Selamat Datang

Selamat membaca artikel yang kami sajikan.

29 Mei 2008

100 Tahun Kebangkitan atau 'Kebangetan' Nasional

 Seorang karib dari Yogya kirim sms. Isinya: "Mas, yang benar Kebangkitan atau Kebangetan atau Kebangkrutan Indonesia 100 Tahun?" TETAP SEMANGAT (huruf kapital) di akhir sms-nya. Tersirat rasa frustrasinya. Padahal dia lulusan FE UGM. Pernah menjabat Ketua BEM. Ogah jadi PNS meski difasilitasi. Terbukti sekarang punya usaha sendiri. Dan kini sering menulis opini.

Malam 20 Mei 2008, seluruh stasiun televisi menayangkan pergelaran '100 Tahun Kebangkitan Nasional' dari Istora Senayan. Ada tiga soal berkait acara ini. Pertama isi acara. Alur tema dengan yang digelar agaknya terputus. Yang diperagakan, ternyata sekadar penggalan tarian daerah. Jakarta dengan ondel-ondel, Bali dengan Barongnya. Sesuatu yang biasa disaksikan sehari-hari. Lantas, bisakah ini jelaskan pertanyaan: 'Apanya yang bangkit?'

Soal kedua saat pergelaran. Dalam kondisi rakyat yang makin terhimpit, dalam keresahan BBM dan BLT, tepatkah gelar perhelatan seakbar itu? Sense of crisis kita memang dangkal. Dan ketiga, perhelatan ini punya pesan ke seluruh Indonesia. Bahwa Indonesia baik-baik saja.

Maka yel-yel pun digelegar. 'Indonesiaaaa Bisaaa'. Sekali lagi, 'Indonesiaaa Bisaaa'. Pertanyaanya: 'Bisa apa?' Perhelatan '100 Tahun Kebangkitan Nasional' memang kaburkan kondisi nyata Indonesia. Kita memang kebangetan. Sesungguhnya Indonesia saat ini tengah menghadapi tiga soal besar. Pertama krisis identitas. Kedua spirit korupsi yang begitu tinggi. Dan ketiga lemahnya berkorban untuk bangsa.

Krisis identitas
Kata lain krisis identitas, tak lain krisis jati diri. Jati diri dapat disingkap dari lima pertanyaan : siapa kita, dari mana asal usul kita, apa tujuan kita, dimana posisi sekarang dan kini tengah mengerjakan apa. Lima pertanyaan ini harus dijawab dengan jujur. Siapa kita dan asal usul, jelas Indonesia. Tujuan kita, tentu untuk kemakmuran bangsa. Soalnya kini, mengapa hanya segelintir pihak yang nikmati kemakmuran. Di mana posisi Indonesia, ini juga soal besar. Utang Indonesia total sudah capai US$ 150-an miliar lagi. Sumber daya alam, perbankan, dan industri strategis sudah dicaploki asing. BMI yang kita banggakan, toh kepemilikan lokal saat ini hanya 14%. Lantas untuk menjawab kini tengah kerjakan apa, cukup menyimak pergelaran 20 Mei '08. Temanya '100 Tahun Kebangkitan Nasional', tapi isinya tarian daerah. Apa yang dilakukan memang kerap tak nyambung.

Krisis identitas sudah dimulai sejak SD. Yang diburu cuma kepintaran. Yang punya hubungan ke luar negeri, makin ciamik. Dengan kefasihan Inggris, anak-anak disiapkan untuk tak lagi canggung jual negara jika sudah besar nanti. Sekolah yang tekankan karakter cuma satu dua. Lagu-lagu perjuangan jarang lagi terdengar di telinga anak-anak. Berbagai training motivasi pun tumbuh. Manusia Indonesia memang unik. Untuk jadi baik perlu dimotivasi. Namun yang ditawarkan lebih pada pengalaman pribadi. Manfaatnya baru sebatas pribadi.

Hasilnya amat tampak di sebagian politisi. Durasi politisi kita cuma antarpilkada dan pemilu. Sulit dicari yang punya pemikiran 25 tahun ke depan. Yang tua-tua buat partai, bukan untuk majukan yang muda-muda. Dulu waktu menjabat, ngapain. Negarawan makin sulit dicari di Indonesia. Sebagian akademisi kita juga begitu. Larut dalam hingar bingar pemilu, hingga tak sungkan terjun ke berbagai model center para pejabat.

Spirit of corruption
Ada karikatur yang menggambarkan seorang koruptor terengah-engah dikejar massa. Dimanapun tempat tak aman. Hingga tergiringlah ke pengadilan. Tapi justru koruptor itu berkata: "Nah di sini tempat yang paling aman." Maka gelar HAKIM yang mulia pun diplesetkan. Singkatannya jadi begini: Hubungi Aku Kalau Ingin Menang. JAKSA pun disingkat jadi: Jika Akan Kalah Sisipkan Amplop.

Artinya masyarakat sudah amat pesimis. Korupsi di Indonesia memang akut. Bukan hanya massal tapi juga dilakukan secara berjamaah. Korupsi bukan hanya gelapkan uang. Secara psikologis membuat demotivasi massal. Yang baik jadi tak peduli. Yang tak baik, termotivasi untuk berlomba korupsi. Mustahil sih tidak. Tapi untuk sementara ini, membasmi korupsi di corruptors' country bagai menggantang asap.

Lemah berkorban untuk bangsa
Dalam setiap organisasi ada tiga kepentingan: pribadi, kelompok, dan lembaga. Bagi negara, kepentingan lembaga identik dengan kepentingan rakyat. Bagi yang beriman, inti kepentingan tak lepas kaitnya dengan akhirat. Yang harus diusung, tentu kepentingan lembaga. Namun kepentingan ini sering merugikan kepentingan pribadi. Maka pribadi-pribadi pun membentuk kelompok. Akibatnya kepentingan lembaga disisihkan. Di negara ini, rakyat jadi tumbal karena sudut pandang dan kepentingan sebagian politisi dan sebagian partai. Ujung-ujungnya ada pengusaha di sana. Rakyat hanya ada saat pilkada dan pemilu. Setelah itu nyaris tak ada yang peduli.

Dalam perhelatan 20 Mei '08, presenter berteriak: "Bersama kita pertahankan kedaulatan bangsa". Kedaulatan hakiki itu terletak di mana? Kekuatan politik sebuah bangsa, sesungguhnya terletak di ekonomi. Jika berbagai asset jatuh ke asing, kedaulatan kita ambruk. Lihat Singapura. Lebih kecil dibanding Jakarta. Tapi kekuatan ekonominya yang diperhitungkan dunia, jadi kekuatan politik. Siapa berani lecehkan Singapura. Kabarnya, penerbangan di Indonesia pun dikendalikan dari Changi. Sementara Indonesia, membantu TKW pun tak sanggup. Memburu kapal ikan Thailand, juga kerap gagal karena peralatan kalah canggih. Maka 100 Tahun Kebangkitan atau 'Kebangetan' Nasional?

Oleh : Erie Sudewo (Social Entrepreneur)

15 Mei 2008

Paradoks Pemberantasan Korupsi

Pemberantasan korupsi belum pernah mengambil bentuk yang demikian konkret dan demikian intensifnya. Konkret dalam arti benar-benar diadili dan dipenjarakan tanpa pandang bulu. Intensif dalam arti hampir setiap hari ada saja tersangka baru.

Namun kalau pungutan liar (pungli) kita anggap korupsi, dengan pemberantasan korupsi yang konkret dan intensif tersebut, pungli tidak berkurang sedikitpun.

Pelayanan apapun oleh birokrasi selalu disertai permintaan pembayaran ekstra di luar biaya resmi. Memang bisa ngotot tidak mau membayar, tetapi akan menghadapi kesulitan yang dicari-cari dan dibuat-buat. Setelah itu waktu menunggunya juga sangat lama dengan dalih bahwa yang harus dilayani sangat banyak. Korupsi seperti ini dianggap sebagai praktek yang sudah mendarah daging. Kalau tidak ada pungli kita bahkan merasa heran. Biasanya jumlahnya juga tidak besar.

Korupsi yang jumlahnya besar, tetapi juga dianggap sebagai praktek dagang biasa yalah meningkatkan harga (mark up) oleh pemasok barang dan jasa. Selisihnya buat yang punya kuasa membeli barang dan jasa. Praktek mark up ini tidak hanya berlangsung di kalangan birokrasi pemerintahan. Sudah lama menjadi kebiasaan berdagang bahwa penjual menawarkan mark up kepada manajer pembelian perusahaan-perusahaan swasta.

Yang lebih besar dan lebih berbahaya lagi kalau koruptor sudah tidak mengetahui lagi apakah perbuatannya itu termasuk korupsi atau tidak. Ini yang disebut pikiran yang sudah terkorupsi atau corrupted mind. Contohnya banyak. Ada menteri terkemuka yang sudah lama almarhum pernah mengatakan kepada kerabatnya bahwa kalau seorang menteri sudah melakukan pembelian melalui tender terbuka yang jujur, tetapi pada saat menandatangani kontrak pembelian berhasil “memeras” penjual barang, itu bukan korupsi. Mengapa? Tugasnya yang jujur sudah dilakukan dengan tender terbuka yang jujur. Bahwa penjual barang bisa digertak pembeliannya batal kalau sang menteri tidak diberi upah adalah prestasinya pribadi. Orang yang pikirannya belum terkorupsi merasa bahwa dia hanya bisa menggertak karena menyandang kekuasaan yang bisa membatalkan tender yang sudah dimenangkan. Jadi tetap saja penyalah gunaan kekuasaan.

Rohmin Dahuri merasa bukan korupsi ketika beliau membagi-bagikan uang yang bukan miliknya kepada cukup banyak pemimpin politik guna pembiayaan pemilu. Rohmin merasa membantu proses demokratisasi. Yang menerima juga tidak merasa itu korupsi. Maka terang-terangan mengakui memang menerima. Setelah ramai-ramai, hanya Rohmin yang dihukum. Ini membingungkan, karena pemberi dianggap berkorupsi, penerima tidak. Artinya, dalam kasus Rohmin Dahuri corrupted mind sudah meningkat menjadi corrupted logic.

Termasuk dalam corrupted mind dan sekaligus corrupted logic adalah contoh sebagai berikut. Orang memperoleh kredit dari bank untuk membeli gedung bank yang memberi kredit. Karena gedung sudah menjadi miliknya, bank harus membayar sewa. Hasil sewa setiap bulannya dihitung sampai persis sama dengan anuitas sampai utangnya lunas. Maka orang yang bersangkutan setelah sekian tahun memiliki gedung pencakar langit, dan banknya masih harus membayar sewa terus.

Rasanya mustahil demikian banyaknya anggota Dewan Gubernur Bank Sentral yang demikian bergengsi dan demikian tinggi pendidikannya, melalui rapat resmi memutuskan membagi-bagikan uang Rp. 100 milyar kalau merasa bahwa itu tindakan korupsi. Maka mereka sangat terkejut ketika dinyatakan oleh KPK bahwa itu korupsi.

Di samping kesemuanya itu tidak bisa dibantah bahwa bagian terbesar dari pegawai negeri yang melakukan korupsi kecil-kecilan memang tidak bisa menyambung hidupnya kalau tidak berkorupsi. Gajinya hanya cukup untuk hidup dua minggu. Tapi korupsinya kan tidak bisa dipaskan hanya yang dibutuhkan saja setiap bulannya. Jumlah uang yang sempat dikorupsi tidak bisa diatur supaya setiap bulannya persis sama dengan kekurangan pendapatannya untuk menyambung hidup. Maka mau tidak mau mesti kebablasan.

Lantas bagaimana pemecahannya? Pertama, jumlah kementerian dikurangi sampai yang sangat dibutuhkan saja. Kedua, setiap kementerian dirampingkan sampai hanya divisi-divisi yag memang dibutuhkan saja yang dipertahankan. Ketiga, perbandingan gaji dibuat adil; jangan ada Presdien RI yang gaji bulanannya Rp. 70 juta, tapi gaji Dirut BUMN Rp. 300 juta. Keempat, tingkat gaji dinaikkan sampai benar-benar bisa hidup dengan layak dan kalau perlu dengan “gagah”. Kelima, kalau masih berani korupsi ditembak mati.

Pembiyaannya dari mana? Dari penghematan APBN kalau cara ini berhasil mengurangi korupsi.

Oleh Kwik Kian Gie
www.koraninternet.com
Selasa, 11 Maret 08

100 Tahun Kebangkitan Nasional

 Benarkah negara bangsa kita justru terpuruk 100 tahun setelah dicanangkannya kebangkitan nasional?

Berbeda dengan kebiasaan, saya mulai dengan suasana batin dari hampir semua anak bangsa yang peduli, bahwa negara bangsa kita sedang terpuruk pada tahapan yang mendekati titik nadir.

  • Solusinya harus drastis, tegas, cerdas, diagnosa yang tepat dan pemerintah memerintah dengan tangan besi. Butir-butirnya sebagai berikut.
  • UUD 1945 diberlakukan kembali. Dengan demikian tidak ada lagi pemilihan Presiden, Gubernur, Walikota, Bupati dan Camat secara langsung. Dengan berlakunya lagi UUD 1945, kita menghindarkan diri dari fenomena elit bangsa Indonesia yang perilakunya mengejutkan. Mendadak sontak mereka menjadi orang yang berutang dan menghamburkan ratusan milyar rupiah untuk berkeliling seluruh Indonesia sambil menyombongkan diri bahwa dirinya hebat dan minta kepada rakyat supaya dipilih menjadi pemimpinnya. Mereka bukan lagi orang Indonesia yang terkenal rendah hati, yang humble. Tetapi orang yang tidak tahu malu seraya menghamburkan uang dalam jumlah besar yang tidak dimilikinya. Dengan sendirinya para elit ini kalau terpilih akan menggunakan kekuasaannya untuk berkorupsi guna mengembalikan uang yang telah dihamburkan untuk melakukan money politics.
  • Korupsi diberantas secara komprehensif melalui cara-cara yang sudah ditulis oleh penulis artikel ini dalam sebuah buku kecil berjudul : “Pemberantasan Korupsi untuk memperoleh Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan dan Keadilan Sosial.”
  • Berani menghadapi konsekuensi seberat apapun untuk merebut kemandirian bangsa dalam menyusun kebijakan publiknya sendiri. Untuk itu harus dikenali dengan tepat siapa-siapa musuh-musuh dalam selimut yang menempatkan dirinya sebagai pesuruh, komprador dan kroni kekuatan korprasi asing.

Marilah sekarang kita telusuri sampai seberapa parah dan mendalamnya persoalan bangsa dan negara yang sedang kita hadapi.

DELAPAN TONGGAK TERPENTING DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA

100 tahun setelah peristiwa bersejarah yang dinamakan Kebangkitan Nasional dan hampir 63 tahun merdeka, hari ini kita masih berbicara tentang “mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia”.

Kalaupun kita telah banyak mewujudkan cita-cita kemerdekaan, berbicara tentang mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia selalu relevan. Bukankah Bung Karno selalu mengatakan bahwa bangsa yang ingin menjadi bangsa besar harus menggantungkan cita-citanya setinggi bintang-bintang di langit?

Apakah kita telah mewujudkan cita-cita kemerdekaan, tetapi karena harus menggantungkan cita-cita setinggi bintang-bintang di langit lantas menyelenggarakan sarasehan dengan tema mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia?

Menurut hemat saya sama sekali tidak. Kondisi negara bangsa kita sedang terpuruk dengan tingkat yang mendekati titik nadir. Saya akan membatasi diri pada bidang saya, yakni ekonomi. Namun izinkanlah saya pertama-tama melemparkan pertanyaan tentang apakah kita maju atau mundur dalam 8 bidang yang merupakan tonggak-tonggak terpenting dari kehidupan berbangsa dan bernegara kita, yaitu sebagai berikut :

1. Kemandirian
Apakah kita dalam bidang kemandirian mengurus diri sendiri, yaitu mandiri dan bebas merumuskan kebijakan-kebijakan terbaik buat bangsa sendiri mengalami kemajuan atau kemunduran? Apakah de facto yang membuat kebijakan dalam segala bidang bangsa kita sendiri atau bangsa lain beserta lembaga-lembaga internasional?

2. Peradaban dan kebudayaan
Dalam bidang peradaban dan kebudayaan, terutama dalam bidang tata nilai, mental dan moralitas, apakah setelah 62 tahun merdeka dari penjajahan lebih maju atau lebih mundur? Benarkah Bung Hatta yang sejak puluhan tahun yang lalu sudah mengatakan bahwa korupsi mulai menjadi kebudayaan kita. Benarkah kalau sekarang dikatakan bahwa KKN sudah “mendarah daging” dan merupakan gaya hidup bagian terbanyak elit bangsa kita?

3. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
Apakah setelah 62 tahun merdeka bangsa kita unggul dalam bidang penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi? Kemampuan kita menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diciptakan oleh bangsa-bangsa lain boleh dikatakan cukup up to date. Tetapi yang dimaksud apakah ilmu pengetahuan itu temuan kita sendiri, dan apakah teknologinya ciptaan oleh bangsa kita sendiri? Ataukah kita harus membeli dengan harga sangat mahal dari bangsa-bangsa lain?

4. Persatuan dan kesatuan
Apakah persatuan dan kesatuan bangsa kita lebih kokoh atau lebih rapuh? Referensi yang dapat kita gunakan adalah amandemen UUD 1945. Bentuk dan praktek otonomi daerah, baik dalam bidang pengelolaan administrasi negara maupun dalam bidang keuangannya. Aktifnya gerakan Papua Merdeka di dunia internasional. Konflik antar etnis dan antar agama yang cukup keras walaupun belum di banyak wilayah RI. Hilangnya Sipadan dan Ligitan. Digugatnya Ambalat. Dijadikannya kawasan bebas di Batam, Bintan dan Karimun.

5. Pertahanan dan keamanan
Apakah dalam bidang pertahanan dan keamanan, kondisi kita semakin kuat atau semakin lemah. Referensinya adalah persenjataan dan alat-alat perang yang kita miliki, dikaitkan dengan kemampuan membuatnya sendiri.

Apakah reformasi tidak terlampau meminggirkan kedudukan dan peran TNI sampai melampaui batas-batas yang membahayakan negara?

6. Tempat dan kedudukan bangsa kita dalam pergaulan internasional
Dalam pergaulan antar bangsa dan dalam kaitan keanggotaan kita dalam organisasi-organisasi internasional, apakah bangsa kita mempunyai tempat dan kedudukan yang lebih terhormat ataukah lebih terpuruk?

7. Kemakmuran yang berkeadilan
Tidak dapat disangkal bahwa pendapatan nasional per kapita meningkat sejak kemerdekaan sampai sekarang. Namun seperti diketahui, pendapatan nasional tidak mencerminkan pemerataan maupun keadilan dalam menikmati pendapatan nasional.

Referensi ialah bandingannya dengan negara-negara lain yang setara dalam tahapan pembangunannya. Jumlah angka pengangguran yang masih tinggi. Kemiskinan yang sudah menjurus pada busung lapar dan mati kelaparan. Piramida yang tajam sebagai gambaran perusahaan berskala besar dan usaha kecil menengah (UKM).

8. Keuangan negara
Keterbatasan dalam infrastruktur, pendidikan, pelayanan kesehatan, penyediaan public utility oleh pemerintah disebabkan karena keuangan negara yang boleh dikatakan sudah bangkrut, ataukah atas dasar prinsip (semacam ideologi) bahwa pemerintah haruslah sesedikit mungkin bekerja, dan sebanyak mungkin produksi dan distribusi barang dan jasa apa saja sebaiknya diserahkan kepada swasta, atau prinsip yang sedang disuarakan bahwa the best government is the least government?

Saya khawatir bahwa keresahan dan kegalauan di mana-mana dapat diintisarikan dalam 8 bidang tersebut yang semuanya mengalami kemunduran yang luar biasa.

EKONOMI

Selanjutnya saya membatasi diri pada bidang ekonomi.

Negara kita yang kaya akan minyak telah menjadi importir neto minyak untuk kebutuhan bangsa kita. 90% dari minyak kita dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan minyak asing. Pembagian hasil minyak yang prinsipnya 85% untuk Indonesia dan 15% untuk kontraktor asing kenyataannya sampai sekarang 60% untuk bangsa Indonesia dan 40% untuk perusahaan asing. Minyak milik rakyat Indonesia harus dijual kepada rakyat yang memilikinya dengan harga yang ditentukan oleh New York Mercantile Exchange; tidak oleh para pemimpin bangsa sesuai dengan kepatutan dan daya beli rakyat, seperti yang direncanakan sejak semula oleh para pendiri bangsa kita sampai waktu yang lama setelah kita merdeka.

Negara yang dikaruniai dengan hutan yang demikian luas dan lebatnya sehingga menjadikannya negara produsen eksportir kayu terbesar di dunia dihadapkan pada hutan-hutan yang gundul dan dana reboisasi yang praktis nihil karena dikorup. Walaupun telah gundul, masih saja terjadi penebangan liar yang diselundupkan ke luar negeri dengan nilai sekitar 2 milyar dollar AS.

Sumber daya mineral kita dieksploitasi secara tidak bertanggung jawab dengan manfaat terbesar jatuh pada kontraktor asing dan kroni Indonesianya secara individual. Rakyat yang adalah pemilik dari bumi, air dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya memperoleh manfaat yang sangat minimal.

Ikan kita dicuri oleh kapal-kapal asing yang nilainya diperkirakan antara 3 sampai 4 milyar dollar AS.

Hampir semua produk pertanian diimpor.

Pasir kita dicuri dengan nilai yang minimal sekitar 3 milyar dollar AS.
Republik Indonesia yang demikian besarnya dan sudah 62 tahun merdeka dibuat lima kali bertekuk lutut harus membebaskan pulau Batam dari pengenaan pajak pertambahan nilai setiap kali batas waktu untuk diberlakukannya pengenaan PPn sudah mendekat, dan sekarang telah menjadi Kawasan Bebas Total buat negara-negara lain, tetapi terutama untuk Singapura, sehingga bersama-sama dengan pulau Bintan dan Karimun praktis merupakan satelitnya negara lain. Semua orang menjadikan tidak datangnya investor asing menjadi ancaman untuk semua sikap yang sedikit saja mencerminkan pikiran yang mandiri.

Industri-industri yang kita banggakan hanyalah industri manufaktur yang sifatnya industri tukang jahit dan perakitan yang bekerja atas upah kerja yang mendekati perbudakan seperti yang dapat kita saksikan dalam film “The New Rulers of the World” buatan John Pilger.

Pembangunan dibiayai dengan utang luar negeri melalui organisasi yang bernama IGGI/CGI yang penggunaannya diawasi oleh lembaga-lembaga internasional. Sejak tahun 1967 setiap tahunnya pemerintah mengemis utang dari IGGI/CGI sambil dimintai pertanggung jawaban tentang bagaimana dirinya mengurus Indonesia? Mulai tahun lalu CGI memang dibubarkan, tetapi pembubabaran itu hanyalah pura-pura. Kenyataannya APBN kita masih sangat tergantung pada utang luar negeri yang persyaratannya lebih berat dibandingkan dengan pengaturan yang terdahulu.

Utang dipicu terus tanpa kendali sehingga sudah lama pemerintah hanya mampu membayar cicilan utang pokok yang jatuh tempo dengan utang baru atau dengan cara gali lubang tutup lubang. Pembayaran untuk cicilan utang pokok dan bunganya sudah mencapai 25% atau lebih dari APBN setiap tahunnya.

Oleh Kwik Kian Gie
www.koraninternet.com
Rabu, 14 Mei 08

07 Mei 2008

Kebangkitan yang Menghidupkan

Sekali berarti, setelah itu mati
(Chairil Anwar)

Menurut ilmuwan politik, Rizal Mallarangeng, Chairil Anwar tidak berbicara tentang kematian. Dengan kalimat tersebut, ia justru bicara tentang kehidupan, tentang esensi membangun, mencipta. Chairil Anwar memang mati muda, namun semangatnya tetap hidup sepanjang masa.

Dalam kehidupan sehari-hari, terutama di negeri ini, kita terlampau sering mendengar seseorang berujar, 'berani mati' untuk sebuah kehidupan. Kita juga sering menyaksikan orang-orang bersiaga dalam pasukan 'berani mati' untuk sebuah harapan. Ujaran dan pasukan itu tidak salah secara gramatika, tapi kurang tepat digunakan sebagai pemacu semangat. Kalau kita mau mati, lantas buat siapakah kehidupan ini? Untuk itu, sebaiknya berjuanglah untuk hidup, jangan berjuang untuk mati.

Pada saat Dr Soetomo dan kawan-kawan mendirikan Boedi Oetomo satu abad silam, tujuan utamanya mempercepat proses kemerdekaan, dengan cara mempersatukan kekuatan yang masih tercerai berai akibat kekuasaan kolonial yang menerapkan politik divide it impera. Di sinilah, semangat nasionalisme tak hanya dihidupkan, tapi juga dimanifestasikan.

Manifestasi nasionalisme dalam konteks kekinian adalah bagaimana membangkitkan semangat untuk hidup, yang meskipun hanya sekali, tapi berarti. Berarti bagi semua (bagi dirinya, keluarga, masyarakat, dan negara). Itulah hidup yang, menurut Erich Fromm, penuh harapan. Harapan kita perlukan karena ia merupakan unsur yang sangat penting dalam setiap upaya perubahan sosial agar menjadi lebih hidup, lebih sadar, dan lebih berakal (Fromm, 1996:7).

Dalam konteks itulah makna kebangkitan yang menghidupkan itu. Kebangkitan yang membawa bangsa ini menuju peradaban yang lebih baik, lebih bermakna bagi kehidupan bersama, dan untuk masa depan anak-anak kita. Tapi, perlu segera digarisbawahi, kehidupan semacam ini tidak akan datang sendiri secara taken for granted. Ia harus diperjuangkan, dengan cara-cara yang sesuai dengan semangat yang menghidupkan.

Pertama, dengan memupuk rasa saling percaya. Kedengarannya sederhana, tapi justru itulah persoalan besar yang dihadapi bangsa ini. Membangun bangsa pada dasarnya adalah membangun kebersamaan. Bangsa besar ini lahir karena adanya kebersamaan. Kita tak bisa membayangkan jika, misalnya, orang-orang Sunda ingin mendirikan negara sendiri, begitu juga orang-orang Jawa, Minangkabau, Batak, Melayu, Madura, Dayak, Badui, dan lain-lain, tentu Nusantara ini akan terdiri dari beberapa negara.

Tapi rasa kebersamaan itu sekarang rasanya kian terkikis. Kita berjalan, tidak hanya secara sektoral, tapi lebih sempit dari itu malah secara individual. Di negeri ini, setidaknya pada saat ini, begitu sulit membangun rasa saling percaya. Di ranah ekonomi, politik, bahkan agama. Bayangkan, dalam satu komunitas agama, rasa saling percaya itu pun sudah luntur. Maunya menang sendiri. Kebenaran ingin dimonopoli. Seolah-olah surga itu hanya milik golongan tertentu, dengan ciri-ciri tertentu.

Kita tidak tengah membenci pilihan-pilihan individual. Setiap individu punya hak untuk mempertahankan keyakinan yang dianutnya, bahkan untuk memperjuangkan kebebasan yang diinginkannya, tapi bukan berarti kita harus mengorbankan kebersamaan. Karena setiap individu pada dasarnya menjadi bagian dari individu yang lain. Kita tak bisa hidup sendirian. Karena itulah kita butuh negara, butuh birokrasi, butuh organisasi. Suatu kebersamaan yang diatur dalam kontrak sosial, dengan dilandasi 'lagi-lagi' rasa saling percaya. Tanpa ada rasa saling percaya, baik negara, birokrasi, organisasi, atau apa pun namanya, hanya akan menjadi bangunan tua yang dihuni manusia-manusia yang saling memangsa (homo homini lupus).

Kedua, dengan berpikir positif. Menurut para psikolog, buruk sangka akan melahirkan energi negatif bagi lingkungannya. Orang yang selalu curiga, akan sulit mencapai harapan yang diimpikannya. Sebaliknya, orang-orang yang selalu berpikir positif akan lebih mudah mencapai apa yang dicita-citakannya.

Karena, menurut Rhonda Byrne--penulis buku best seller, The Secret--nasib manusia ditentukan frekuensi pemikirannya. Jika pemikirannya berada pada frekuensi yang negatif, ia akan lebih banyak dihinggapi hal-hal yang buruk. Sebaliknya jika berada pada frekuensi yang positif, segala kebaikan akan menyertai kehidupannya.

Hidup ini pada dasarnya hanyalah pertarungan antara dua cara berpikir, positif atau negatif. Mengapa negeri ini begitu sulit bangkit dari keterpurukan? Dengan formula Byrne, kita sudah mafhum. Barangkali, karena yang menghuni negeri ini mayoritas orang-orang yang berpikir negatif.

Ketiga, dengan memupuk optimisme. Seperti pikiran negatif, pesimisme bisa menular. Oleh karenanya, optimislah. Jangan biarkan pesimisme menggerogoti kehidupan kita. Boleh percaya boleh tidak, hanya dengan optimisme, harapan hidup orang miskin lebih baik daripada harapan hidup orang kaya tapi pesimistis. Maka, pandanglah dunia dengan penuh optimisme, untuk mendapatkan kehidupan yang lebih berarti dan bermanfaat.

Hanya dengan ketiga cara itu, rasa saling percaya, berpikir positif, dan optimisme, tentu ada harapan besar bagi kebangkitan bangsa ini. Suatu kebangkitan yang menumbuhkan asa dan cita-cita akan hadirnya masa depan yang memberi ruang bagi anak-anak kita untuk hidup dalam suasana ceria, seraya menatap langit, memandang cakrawala.

Jeffrie Geovanie, Intelektual Muda Partai Golkar
Media Indonesia
Selasa, 06 Mei 2008 07:45 WIB

Apakah Tuhan Menciptakan Kejahatan?

Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?
Apakah kejahatan itu ada?
Apakah Tuhan menciptakan kejahatan?

Seorang Profesor dari sebuah universitas terkenal menantang mahasiswa-mahasiswa nya dengan pertanyaan ini, "Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?".

Seorang mahasiswa dengan berani menjawab, "Betul, Dia yang menciptakan semuanya".
"Tuhan menciptakan semuanya?" Tanya professor sekali lagi.
"Ya, Pak, semuanya" kata mahasiswa tersebut.

Profesor itu menjawab, "Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan."

Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab hipotesis professor tersebut.
Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri bahwa sekali lagi dia telah membuktikan kalau agama itu adalah sebuah mitos.

Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, "Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?"

"Tentu saja," jawab si Profesor

Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, "Profesor, apakah dingin itu ada?"

"Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada. Kamu tidak pernah sakit flu?" tanya si professor diiringi tawa mahasiswa lainnya.

Mahasiswa itu menjawab, "Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas".

Mahasiswa itu melanjutkan, "Profesor, apakah gelap itu ada?"

Profesor itu menjawab, "Tentu saja itu ada."

Mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi anda salah, Pak. Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya."

Akhirnya mahasiswa itu bertanya, "Profesor, apakah kejahatan itu ada?"

Dengan bimbang professor itu menjawab, "Tentu saja, seperti yang telah kukatakan sebelumnya. Kita melihat setiap hari di Koran dan TV. Banyak perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-perkara tersebut adalah manifestasi dari kejahatan."

Terhadap pernyataan ini mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi Anda salah, Pak. Kejahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan. Seperti dingin atau gelap, kajahatan adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan.
Tuhan tidak menciptakan kejahatan. Kejahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih Tuhan dihati manusia.
Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya."

Profesor itu terdiam.

FYI, nama mahasiswa itu adalah Albert Einstein.....

Disorientasi Kebijakan Ekonomi

Filsuf Inggris GE Moore dalam bukunya, Principia Ethica (1903), menjelaskan konsep kesalahan alamiah (naturalistic fallacy) yang kemudian lebih dikenal sebagai formal fallacy. Intinya menciptakan kesimpulan etis dari fakta alamiah. Tidaklah mengherankan jika saat ini muncul diskursus yang mencoba mengatakan kenaikan harga BBM di dalam negeri merupakan keharusan.

Terjadinya formal fallacy merupakan bukti bahwa bangsa Indonesia tengah masuk perangkap mazhab Mafia Berkeley yang mendorong pemerintah untuk menaikkan harga BBM domestik. Para penyokong Mafia Berkeley selalu mengatakan kenaikan harga BBM (baik yang versi kenaikan sebesar 10% hingga 15%, 10% hingga 30% ataupun 100%) dapat diterima masyarakat (ada pula yang menyarankan kenaikan yang lebih tinggi daripada itu) dan masih dapat ditanggung oleh rakyat. Lucunya, pendapat mereka tidak pernah didasarkan pada penelitian tentang hal tersebut, misalnya jika dinaikkan harganya, berapa persen penduduk miskin akan bertambah miskin? Berapa besar dampaknya terhadap inflasi? Apa yang menjadi argumentasi dari angka 10% hingga 15% dan kenapa tidak 3%? Apa dampaknya dengan daya saing perekonomian?

Perlu diingat bahwa situasi dunia saat ini berbeda dengan kondisi periode kenaikan harga BBM di masa lalu yang sekarang justru harga komoditas selain minyak juga meningkat secara deras. Intinya analisis dengan metodologi apa pun akan terjebak kepada analisis linear yang menyesatkan karena kondisinya tidak lagi cateris paribus. Tanpa didukung penelitian yang memadai, Tinkerbell effect yang diharapkan akan sulit tercapai. Sementara itu, Fed baru saja menurunkan tingkat suku bunga sebesar 25 bps menjadi 2% dan discount rate menjadi 2,5% untuk membentuk Tinkerbell effect.

Dengan demikian, harga Fed rate akan tetap diperkirakan sebesar 2% hingga akhir 2008 jika digunakan pasar futures, namun grafik yang terbentuk adalah seperti huruf U yang menuju akhir 2008 Fed rate akan sedikit melemah. Dengan demikian, apa yang diperkirakan oleh pasar futures dapat saja tidak terpenuhi. Artinya, kondisi huruf U untuk Fed rate pada 2008 ini belum tentu terpenuhi. Untuk itu, nilai tukar dolar diperkirakan terus melemah sehingga daya saing Amerika Serikat akan terus menguat sekaligus untuk mengoreksi kondisi global imbalances.

Konsekuensinya, harga minyak dan energi akan terus meroket sehingga juga akan meningkatkan harga-harga komoditas pangan lainnya. Bagi perekonomian Indonesia yang merupakan small open economy, orientasi kebijakan ekonomi haruslah mempertimbangkan faktor-faktor ini. Kesalahan dalam mempertimbangkan faktor-faktor ini akan menyebabkan disorientasi kebijakan ekonomi yang pada gilirannya akan menyebabkan alokasi sumber daya dan dana secara tidak efisien.

Dalam kondisi kenaikan harga minyak dunia yang bersifat exogeneous maka upaya kenaikan harga minyak domestik justru akan menyebabkan spiral inflation dan penurunan kapasitas ekonomi yang pada gilirannya memukul pertumbuhan ekonomi. Apalagi jika kenaikan harga BBM di dalam negeri justru meninggikan program-program subsidi jaringan sosial di bawah kendali Menko Kesra yang bersifat tunai maupun nontunai.

Program-program subsidi sebagai kompensasi kenaikan harga BBM belum memiliki kajian yang ilmiah dalam meningkatkan kesejahteraan para penduduk miskin di Indonesia, apalagi 2009 adalah tahun pemilu yang tentu sangat rawan dalam hal penyalahgunaan dana. Banyak bukti yang memperlihatkan program kompensasi kenaikan harga BBM bukan hanya salah sasaran tetapi juga bersifat top down yang bersifat helicopter drop (Milton Friedman). Padahal nilai program ini terus meningkat secara fantastis dari tahun ke tahun.

Program Nasional Pendampingan Mandiri (PNPM) yang besarnya sampai 30% dari setiap departemen dengan pimpinan Menko Kesra melibatkan verifikasi dari Bank Dunia, sementara konsultan verifikasinya Bank Dunia adalah kakak dari Menteri Keuangan Sri Mulyani dari Lembaga UKM FEUI. Bukan hanya itu HPP gabah hanya Rp2.300, sedangkan harga beras di pasar internasional mencapai Rp9.300 per kilogram, mengapa justru harga BBM yang dinaikkan dan bukan HPP gabah? Logikanya HPP gabah harus dinaikkan minimal menjadi Rp8.000 untuk menciptakan optimalitas bagi pembangunan perekonomian Indonesia.

Sementara itu, kenaikan harga BBM domestik berarti juga penurunan daya saing produk Indonesia terhadap produk-produk buatan Amerika Serikat karena penurunan nilai tukar dolar terhadap rata-rata mata uang dunia, penurunan cost capital akibat penurunan Fed rate dan semakin murahnya harga BBM alternatif di Amerika Serikat karena program subsidi biodisel. AS menerapkan subsidi BBM (melalui program biodisel) yang terbukti efektif untuk mendorong permintaan domestik sehingga pertumbuhan ekonomi kuartal pertama 2008 tidak negatif yaitu berada pada 0,6%.

Yang mengerikan adalah upaya kenaikan harga BBM domestik merupakan disinsentif bagi upaya peningkatan produksi minyak di Indonesia. Padahal jika produksi minyak dapat ditingkatkan, nilai subsidi yang dapat ditekan lebih besar ketimbang skenario kenaikan harga BBM apa pun. Dengan pendekatan Mafia Berkeley yang telah menciptakan budaya kenaikan harga BBM domestik semenjak zaman Orde Baru, hasilnya adalah munculnya korelasi penurunan produksi minyak di dalam negeri dengan kenaikan harga BBM domestik. Artinya, penurunan produksi minyak di dalam negeri akan semakin besar jika pemerintah terus menaikkan harga BBM di dalam negeri.

Dengan kata lain strategi yang akan diterapkan oleh pemerintah merupakan obat yang hanya mengobati gejala penyakit di dalam perekonomian Indonesia dan bukan penyakitnya itu sendiri. Jika harga minyak terus memperlihatkan kenaikan dalam minimal tiga tahun ke depan, tanpa kenaikan volume produksi minyak di dalam negeri akan menyebabkan harga BBM domestik terus mengalami peningkatan yang melebihi apa yang telah diekspektasikan oleh masyarakat dan pemerintah sendiri.

Tugas Menteri Pertambangan dan Energi untuk menaikkan lifting minyak menjadi mandul dengan kenaikan harga BBM domestik. Kondisi ini akan menimbulkan ketidakpastian (expectation gap) dalam proses berbisnis karena pemerintah dipastikan kehilangan kontrol dalam menghentikan kenaikan harga BBM domestik akibat produksi minyak domestik yang terus tertekan. Padahal, pemerintah telah meningkatkan harga BBM untuk sektor industri (dan juga pertamax). Artinya, cost push inflation sudah terjadi yang jika disertai pelemahan aggregate demand akibat BI rate yang tidak diturunkan dan pelemahan daya beli masyarakat akan menyebabkan demand led recession yang pada gilirannya mengancam stagflasi pada perekonomian Indonesia.

Jelas bahwa peningkatan harga BBM untuk masyarakat pada gilirannya semakin memukul daya beli masyarakat. Di sinilah terlihat ketidakkonsistenan kebijakan pemerintah dalam menghadapi ancaman resesi global yang seharusnya berupaya memompa permintaan domestik termasuk dengan mempertahankan subsidi BBM. Inflasi spiral yang ditimbulkan oleh kenaikan BBM pada gilirannya akan menyebabkan pelemahan nilai rupiah yang justru akan semakin membuat harga BBM dalam rupiah kembali semakin mahal.

Kondisi itu bagaikan lingkaran setan yang sulit dicari ujung pangkalnya. Lingkaran setan ini hanya dapat diputus jika harga minyak dunia kembali melemah atau nilai tukar rupiah kembali menguat terhadap dolar. Yang pertama tampaknya di luar kendali para perencana ekonomi di Indonesia karena harga minyak dunia bersifat exogenous, sedangkan yang kedua membutuhkan cadangan devisa yang kuat dengan cadangan devisa Indonesia saat ini justru relatif sangat rendah.

Peningkatan ekspor sangat sulit karena perekonomian dunia sedang melemah dan biaya produksi di Indonesia semakin tidak kompetitif dengan naiknya harga BBM. Seperti kata peraih hadiah Nobel Kahneman dengan prospect theory-nya yang akhirnya pilihan yang optimum tergantikan dengan pilihan dunia nyata sepanjang pengambil keputusan mengetahui secara pasti output, risiko, dan probabilitas masing-masing. Implikasinya, Indonesia akan semakin terbelit oleh lingkaran setan yang justru akan semakin membuat bangsa ini menghadapi pilihan-pilihan yang semakin berisiko yang berdampak pada semakin terdisorientasinya kebijakan-kebijakan pembangunan untuk kepentingan politik jangka pendek!

Achmad Deni Daruri, President Director Center for Banking Crisis
Media Indonesia
Selasa 6 Mei 2008