tidak perlu ijin berbelit-belit. Maka segala sesuatu dipersiapkan. Dari Jakarta, tim yang berangkat ke India 20 orang termasuk pemain, tetapi 6 diantaranya berangkat duluan ke Kairo selama 4 hari. 6 orang tersebut adalah, Fedi Nuril, Faozan Rizal (Kamera), Kasnan (Asisten Kamera), seorang pengawal alat, Adi molana (tata suara) dan aku.

Producer setuju dengan rencana tersebut. Tapi ditengah persiapan itu, muncul kendala di pengurusan Visa. Karena hari shooting di India dan Kairo berurutan, membuat pengurusan visa tarik-tarikan antara keduanya. Waktu kita hanya 1 minggu sebelum keberangkatan shooting, sementara mengurus Visa di India membutuhkan waktu 4 sampai 5hari karena jumlah orang yang akan berangkat banyak. Begitupun mengurus Visa Kairo. Akhirnya aku minta tolong pihak PCIM dengan bantuan KBRI menguruskan visa on arrival. KBRI setuju dan sudah menghubungi pihak emigrasi cairo bahwa akan datang tim dari Indonesia berjumlah 6 orang untuk workshop. Kamipun senang dengan kabar tersebut. Terbayang eksotisnya kota kairo, kios-kiosnya, menara-menara masjid yang menjulang, jalan raya yang macet, kampung- el giza. Bahkan pihak KBRI bisa menyediakan fasilitas khusus masuk kawasan pyramid dengan bebas. Rasa optimisku bangkit lagi. Akhirnya … aku bisa shooting di Kairo …

Tapi, lagi-lagi semua itu cuma mimpi. Sesampainya di bagian Check In Bandara Sukarno-Hatta, aku dan 5 kru lainnya tidak boleh berangkat. Waktu itu kami berencana terbang ke Kairo dengan Sinagpore Airlines (SQ). Pihak SQ tidak bisa memberangkatkan kami dengan alasan tidak ada visa. Aku menjelaskan, bahwa kita dapat fasilitas Visa on Arrival dari KBRI Cairo. Mereka minta bukti tertulis dari pihak KBRI sebagai pegangan. Aku tunjukkan undangan dari PCIM untuk workshop atas nama Muhammadiyah ke pihak SQ. Mereka tidak mau terima. Yang mereka minta adalah surat tertulis yang menjamin 6 orang yang diterbangkan SQ bisa diterima di Kairo. Itu tanggungjawab Airlines atas keselamatan penumpang. Aku segera telpon pihak PCIM untuk menghubungi KBRI. Ternyata hari itu kantor KBRI libur. Sekalipun bisa terhubung secara pribadi dengan bagian konsulat KBRI, tapi untuk urusan administrasi harus melalui kantor. Akhirnya, kami tidak jadi berangkat. Kamera yang sudah kita sewa, tiket yang sudah kita beli dan segala harapan untuk bisa shooting di Kairo buyar … Dada ini terasa sakit sekali. Dalam perjalanan meninggalkan bandara Soekarno-Hatta, tanpa sadar, air mataku meleleh lagi. Ya Alloh, Apakah aku terlalu kotor memproduksi film ini, maka kau berikan hambatan buatku untuk yang terbaik?

Tidak ada harapan lagi kecuali shooting ke India saja. Untuk saat ini, sebuah kemewahan bisa membayangkan film ini sesuai dengan harapan Kang Abik dan pembaca fanatik AAC. Yang bisa aku lakukan hanyalah menyelesaikan film ini semaksimal yang aku bisa.

Pesawat Malaysia Airlines take off dari Jakarta membawa 20 Kru dan pemain AAC beserta dua kopor berisi Kostum pemain, 3 kopor berisi property keperluan Artistik dan dua kopor lain berisi bahan baku film 35mm serta kabel-kabel. Kira-kira 8 jam perjalanan, kami mendarat di Banglore untuk transit. Saat itu malam hari. Udara agak dingin. Pesawat yang membawa kita ke Bombay baru besok pagi sekitar jam 10 take off dari bandara. Menurut travel agent di Jakarta, di Banglore kita disediakan penginapan. Tetapi kenyataannya bukan penginapan sebagaimana layaknya sebuah hotel transit di bandara international. Kita disediakan satu apartement dengan 6 kamar. Padahal kami berjumlah 20 orang dimana tidak semuanya laki-laki. Kopor kami juga banyak. Tidak layak buat kami untuk menempati satu apartement. Malam itu sudah jam 12malam. Pihak administrasi apartement sudah tutup untuk meminta tambahan satu apartement lagi. Kami kebingungan sendiri. Setelah beberapa lama terkatung-katung, salah seorang pembantu apartement lain menawari bisa memakai apartementnya kalau cuma buat semalam, karena pemiliknya sedang keluar kota. Akhirnya kami patungan menyewanya. Apartement itu untuk crew dan pemain perempuan. Aku bersama crew laki-laki lainnya saling tumpang tindih di apartement satunya. Aku dan Rajish (Make up artist) tidur di sofa depan. Faozan Rizal dan tim kamera tumpuk-tumpukan satu kamar. Fedi, Oka dan Iqbal tidur satu ranjang bertiga. Lainnya tidur sekenanya.

Tepat jam 11 siang kami meninggalkan Banglore menuju Bombay. Kami sudah dijemput sebuah bis yang akan membawa kami 15 jam menuju Jodhpur. Bayangan kami, Jodhpur adalah kota kecil yang tidak ada bandaranya disana. Tapi ternyata Jodhpur adalah kota wisata. Banyak turis eropa-Amerika datang kesana menggunakan pesawat, apalagi di bulan-bulan November. Bandaranya-pun lebih bagus dari Halim Perdanakusuma. Jadi penggunaan bis semata-mata buat ngirit bujet produksi, mengingat harga tiket Bombay-Jodhpur di bulan-bulan libur naik. Kami cuma menghela nafas. 15 jam perjalanan, bayangan kami, seperti perjalanan Jakarta Surabaya. Tidak apalah, aku bisa istirahat di bis, pikirku.

Setelah keluar dari bandara Bombay dengan tumpukan kopor-kopor, kami melihat bis yang disediakan kami kecil. Warnanya kuning. Bis tersebut bukan selayaknya kendaraan tempuh Jakarta-Surabaya. Bis itu seperti bis Jakarta-Sukabumi yang diberi AC. Tempat duduknya sempit hanya memuat 20 orang saja. Sedangkan kopor-kopor kami banyak. Aku komplain dengan orang india (staff MD) yang mengurusi kami disana. Dia bilang, bis ini disediakan berdasarkan bujet dari producer. Kami tetap tidak mau naik. Aku melihat wajah teman-teman kusut. Tika (line producer AAC) marah dan meminta local unit menyediakan tiket pesawat. Sayangnya, tiket pesawat ke jodhpur habis sampai 3 hari kedepan. Setelah berdebat lama, akhirnya kami disediakan satu mobil kijang khusus untuk kopor-kopor. Allan menyertai kopor-kopor itu di mobil Kijang. Yang lainnya naik bis. Fedi yang berkaki panjang menduduki bagian belakang tepat di selasar tengah bis diapit Rianti, Prita (Pencatat Script), dan Clarissa. Ditengah diisi Oka, Pao, Tarmiji, Kasnan (tim kamera), Adi molana dan pak Rajish. Di depan ada Aku, Retno Damayanti (kostum), mbak Tia (asisten Retno) dan Tika. Seorang supir bernama Ganesh membawa kami membelah negeri India melintasi Gujarat. Sebuah perjalanan panjang dan melelahkan terbayang …

Perjalanan Bombay-Jodhpur mirip seperti perjalanan Jakarta-Surabaya. Padang Ilalang terbentang di kiri kanan. Rumah-rumah gubuk, warung-warung tempat mangkal bis dan Container berderetan sepanjang jalan seperti di film Iran Café Transit, jajaran rumah-rumah pedesaan diselingi pohon-pohon besar dan sawah-sawah tandus berseliweran. Pemandangan luar biasa buatku. Eksotis. Bis kami melaju bersama dengan puluhan bahkan ratusan truk-truk. Kadang bis kami berhenti sekedar minum teh hangat India yang dicampur susu bersama sopir-sopir berkulit hitam. Di perbatasan Gujarat. Kami mendapat persoalan. Bis kami dilarang melintasi perbatasan karena dokumen tidak lengkap. Selama 2 jam kami dicuekin, sementara Ganesh mondar-mandir dari post satu ke post lainnya yang jaraknya 1 km untuk menyelesaikan administrasi. Terlihat dia begitu stress, dia meminjam Hp Tika untuk menghubungi seseorang. Terlihat dari cara bicaranya, Ganesh sedang bertengkar. Mungkin orang itu yang menyebabkan Ganesh mendapat persoalan. Kami nyaris balik ke Bombay karena tidak ada ijin melintas. Ditengah situasi panik itu Rianti, Clarrisa, Oka dan Fedi didatangi militer bersenapan karena mereka foto-foto.

‘Ini bukan tempat wisata!’ kata Militer itu.
Terlihat wajah Rianti pucat karena takut. Akhirnya Ganesh menjelaskan ketidaktahuan kami. Merekapun mengerti. Setelah 2 jam lewat dengan perasaan tidak menentu, kami bisa melintasi perbatasan, melanjutkan perjalanan atas perjuangan Ganesh. Malam yang panjang terasa. Sekalipun sulit buat kami tidur di tempat sempit seperti itu, kami tidak bisa melewatkan rasa ngantuk. Pagi berikutnya kami berhenti di sebuah kota kecil. Kami menyewa losmen kecil buat mandi dan sarapan. Kami istirahat selama 4 jam memberikan kesempatan Ganesh tidur. Di tempat itu kami diliatin penduduk sekitar. Apalagi Rianti dan Clarissa. Orang-orang India memiliki keramahan berbeda dengan Indonesia. Apalagi bukan di kota besar seperti Bombay, Delhi atau Madrass. Suara mereka yang keras membuat kami mengira mereka marah. Tetapi sebenarnya tidak. Di tempat itu kami baru sadar bahwa kami sudah menempuh 15 jam perjalanan. Tetapi kami masih berada setengah perjalanan menuju Jodhpur. Setelah membuka peta baru kami sadar berapa jarak sebenarnya dan berapa waktu tempuh sebenarnya antara Bombay-Jodhpur. Bombay-Jodhpur berjarak 850km, Kira-kira 24 jam waktu perjalanan darat jika ditempuh secara non-stop. Kami merasa ditipu. Fedi yang biasanya diam, kini marah-marah, dia protes ke producer atas perlakuan ini. Jawab producerku, pihak MD tidak tahu menau soal ini. Mereka juga minta maaf. Pak Rajish, salah satu karyawan MD dari India bagian make up artis banyak membantu kami. Setidaknya membantu kami berkomunikasi. Ternyata, dibalik semua itu ada yang tidak jujur, memanfaatkan situasi ini untuk mengambil keuntungan. Aku marah, tetapi aku tahu itu tidak ada gunanya. Akibat dari kesalahpahaman ini kami kehilangan waktu dan tenaga yang seharusnya bisa dimanfaatkan buat Shooting. Kami cuma bisa pasrah …

Jam 8 malam, tepat 30 jam perjalanan dari Bombay, kami masuk Hotel. Alhamdulillah, akhirnya kami bisa merebahkan diri di tempat yang layak. Diatas tempat tidur aku melepaskan pikiran. Sepanjang hidupku, tidak pernah aku membayangkan melintasi negeri Gujarat naik bis. Tanpa asuransi, tanpa perlindungan apapun. Untung tidak ada teroris menghadang kami. Sungguh, aku sudah tidak kuat. Aku ingin lari saja dari produksi. Toh, tidak ada jaminan apapun buatku untuk menyelesaikan film ini? Uang? Demi Alloh, gajiku tidak sebanding dengan persoalan yang aku hadapi. Kalau orang mengira aku melakukan ini semua demi uang? Demi jualan? Kehormatan? Wallohi, orang itu benar-benar picik. Tidak ada keuntungan materi yang aku dapat di film ini. Semata-mata hanya idealismeku saja yang berharap Film Indonesia tidak hanya diisi oleh Horor dan percintaan remaja Kota. Tapi apa itu idealisme? Apakah Kang Abik dan jutaan pembaca AAC mengerti soal idealisme ini? Apa yang mereka bisa berikan buat mengganti segudang persoalan kami disini? Mereka tidak lebih dari sekedar penonton yang menuntut hiburan atau membanding-bandingkan Film dengan Novelnya. Lantas jika tidak sama dengan Novelnya terus mencaci maki, menganggap bodoh dan kafir sutradara yang membuat. Karena hal-hal islami dalam Novel tidak tampak, tidak terasa.

Lagi-lagi dadaku sesak. Tapi aku tidak bisa lari. Aku sudah berjanji kepada diriku, anakku dan ibuku untuk memberikan yang terbaik.
'Kalau kamu sudah bisa membuat film. Buatlah film tentang agamamu.' Kata ibuku yang terus menerus terngiang.

Pagi harinya aku mulai shooting. Dan persoalan seperti tidak selesai. Dari mulai peralatan yang kami pakai sudah ditinggalkan industri India 5 tahun yang lalu alias butut: Lampu-lampu yang fliker (menghasilkan cahaya kelap-kelip seperti neon yang habis watt nya), Kamera tua yang ketika dipakai mengeluarkan bunyi berisik, generator kami yang lebih layak dipakai buat menyalakan mesin pemarut kelapa dibanding buat shooting. Lalu kru-kru India yang disediakan untuk membantu kami bukan kru profesional. Di bagian akomodasi makanan kami selalu datang telat sehingga banyak yang protes. Tidak hanya kru Jakarta saja yang protes, kru India juga begitu. Suatu kali pernah mereka mogok kerja tidak shooting karena hanya di kasih makan sekali sehari. Padahal shooting sampai jam 12 malam. Di lokasi gurun, kami harus mendaki gunung pasir dengan jalan kaki sebelum menuju lokasi utama. Kami menggunakan Unta buat mengangkat Kamera dan perlengkapannya. Kaki-kaki kami sakit tertusuk tanaman duri. Bibir kami banyak yang pecah karena panas matahari. Sebelum mencapai tempat lokasi, kami istirahat mirip kafilah-kafilah yang kehausan ditengah sahara.

Tapi dari semua kesulitan itu, Alhamdulillah aku bisa menyelesaikannya dengan baik. Lokasi yang aku dapatkan luar biasa. Kecuali lokasi Gurun, lokasi Nil, Taman, Rumah Sakit berada di satu hotel peninggalan Kasultanan Pakistan. Lokasi gurun Pasir kami tempuh 4 jam perjalanan dari Jodhpur. Melelahkan tapi juga menyenangkan.
3 hari kami melakukan shooting dan 2 hari sisanya adalah perjalanan. Di hari ketiga, rombongan kembali ke Jakarta. Aku bersama 20 cann film hasil shooting di Jodhpur terbang menuju Madras untuk editing dan processing lab. Sastha Sunu, editor Ayat-Ayat Cinta sudah menungguku disana. Sampai tulisan ini dikirim, aku masih menyelesaikan proses film Ayat-Ayat Cinta yang semakin lama semakin rumit secara teknis. Sehingga mengakibatkan jadwal Tayang Ayat-Ayat Cinta mundur di bulan Januari. Aku tidak berani menjelaskan kerumitan itu, karena sifatnya technical sekali. Pendeknya, produksi Ayat-Ayat Cinta adalah produksi yang penuh dengan cobaan dibandingkan 6 filmku sebelumnya.

Semoga Cobaan ini membuktikan Cinta Alloh masih bersama Kami semua …
Amin….

Hanung Bramantyo
Medio AAC 2007