Selamat Datang

Selamat membaca artikel yang kami sajikan.

30 Agustus 2008

Allah SWT Hanya Memanggil Kita Tiga Kali

Dalam suatu kisah perjalanan umrah, ada dialog kecil antara seorang gadis dengan Ibu:

Ibu berkata ... : 'Allah hanya memanggil kita 3 kali saja seumur hidup'
Keningku berkerut.... ....'Sedikit sekali Allah memanggil kita..?'
Ibu tersenyum. 'Iya, tahu tidak apa saja 3 panggilan itu..?'
Saya menggelengkan kepala.

'Ta, Panggilan pertama adalah “Azan”, ujar Ibu.
'Itu adalah panggilan Allah yang pertama. Panggilan ini sangat jelas
terdengar di telinga kita, sangat kuat terdengar.
Ketika kita sholat, sesungguhnya kita menjawab panggilan Allah.
Tetapi Allah masih fleksibel, Dia tidak 'cepat marah' akan sikap kita.
Kadang kita terlambat, bahkan tidak sholat sama sekali karena malas. Allah
tidak marah seketika. Dia masih memberikan rahmatNya, masih memberikan kebahagiaan bagi umatNya, baik umatNya itu menjawab panggilan Azan-Nya atau tidak. Allah hanya akan membalas umatNya ketika hari Kiamat nanti'.

Saya terpekur.... .mata saya berkaca-kaca. Terbayang saya masih melambatkan
sholat karena meeting lah, mengajar lah, dan lain lain. Masya Allah.......

Ibu melanjutkan, 'Ta, Panggilan yang kedua adalah panggilan “Umrah/Haji”
Panggilan ini bersifat halus. Allah memanggil hamba-hambaNya dengan
panggilan yang halus dan sifatnya 'bergiliran' .
Hamba yang satu mendapatkan kesempatan yang berbeda dengan hamba yang lain.
Jalan nya bermacam-macam.
Yang tidak punya uang menjadi punya uang, yang tidak merancang pula akan
pergi, ada yang memang merancang dan terkabul.
Ketika kita mengambil niat Haji/Umrah, berpakaian Ihram dan melafazkan
'Labbaik Allahuma Labbaik/Umrotan',
sesungguhnya kita saat itu menjawab panggilan Allah yang ke dua.
Saat itu kita merasa bahagia, karena panggilan Allah sudah kita jawab,
meskipun panggilan itu halus sekali.
Allah berkata, laksanakan Haji/Umrah bagi yang mampu'.

Mata saya semakin berkaca-kaca. ........Subhanallah...... .saya datang
menjawab panggilan Allah lebih cepat dari yang saya
rencanakan .....Alhamdulillah...

'Dan panggilan ke-3', lanjut Ibu, 'adalah ”KEMATIAN”. Panggilan yang kita
jawab dengan amal kita.
Pada kebanyakan kasus, Allah tidak memberikan tanda tanda secara langsung,
dan kita tidak mampu menjawab dengan lisan dan gerakan. Kita hanya
menjawabnya dengan amal sholeh.

Karena itu Ta, manfaatkan waktumu sebaik-baiknya.... Jawablah 3 panggilan
Allah dengan hatimu dan sikap yang Husnul Khotimah....
Insya Allah syurga adalah balasannya.. ...'

Kami Ingin Perpuasa Seperti Rasul

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgtTGYDYSHqByKFN9QeqEv8z0JhOMUIBpX40GsFfB6gewh_CrYjZE9VYeCpwKrkAf5qenoEG9SqlXe0tDKg0zRXU5zFwm4zFltM92jO3cdGH3RQIDskDhLKp2nccq3Xm7JAZnC6b5rMq78/s320/ramadan03.gif Kami ingin berpuasa seperti Rasul-Mu, ya Allah
Puasa yang tawadhu agar kami dapat merasakan bagaimana lapar dan haus yang hakiki
Puasa yang sabar agar kami mafhum makna pengekangan diri
Puasa yang penuh keikhlasan agar kami senantiasa berbagi dan memberi
Kami ingin berpuasa seperti Rasul-Mu, ya Rabbi

Kami ingin memuasakan pandangan mata kami yang tak letih-letihnya
Membaca berita kejahatan, kekerasan, kuka dan air mata
Gambar-gambar yang rusuh dan menakutkan, yang menjadikan tidur kami
Seperti sebuah dunia yang tak pernah damai
Gambar hidup, gambar digital dan gambar mass media yang membangkitkan gairah nafsu
Hingga kami lupa sedang berpuasa, ya Allah
Kami ingin berpuasa dengan mata yang sejuk seperti Rasul-Mu, ya Allah


Kami ingin memuasakan telinga kami yang terus menerus mendengar suara-suara
Yang keluar dari lidah yang selalu bergunjing kejelekan dan aib manusia
Kami selalu ikut mendengarnya ya Allah dan tidak mampu menghindarinya
Kami selalu sadar tapi teramat sulit untuk melepaskannya, meskipun kami sedang berpuasa
Betapa sulit ya Allah, kami lepas dari penjara kata-kata ini


Kami ingin berpuasa seperti Rasul-Mu, ya Allah
Puasa yang menafaskan zikir dalam setiap helaan napasnya
Puasa yang penuh kesederhanaan dan kesantunan dalam melangkah kehidupan
Kami ingin mengikuti jejak langkah Rasul-Mu, ya Allah


Kami ingin memuasakan lidah kami yang selalu berkata-kata salah dan tak bermakna
Dalam kungkungan bahasa yang penuh kebohongan dan kemunafikan
Kalimat-kalimat yang selalu menyakitkan hati sesama
Karena keluar dari lidah yang tak pernah terjaga dalam amanah
Kami mengerti sepotong kata bisa menjadi pedang yang tajam
Yang dapat melukai hati dan perasaan, tapi kami tak bisa menjaganya ya Allah
Selalu datang hasrat untuk asyik berkata-kata dalam gunjingan ghibah


Kami ingin memuasakan pikiran kami yang penuh dengan buruk sangka
Yang selalu mencari pembenaran atas semua perilaku kami yang salah
Pikiran yang terkungkung oleh keinginan yang tak habis-habisnya
Selalu meminta selalu bertanya-tanya untuk nafsu yang berabad-abad ada
Dalam tubuh kami yang lusuh dan penuh debu, ya Allah


Kami ingin berpuasa dengan memuasakan seluruh tubuh kami, ya Allah
Kami ingin berpuasa dengan segenap ruh yang menyatu
Seperti puasa Rasul-Mu ya Allah, yang sederhana ketika berbuka dengan sepotong korma
Kami ingin puasa kami sampai ya Allah
Sampai pada gerbang magfiroh dan cahaya kecintaan-Mu, ya Allah
Kami ingin puasa kami menghampir pada jarak-Mu ya Allah..............

Larinda 2006-2007

Anak dan Tanggung Jawab Kita

SEORANG teman pernah bercerita soal anak dan tanggung jawab. Suatu hari dia menyeberang jalan, di sebuah jalanan di Spanyol. Seperti biasa, sebagai orang Indonesia, ia menyeberang tanpa melalui zebra-cross. Saat itu memang tak ada mobil, sepi, juga tak ada polisi; kecuali seorang ibu dengan anaknya yang masih balita. Begitu ia sampai ke seberang jalan, terdengar teriakan si ibu dari seberang jalan yang baru saja ia tinggalkan."Hei..hei... ke Sini!!". Kira-kira begitu teriakan ibu itu.

Mendengar seorang ibu yang berteriak sambil melambaikan tangan, sebagai orang Indonesia, teman ini langsung kembali menyeberang Pasti ada apa-apa dengan ibu ini, ia butuh pertolongan. Sesampainya di dekat ibu itu, ia dibentak, "Hai, kenapa kamu menyeberang bukan dari zebra-cross? Tahukah kamu, kelakuanmu itu sudah mengajari anak saya melanggar peraturan, kamu sudah menanamkan dalam memorinya bahwa melanggar peraturan itu sesuatu yang biasa-biasa saja!"

Cerita ini mengagetkan teman saya, juga saya. Soal orang Indonesia melanggar peraturan bukanlah hal yang mengejutkan. Namun argumen ibu itu yang mengaitkan pelanggaran dengan masa depan anaknya itulah yang lebih mengejutkan. Begitu pentingnya masa depan anak-anak bagi ibu itu, begitu pentingnya ibu itu menjaga memori dan kesadaran anaknya agar tetap terjaga dalam perbuatan baik. Bagaimana dengan kita?

Pertengahan bulan Juli ini, saya memiliki cerita yang lain tentang orang tua dan anaknya. Kali ini dari tetangga-tetangga saya yang mau menyekolahkan anaknya di SMP. Konon, sang anak adalah juara umum di sekolahnya dan dapat mengikuti test masuk SMP dengan mudah. "Mudah-mudahan anak saya bisa masuk kepada pilihan pertamanya!" harap sang bapak.

Tanggal 11 malam, bertemu sang bapak lagi dengan wajah yang muram, lebih tepatnya penuh kekecewaan, "Anak saya gagal, semula nilainya 80, saya sudah mengeceknya lewat SMS. Eh...kemarin nilainya jadi 67. Saya protes, dan guru-guru di SMP itu minta maaf atas kekhilafannya. Lalu, mereka menawarkan jalan belakang, biasa dengan bayar sekian rupiah!" Tetangga saya menolak untuk membayar, ia biarkan anaknya ke sekolah swasta saja. "Saya tak mau anak saya belajar di sekolah pembohong!"

Menurut sahibul gosip, melorotnya nilai anak tetangga saya itu karena ada beberapa anak lain yang nilainya rendah dikatrol dengan cara membayar sekian rupiah. Tentu saja yang membayarnya adalah orang tua, dan yang menerimanya adalah guru yang terhormat. Marilah kita bandingkan sikap dan tanggung jawab kita pada anak-anak. Keputusan untuk membayar sejumlah rupiah demi sang anak tentu didasari pilihan untuk memberikan kasih sayang yang terbaik buat sang anak, namun pada saat yang bersamaan kita telah menanamkan racun pada kesadaran anak-anak itu. Racun itu adalah, 1) uang bisa menyelesaikan segalanya; 2) tak usah berprestasi, biasa-biasa saja, nanti juga uang bias menambalnya.

Barangkali dari peristiwa kecil inilah korupsi membudaya. Tanpa sadar kita melakukannya setiap hari, dan repotnya lagi kita melakukan itu di depan anak-anak kita. Anak-anak yang masih polos itu pastilah telah mencatat di relung kesadarannya dan menjadikannya falsafah hidup sepanjang hayat. Terlebih lagi, peristiwa ini dialami sang anak di lembaga pendidikan yang semua aspeknya merupakan nilai mulia yang harus ditiru dan diteladani.

Marilah kita bercermin lagi pada cerita yang lain. Cerita kali ini datang dari salah seorang cucu Mahatma Ghandi. Ia dan anaknya pergi ke suatu tempat. Karena acara sang ayah agak lama, sang anak diizinkan untuk membawa mobil itu bagi keperluannya sendiri. "Syaratnya, jam sekian kamu harus berada di sini, menjemput bapak!" ujar sang ayah. Pada jam yang ditentukan sang anak belum kembali, menit demi menit sang anak belum juga kembali. Sang ayah menunggu sampai beberapa jam. Lalu, sang anak dating dan mengajukan permohonan maafnya.

"Baiklah kalau begitu," ujar sang ayah, "naikilah mobil itu, bawalah pulang. Saya akan jalan kaki ke rumah!" Sang anak protes dan merasa bersalah. Namun sang Ayah tetap saja jalan kaki sambil berpesan,"Mengingkari janji adalah kesalahan terbesar dalam hidup ini, kamu sudah melakukannya padaku. Semua itu pastilah bukan kesalahanmu, itu semua Karena saya salah mengajarimu, nak. Karena itu biarlah ayah menghukum diri, menghukum kesalahan pendidikanku padamu!" Sejak saat itu, sang anak tak pernah lagi mengingkari janji.

Seluruh kisah-kisah ini adalah bahan refleksi kita pada Anak. Benarkah kita serius merawat anak kita yang sering kita sebut sebagai amanah (titipan) dari Allah? Betapa mulia kata-kata "amanah (titipan) Allah".Pada istilah ini terlihat relasi antara Allah dan kita yang sedemikian akrab,Allah percaya pada kita karena itu Dia menitipkan sesuatu yang berharga.Lazimnya titipan, ia harus tetap seperti nilai awalnya. Nilai awal sang anak adalah fitrah, dan harus tetap fitrah.

Fitrahnya adonan untuk dicetak, fitrahnya perhiasan untuk membuat bangga pemakainya, fitrahnya sang anak tentu bukan untuk "dicetak" agar "membuat bangga" orang tuanya. Sang anak adalah sebutir benih yang begitu rapuh,butuh tanah yang baik dan pemeliharaan yang sesuai takaran.Kecenderungan benih adalah terus mencari cahaya, tetapi putik kecil bisa saja ditipu --diberi cahaya palsu-- dan memercayainya seumur hidup.

Bisakah kita menjadi tanah, yang menerima amanat secara jujur? Tanah tak pernah menumbuhkan semangka bila ia mendapatkan titipan benih padi. Benih padi yang ditanam, tumbuhan padi pula yang tumbuh. Bisakah kita menerima benih fithrah "anak kita" dan mengembangkannya menjadi fithrah yang lebih baik? Sebuah hadis menyatakan bahwa setelah kematian menerpa kita, tak ada yang bisa menolong dari siksa kubur kecuali doa dari kesalehan sang anak. Tentu saja, maksud hadis ini bila sang anak, "titipan Allah" itu, telah kita jaga dan tumbuh tetap berada dalam fitrahnya, maka kita akan mendapatkan hadiah dari Tuhan karena telah menjaga amanahnya dengan baik.

Pada hari ini, ada baiknya kita menyempatkan diri untuk mengelus dan mengecup lembut kening mereka. Kita layak meminta maaf karena selama ini telah memberikan ruang hidup yang sumpek, penuh keluhan dan pertengkaran, serta tidak memberikan jaminan-moral. Kita pun layak memohon ampunan pada Allah karena titipan-Nya belum dirawat secara baik.

Tersenyumlah, anak-anak menunggu ketulusan kita!

Oleh : Bambang Qomaruzzaman
Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung

Menciptakan Agent of Change

Oleh : Muhammad Na'im Amali

Pendahuluan

Ucar syukur Alhamdulillah, Kantor Wilayah DJP Banten telah mampu menyelenggarakan Internalisasi kode etik untuk tahun kedua sekaligus menyelenggarakan training of trainers (TOT) guna mencetak agent of change di lingkungan Kantor Wilayah DJP Banten pada hari Kamis tanggal 21 Agustus 2008 bertempat di Meeting Room Damai Indah Golf BSD Tangerang.

Acara ini diikuti oleh 42 orang, terdiri dari Kepala Kantor Wilayah, para Kepala Bidang dan Kepala Bagian Umum (4 orang), Kepala KPP Madya, para Kepala KPP Pratama (7 orang) dan 29 orang Kepala Seksi/Fungsional Pemeriksa/Account Representative/Pelaksana.

Acara internalisasi tahun 2008 bertujuan selain untuk menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalan corporate value DJP juga untuk mencetak agent of change di setiap KPP yang nantinya akan melakukan internalisasi kode etik kepada para pegawai di lingkungan masing-masing KPP. Internalisasi kode etik dimulai tepat pada pukul 08.30 WIB dengan diawali menyanyikan lagu Padamu Negeri. Acara ini diisi oleh 3 (tiga) orang motivator, yaitu Bapak Kepala Kantor Wilayah DJP Banten, serta motivator dari luar institusi DJP, Bapak Djoko dan Bapak Jay Soemirat.

Sebelum mengikuti sesi I, para peserta dibagi dalam 6 (enam) kelompok melalui metode random, sehingga 1 (satu) kelompok beranggotakan Pelaksana hingga eselon 3. Setiap kelompok diberi kesempatan untuk mengenalkan para anggotanya sekaligus menampilkan yel-yel beserta gayanya masing-masing. Suasana internalisasi menjadi sangat akrab dan menyenangkan.


Bagaimana Corporate Value Dapat Mencapai Visi DJP

Pada sesi I, Kepala Kantor Wilayah DJP Banten, Bapak Bambang Basuki, memperoleh kesempatan menguraikan secara jelas bagaimana corporate value pada akhirnya dapat mencapai visi DJP.

Corporate value DJP yang terdiri dari integritas, profesionalisme, inovasi dan teamwork merupakan dasar pembentuk sikap atau perilaku pegawai. Oleh karenanya, pelaksanaan nilai-nilai corporate value harus diikuti dengan kode etik dan pengawasan melekat (waskat). Baik kode etik maupun waskat mengandung law enforcement berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan.

Jadi butir-butir kode etik harus memuat nilai-nilai yang ada dalam corporate value. Mengingat corporate value ditetapkan jauh setelah keluarnya PMK nomor 01/PM.3/2007 tentang kode etik pegawai DJP, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut apakah butir-butir kode etik yang ada saat ini telah sesuai dengan nilai-nilai corporate value. Apabila ternyata tidak maka perlu dilakukan revisi atau penyesuaian.

Sikap atau perilaku pegawai yang mengandung nilai-nilai corporate value akan berpengaruh pada pembentukan brand image . Brand image ini dikesankan dalam bentuk pelayanan, pemeriksaan, penyuluhan, penagihan, penerimaan dan sebagainya. Dalam rangka penciptaan brand image yang baik maka diperlukan adanya rencana strategis (renstra). Inilah fungsi rencana strategis DJP tahun 2008-2012 sebagaimana tertuang dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor KEP-111/PJ/2008 tanggal 23 Juni 2008.

Baik sikap atau perilaku pegawai maupun brand image yang dikesankan dari setiap produk atau outcome DJP, memiliki korelasi positif terhadap pembentukan corporate image . Corporate image ini akhirnya akan menentukan bagaimana pandangan atau penilaian masyarakat terhadap kualitas dari organisasi DJP dan akan menjadi identitasnya. Apabila corporate image terbentuk dengan baik maka pada dasarnya visi DJP berhasil dicapai. Visi DJP adalah menjadi institusi pemerintah yang menyelenggarakan sistem administrasi perpajakan modern yang efektif, efisien, dan dipercaya masyarakat dengan integritas dan profesionalisme yang tinggi.

Yang menjadi tantangan saat ini adalah bagaimana menjadikan nilai-nilai corporate value sebagai ruh dari setiap pekerjaan. Apabila nilai-nilai corporate value tidak diterapkan dalam bekerja oleh semua pegawai maka visi DJP akan menjadi sangat sulit untuk dicapai.


Strategi Dalam Menyikapi Perubahan

Sesi II dipandu oleh seorang motivator yang terkenal dengan kemahirannya dalam memainkan alat musik berupa angklung, yaitu Bapak Djoko. Pada awal pemaparannya, Motivator mempresentasikan beberapa slide, film pendek serta simulasi yang mengandung pesan bahwa perubahan harus melalui suatu proses yang berkelanjutan. Perubahan yang besar hanya mungkin akan terjadi apabila perubahan yang kecil-kecil secara terus menerus dan konsisten dilakukan oleh semua anggota organisasi. Tanpa ada perubahan dari yang kecil-kecil maka perubahan besar yang diharapkan niscaya terasa sulit untuk dicapai. Begitu pula dengan perubahan dalam organisasi DJP.

Melalui metode yang penuh humoris tetapi tetap informatif, menjadikan semua peserta mulai dari Pelaksana hingga Kepala Kantor Wilayah antusias dalam mengikuti setiap instruksi yang diberikan oleh Motivator. Motivator membuat simulasi untuk menunjukkan bahwa perubahan pada awalnya tidaklah nyaman tetapi dengan upaya yang kontinyu dan konsisten maka perubahan akan terasa nikmat. Ketika Motivator mengganti yel-yel bagi para peserta saat mendengar kata “DJP” dari “semangat” menjadi “I can do it”, terlihat ada beberapa peserta yang salah, termasuk Kepala KPP. Tetapi setelah melalui beberapa latihan, ternyata kesalahan tersebut dapat dengan mudah dieliminir.

Motivator juga menanamkan nilai konsentrasi atau fokus terhadap tujuan yang hendak dicapai (professional) serta motivasi dalam bekerja. Penanaman nilai ini dilakukan melalui pemutaran film pendek dan game “menangkap jari teman”. Dari game yang sangat sederhana ini dapat menginspirasikan bahwa bekerja secara professional sesuai dengan standard operating procedure (SOP) merupakan salah satu kunci kesuksesan. Selain itu, setiap pegawai juga harus memiliki motivasi tinggi untuk berbuat yang lebih baik dibandingkan hari-hari sebelumnya (better than yesterday).

Puncak sesi II adalah bermain angklung secara bersama-sama. Setiap peserta memperoleh angklung untuk dimainkan sesuai dengan nada yang diperolehnya. Semua peserta dengan kompak dan senang bermain angklung sambil bernyanyi.

Ada nuansa teamwork dalam bermain angklung. Ketika salah satu dari peserta salah membunyikan nada angklungnya, maka keserasian lagu yang dipilih menjadi kurang nyaman untuk didengar. Tetapi sebaliknya, ketika semua peserta membunyikan nada angklung sesuai dengan yang semestinya, maka irama sebuah lagu yang indah dapat didengar dan dinikmati bersama, bahkan oleh para penonton sekalipun. Begitu juga dengan DJP, ketika semua pegawai bekerja dengan integritas, profesionalisme, inovasi serta teamwork yang baik, maka Visi DJP dapat tercapai. Dan masyarakatpun akan melihat corporate image yang sempurna yang terpancar dari setiap outcome DJP. Semoga…


Menggali Nilai-nilai Spiritual

Sesi III dipandu oleh seorang motivator yang terkenal dengan Spiritual Motivation, Bapak Jay Soemirat. Motivator berusaha mengajak kepada para peserta untuk menyatukan kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosinal (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) saat bekerja. Motivator juga mencoba mengajak untuk mengidentifikasi kembali apakah tujuan hidup sebenarnya?

Nilai-nilai dalam corporate value DJP, yaitu integritas, professionalisme, inovasi dan teamwork ternyata juga merupakan bagian dari Asmaul Husna (nama-nama baik Allah SWT). Karena merupakan nilai-nilai Ilahiah maka penerapan corporate value dalam bekerja memiliki makna ibadah bagi pegawai yang menerapkannya.

Disela-sela pemaparannya, Motivator selalu mengajak bermain kepada semua peserta. Permainan ini digunakan sebagai sarana oleh Motivator untuk tetap menyemangati para peserta dalam mengikuti sesi III yang kebetulan dilakukan setelah jam makan siang, dimana pada umumnya beberapa peserta mulai mengantuk.

Ada satu stretching cukup menarik yang dipandu oleh Motivator, yaitu saling memijat teman. Dalam stretching ini Kepala Kantor Wilayah DJP Banten, Bapak Bambang Basuki, tidak mau ketinggalan, Beliau aktif mengikuti instruksi Motivator. Bahkan Beliau bersama para stafnya terlihat sangat akrab dan menyatu. Inilah teamwork dari Kantor Wilayah DJP Banten.


Penutup

Semua peserta internalisasi kode etik sekaligus training of trainiers (TOT) dilingkungan Kantor Wilayah DJP Banten diharapkan dapat menjadi agent of change untuk KPP masing-masing. Acara ini diakhiri dengan penyematan PIN dan penyerahan Bahan Internalisasi dalam bentuk CD yang dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah kepada Kepala KPP Madya dan Para Kepala KPP Pratama sebagai wakil agent of change di KPP masing-masing.

Semua agent of change termasuk Para Kepala KPP, mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melakukan internalisasi kode etik di setiap KPP dimana mereka bertugas. Jadual pelaksanaan internalisasi di masing-masing KPP akan segera dibuat oleh Kantor Wilayah DJP Banten dan diberitahukan kemudian.

24 Agustus 2008

Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi Pengelolaan Keuangan Daerah

Oleh : Muhammad Na'im Amali

Pendahuluan

Korupsi umumnya didefinisikan sebagai penyalahgunaan jabatan di sektor pemerintahan (misuse of public office) untuk kepentingan pribadi. Korupsi yang didefinisikan seperti itu meliputi, misalnya, penjualan kekayaan Negara secara tidak sah oleh pejabat, kickbacks dalam pengadaan di sektor pemerintahan, penyuapan, dan “pencurian” (embezzlement) dana-dana pemerintah.

Korupsi merupakan outcome, cerminan dari lembaga-lembaga hukum, ekonomi, budaya dan politik suatu Negara. Korupsi dapat berupa tanggapan atas peraturan yang berguna atau peraturan yang merugikan. Peraturan lalu lintas, misalnya, adalah peraturan yang berguna untuk mengatur ketertiban di jalan. Pelanggar aturan ini menyogok polisi lalu lintas untuk menghindari sanksi. Atau, kebijakannya memang buruk dan sengaja diadakan agar orang menyogok (Djankov, LaPorta, Lopez-de-Silanes dan Shleifer : 2003).


Tidak Ada Toleransi Bagi Koruptor

Berdasarkan data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), transfer dana dari pusat ke daerah semakin meningkat lebih dari dua kali lipat. Yang semula hanya Rp 129,7 triliun pada tahun 2004, pada APBN-Perubahan tahun 2008 melonjak menjadi Rp 292,4 triliun. Bahkan pada tahun 2009, transfer dana dari pusat ke daerah akan meningkat lagi menjadi Rp 303,9 triliun.

Meningkatnya transfer dana dari pusat ke daerah tersebut seharusnya tidak diikuti dengan peningkatan terjadinya penyimpangan, salah urus, dan tindakan korupsi di daerah. Bagaimanapun, APBN dan APBD merupakan uang rakyat yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat.

Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, saat menyampaikan keterangan pemerintah tentang kebijakan pembangunan daerah dalam Sidang Paripurna Dewan Pemerintah Daerah (DPD) di Gedung Nusantara MPR/DPR pada hari Jum’at tanggal 22 Agustus 2008 menegaskan bahwa dirinya tidak akan mentoleransi terjadinya korupsi baik di pusat maupun daerah (Kompas 23/8/2008). Presiden juga menerima masukan yang disampaikan oleh DPD terkait dengan permalahan-permasalahan daerah, diantaranya (1) adanya benturan antara peraturan dan implementasi di lapangan, (2) adanya politisasi jabatan nonpolitik pasca-pilkada, (3) kurangnya pasokan listrik, (4) kelangkaan bahan bakar minyak, (5) pertambangan, (6) kelangkaan pupuk, (7) pendidikan, dan (8) pembagian Dana Alokasi Umum (DAU).


Modus Operandi Korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengindentifikasi paling tidak terdapat 18 (delapan belas) modus operandi tindak pidana korupsi pengelolaan keuangan daerah (Antasari : 2008). Hal ini disampaikan ketua KPK, Antasari Azhar, saat mengadakan acara dengan semua gubernur, bupati, serta walikota dengan tema “Menyelamatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dengan Menggunakannya Secara Transparan”. Modus operandi yang dimaksud terdiri atas, pertama, pengusaha menggunakan pengaruh pejabat pusat untuk “membujuk” kepala/pejabat daerah mengintervensi proses pengadaan dalam rangka memenangkan pengusaha/rekanan tertentu dan meninggikan harga atau nilai kontrak dan pengusaha/rekanan dimaksud memberikan sejumlah uang kepada pejabat pusat maupun daerah.
Kedua, pengusaha mempengaruhi kepala/pejabat daerah untuk mengintervensi proses pengadaan agar rekanan tertentu dimenangkan dalam tender atau ditunjuk langsung dan harga barang/jasa dinaikkan (mark-up), kemudian selisihnya dibagi-bagikan. Ketiga, panitia pengadaan membuat spesifikasi barang yang mengarah ke merek atau produk tertentu dalam rangka memenangkan rekanan tertentu dan melakukan mark-up harga atau nilai kontrak.

Keempat, kepala/pejabat daerah memerintahkan bawahannya untuk mencairkan dan menggunakan dana atau anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya kemudian mempertanggungjawabkan pengeluaran-pengeluaran dimaksud dengan menggunakan bukti-bukti yang tidak benar atau fiktif.

Kelima, kepala/pejabat daerah memerintahkan bawahannya menggunakan dana atau uang daerah untuk kepentingan pribadi koleganya, atau untuk kepentingan pribadi kepala/pejabat daerah yang bersangkutan atau kelompok tertentu, kemudian mempertanggungjawabkan pengeluaran-pengeluaran dimaksud dengan menggunakan bukti-bukti fiktif.

Keenam, kepala daerah menerbitkan peraturan daerah sebagai dasar permberian upah pungut atau honor dengan menggunakan dasar peraturan prundang-undangan yang lebih tinggi yang tidak berlaku lagi. Ketujuh, pengusaha, pejabat eksekutif, dan pejabat legislatif daerah bersepakat melakukan tukar guling (ruislag) atas aset pemda, melakukan mark-down atas aset pemda, dan mark-up atas aset pengganti dari pengusaha/rekanan. Kedelapan, para kepala daerah meminta uang jasa (dibayar di muka) kepada pemenang tender sebelum melaksanakan proyek. Kesembilan, kepala daerah menerima sejumlah uang dari rekanan dengan menjanjikan akan diberikan proyek pengadaan.

Kesepuluh, kepala daerah membuka rekening atas nama kas daerah dengan specimen pribadi (bukan pejabat dan bendahara yang ditunjuk), dimaksudkan untuk mempermudah pencairan dana tanpa melalui prosedur. Kesebelas, kepala daerah meminta atau menerima jasa giro/tabungan dana pemerintah yang ditempatkan di bank. Kedua belas, kepala daerah memberikan ijin pengelolaan sumber daya alam kepada perusahaan yang tidak memiliki kemampuan teknis dan finansial untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.

Ketiga belas, kepala daerah menerima barang/jasa yang berhubungan dengan proses perijinan yang dikeluarkannya. Keempat belas, kepala daerah/keluarga/kelompoknya membeli lebih dahulu barang dengan harga yang sudah murah kemudian dijual kembali kepada instansinya dengan harga yang sudah di mark-up. Kelima belas, kepala daerah meminta bawahannya untuk mengangsurkan barang pribadinya dengan menggunakan anggaran daerah.

Keenam belas, kepala daerah memberikan dana kepada pejabat tertentu dengan beban pada anggaran dengan alasan pengurusan Dana Alokasi Umum (DAU) atau Dana Alokasi Khusus (DAK). Ketujuh belas, kepala daerah memberikan dana kepada DPRD dalam proses penyusunan APBD. Dan kedelapan belas, kepala daerah mengeluarkan dana untuk perkara pribadi dengan beban anggaran daerah.


Sistem Pembukuan Negara Terpadu

Untuk menciptakan good corporate governance pada pemerintah daerah, Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Anwar Nasution, meminta kepala daerah untuk segera mewujudkan sistem pembukuan Negara yang terpadu. Hanya dengan demikian pemerintah dapat mengetahui posisi keuangan maupun kondisi likuiditasnya setiap saat (Anwar : 2008).

Pemerintah daerah juga harus meningkatkan opini pemeriksaan laporan keuangannya dengan, antara lain, memperbaiki sistem pembukuan, sistem aplikasi teknologi komputer, inventarisasi aset dan utang, jadual waktu penyusunan laporan keuangan dan pemeriksaan, serta tanggung jawab anggaran. Selain itu, pemerintah daerah harus mulai berani untuk membuang kebiasaan lama pada era Orde Baru, seperti memberi “entertainment” kepada setiap pejabat pusat yang datang ke daerah.

Membangun Pendidikan Nasional Yang Berorientasi Pada Kompetensi

Oleh : Muhammad Na'im Amali

Pendahuluan

Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dipublikasikan pada bulan Maret 2008 menunjukkan adanya tren penurunan jumlah pengangguran di Indonesia. Data ini pula yang sering digunakan oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, setiap kali berpidato untuk menunjukkan salah satu indikasi keberhasilan kepemimpinannya. Data jumlah pengangguran bulan Pebruari 2008 adalah 9.427.600 orang, lebih kecil dibandingkan dengan data bulan Pebruari 2007 yang menunjukkan 10.547.900 orang. Data jumlah penganggur terbesar terjadi pada bulan Nopember 2005 yang mencapai 11.899.300 orang (BPS : 2008).

Berdasarkan laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO) tentang Tren Ketenagakerjaan dan Sosial di Indonesia tahun 2008 ternyata menunjukkan bahwa sebanyak 4.516.100 dari 9.427.600 orang yang masuk kategori pengangguran terbuka Pebruari 2008 adalah lulusan SMA, SMK, program diploma, dan universitas. Ekonom dari ILO di Jakarta, Kee Beom Kim, bahkan mengatakan sebanyak 50,3% penganggur tahun 2007 berpendidikan SMA dan lebih tinggi. Rendahnya daya adaptasi lulusan sekolah formal memenuhi tuntutan pasar kerja kian menjadi persoalan mengatasi pengangguran.

Sebanyak 5.660.036 orang termasuk dalam kelompok pengangguran terbuka berusia 15-24 tahun. Walaupun secara umum tingkat pengangguran terbuka nasional turun, tetapi tingkat pengangguran terdidik sebenarnya terus meningkat (Kompas, 23/8/08).

Ironisnya kondisi ini berlangsung saat perekonomian Indonesia mencapai pertumbuhan tertinggi selama 10 tahun terakhir, yaitu 6,3%.


Sistem Pendidikan Berorientasi Kompetensi

Pemerintah harus secepatnya mengubah sistem pendidikan nasional ke sistem yang lebih mengutamakan kompetensi dan keahlian peserta didik. Sistem yang berjalan saat ini dinilai berkontribusi terhadap tingginya tingkat pengangguran terbuka, yang setengahnya minimal lulusan SMA ke atas.

Sistem pendidikan yang dimiliki Indonesia saat ini masih cenderung berorientasi menghasilkan lulusan yang memiliki nilai akademis sesuai norma yang ditetapkan. Bakat dan minat peserta didik terhadap suatu hal kurang mendapat perhatian. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Wakil Ketua Badan Nasional Serifikasi Profesi (BNSP), Sumarna F Abdurrahman, sistem pendidikan berbasis kompetensi yang sudah mulai berjalan masih belum optimal. Pemerintah masih lebih mengedepankan prestasi akademis dari sisi lembaga pendidikan, belum dari sisi penyerapan tenaga kerja.

Peningkatan jumlah penganggur terdidik semestinya menjadi perhatian semua pihak. Sebagai orang yang memiliki kemampuan intelektual tinggi maka tingginya penganggur terdidik bisa berpotensi memicu persoalan sosial yang sangat besar (Rekson Silaban : 2008).

Minimnya kompetensi dan keahlian lulusan sekolah formal terlihat dalam bursa-bursa kerja yang semakin sering diselenggarakan sejak tahun 2006. Meskipun peminat setiap bursa membludak, ternyata hampir 30% lowongan kerja yang tersedia tidak terisi karena pelamar tidak memenuhi kriteria pemberi kerja. Artinya, lapangan kerja tersedia tetapi kompetensi peminat tidak memenuhi persyaratan yang diminta (Erman Suparno : 2008).


Ujian Nasional

Hingga saat ini masih terjadi pro dan kontra sehubungan dengan Ujian Nasional yang telah dilakukan pemerintah untuk SD hingga SMA. Ada yang berpendapat bahwa ujian nasional tidak baik untuk anak didik, karena kelulusan siswa hanya akan ditentukan dalam 3 sampai 5 hari saat pelaksanaan ujian nasional. Sedangkan proses belajar mengajar yang telah diikuti siswa selama beberapa tahun tidak begitu banyak menjadi pertimbangan kelulusan. Berbeda dengan pendapat yang pro, bahwa kini saatnya Pemerintah menentukan standar prestasi minimal agar keberhasilan atau mutu pendidikan nasional dapat terukur dan dapat dibandingkan, baik setiap periode maupun dengan Negara lainnya.

Disadari atau tidak, salah satu ketidakberhasilan lulusan pendidikan nasional diserap oleh dunia kerja karena mutu pendidikan nasional yang masih rendah. Rendahnya mutu pendidikan akibat sekolah diberi kewenangan yang sangat besar dalam menentukan kelulusan anak didiknya. Akibatnya banyak ditemui sekolah-sekolah yang dengan sengaja meninggikan nilai akhir siswa demi membangun persepsi (image building) kepada masyarakat bahwa sekolah tersebut baik. Tujuan akhirnya adalah, sekolah berharap akan memperoleh kepercayaan dari masyarakat untuk medidik anak-anak setiap tahunnya, tanpa peduli dengan kompetensi anak-anak yang dididik.

Beberapa Negara di dunia, baik yang berbentuk Negara kesatuan maupun Negara federal, telah lama menerapkan mutu nasional. Penetapan mutu nasional ini hampir serupa dengan ujian nasional di Indonesia. Apapun kurikulum dan metode yang diberikan sekolah kepada anak didik, pada akhirnya setiap sekolah harus mampu mengikuti ujian nasional yang ditentukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah Negara federal. Dengan demikian maka kualitas nasional dapat dibangun untuk seluruh lembaga pendidikan yang ada di Negara tersebut.

Walaupun masih relatif baru, tetapi pelaksanaan ujian nasional di Indonesia seharusnya memperoleh dukungan dari masyarakat luas. Kebijakan ujian nasional pada hakekatnya adalah untuk membentuk kualitas nasional yang dapat dijadikan acuan bagi pemerintah pusat untuk terus meningkatkan program-program pendidikan.

Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, dimana kewenangan bidang pendidikan merupakan salah satu yang dilimpahkan dari pemerintah pusat kepada daerah, maka daerah seyogyanya ikut berperan mensukseskan peningkatan kualitas pendidikan nasional kita. Bukan sebaliknya, banyak gedung sekolah yang dibiarkan tanpa ada renovasi hingga beberapa tahun, banyak tenaga pengajar honorer yang tidak dimanage dengan baik sehingga berpotensi menimbulkan masalah, dan contoh-contoh lainnya.


Upaya Mengurangi Pengangguran

Sebagai salah satu upaya utnuk mengurangi tingkat pengangguran, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) berencana mengembangkan dan merevitalisasi pendidikan politeknik (Fasli Jalal : 2008). Depdiknas tengah bekerja sama dengan 14 kabupaten/kota dan satu provinsi untuk mengembangkan politeknik, dimana pemerintah daerah yang terkait sudah mengembangkan analisis kebutuhan dan pihak industri sepakat bahwa dibutuhkan lulusan-lulusan di bidang tertentu.

Tingkat pendidikan SMA ke atas juga harus terus mengembangkan kewirausahaan (entrepreneur) sebagai salah satu mata kuliah yang diajarkan dalam kelas. Selama ini kewirausahaan lebih banyak bernuansa teori, sehingga perlu dikembangkan menjadi bentuk praktik yang lebih berbobot. Mental kewirausahaan para anak didik juga harus terus ditumbuhkan agar kelak ketika lulus tidak selalu berorientasi menjadi pegawai. Salah satu bentuk yanag dapat diterapkan adalah metode achievement motivation training (AMT).

13 Agustus 2008

Otonomi Daerah Dan Penyakit Tropis

Oleh : Muhammad Na'im Amali

Pendahuluan

Sejak kelahirannya organisasi negara menganut asas sentralisasi. Dengan asas tersebut pembentukan berbagai kebijakan dilakukan oleh pemerintah dan pelaksanaannya oleh aparatur pemerintah di puncak hirarki organisasi pemerintahan. Dalam organisasi negara yang besar, kerapkali dianut pula asas dekonsentrasi sebagai penghalusan sentralisasi. Pada hakekatnya dengan asas dekonsentrasi pembentukan berbagai kebijakan juga dilakukan oleh pemerintah, sedangkan pelaksanaannya oleh aparatur pemerintah yang tersebar di berbagai wilayah. Aparatur pemerintah yang melaksanakan kebijakan tersebut memperoleh pelimpahan (delegasi) wewenang dari pemerintah selaku pembentuk kebijakan. Baik sentralisasi maupun dekonsentrasi dimaksudkan untuk menjamin keseragaman kebijakan dan implementasinya dalam organisasi negara.

Pada dasarnya konsep pemerintahan umum mencakup berbagai kegiatan di luar kegiatan yang tergolong pemerintahan khusus. Pertama, menegakkan hukum dan menciptakan ketertiban masyarakat. Kedua, menciptakan stabilitas politik., Ketiga, koordinasi kegiatan antara instansi vertikal dan daerah otonom, antar daerah otonom yang lebih tinggi dan daerah otonom di bawahnya baik dalam perencanaan maupun pelaksanaannya. Keempat, pengawasan yuridis terhadap produk hukum daerah otonom yang lebih rendah. Kelima, menyeimbangkan berbagai kepentingan antar kekuatan dan antara daerah otonom dan pemerintah (balancing agent). Keenam, menyelesaikan konflik antar daerah otonom. Ketujuh, sebagai trouble shooter terhadap berbagai hambatan, gangguan dan ancaman. Kedelapan, mengupayakan kesetaraan kualitas layanan antar daerah otonom secara vertikal dan horizontal. Kesembilan, berperan memperkecil rentang kendali pemerintah pusat terhadap susunan daerah otonom yang lebih rendah.

Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Pada jaman orde baru, organisasi negara Indonesia menganut asas sentralisasi, dimana banyak kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat dan harus dilaksanakan oleh semua tingkat pemerintahan di bawahnya. Berbeda setelah jaman reformasi, organisasi negara berubah menganut asas desentralisasi atau yang secara umum disebut otonomi daerah.

Menurut PBB, pengertian desentralisasi mengandung unsur pembentukan local government atau daerah otonom di Indonesia. Unsur tersebut selalu muncul dalam pendapat para ahli pemerintahan daerah. Menurut Cheema at all (1983), bentuk lain dari desentralisasi yang disebut devolusi ”seeks to create or strengthen independent levels or units of government through devolution of functions and authority”. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Rondinelli at all (1983) bahwa devolusi adalah the creation or strengthening financially or legally of sub national units of government. Sementara Aldelfer (1964) menyatakan bahwa in decentralization, local units are established with certain powers of their own and certain fields of action in which they may exercise their own judgment, initiative, and administration. Bahkan Mawhood (1983) berpendapat bahwa pembentukan local government dalam desentralisasi dengan undang-undang dan keberadaannya terpisah dari pemerintah.

Disamping unsur pembentukan local government, desentralisasi juga berarti penyerahan wewenang dalam pembentukan kebijakan. Smith (1967) mengemukakan bahwa dalam desentralisasi, the authority to make certain decisions in some spheres of public policy is delegated by law to subnational territorial assembles (c.g. local authority). Dalam istilah Indonesia wewenang yang diserahkan kepada daerah otonom disebut wewenang pengaturan. Cara penyerahan wewenang dapat dengan ultra vires doctrine atau dapat dengan open end arrangement (general competence). Hal ini ditegaskan oleh Maddick (1963) bahwa desentralisasi adalah legal conferring of powers to discharge specified or residual functions upon formally constituted local authorities. Walaupun demikian, wewenang dan fungsi (urusan pemerintahan) yang diserahkan kepada daerah otonom (local government) terbatas dalam wewenang dan fungsi pemerintah (baca Presiden).

Pertumbuhan Penyakit Tropis

Setelah dilimpahkannya beberapa wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah seharusnya mempermudah pada penciptaan kesejahteraan masyarakat. Hal ini didasarkan karena wewenang Pemerintah Daerah untuk menentukan kebijakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat di wilayahnya semakin terbuka dan luas. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian, banyak kasus yang terjadi di Indonesia justru secara tidak langsung disebabkan oleh tidak efektifnya pelaksanaan otonomi daerah.

Contoh kasus yang terbaru adalah penyebaran jumlah penyakit tropis, seperti malaria, kusta atau lepra, dan filariasis atau kaki gajah hingga kini tidak teratasi (Kompas : 11/8). Hal ini ditandai dengan angka kasus yang dalam lima tahun terakhir tidak kunjung turun. Penyakit kaki gajah pada tahun 2000 berjumlah 4.472 penderita, tahun 2005 berdasarkan data Departemen Kesehatan RI melonjak menjadi 10.239 penderita. Penyakit kusta yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium leprae pada tahun 2001 diderita oleh 14.061 orang diseluruh Indonesia. Namun, tahun 2005 sudah naik menjadi 19.695 penderita. Sedangkan penyakit malaria, jumlah kasusnya menonjol di luar Jawa, terutama Nusa Tenggara Timur, Papua, Maluku, Nusa Tenggara Barat, dan Kepulauan Riau.

Menurut Direktur Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan, Nyoman Kandun, ada beberapa faktor yang menghambat pengendalian penyakit tropis. Hal ini antara lain karena rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi masyarakat setempat. Berbeda dengan negara-negara di Eropa yang dulunya dikenal sebagai daerah endemik kolera, cacar, dan sebagainya telah mampu mengatasi penyakit tersebut seiring dengan peningkatan taraf pendidikan dan ekonomi.

Muncul pertanyaan, kenapa masalah peningkatan penyakit tropis tersebut justru timbul ketika Indonesia menganut otonomi daerah. Kenapa ketika masih dianutnya asas sentalisasi kesehatan masyarakat Indonesia relatif lebih baik. Bukankah secara teori seharusnya tidak demikian. Hal ini lebih disebabkan karena Pemerintah Daerah pada dasarnya belum sepenuhnya siap untuk mengimplementasikan otonomi daerah. Otonomi daerah lebih dipahami sebatas pelimpahan keuangan dari pusat kepada daerah melalui mekanisme bagi hasil pajak maupun dana desentralisasi. Otonomi tidak dimaknai lebih luas sebagai pelimpahan wewenang dan tanggung jawab daerah untuk memakmurkan (efficient and effective) dan memberdayakan (local democracy) masyarakat di daerahnya.

Sungguh ironis memang, ketika seorang Menteri Kesehatan RI pernah mengakui bahwa sangat sulit untuk menjangkau apalagi menyelesaikan permasalahan kesehatan di desa dan pelosok tanah air (kasus flu burung). Tetapi sebenarnya pernyataan Menteri Kesehatan tersebut tidak dapat disalahkan dalam kasus ini. Bagaimanapun urusan kesehatan telah didesentralisasikan dari pusat kepada daerah sehingga seharusnya Pemerintah Daerah lebih bertanggung jawab terhadap kesehatan warganya. Sulitnya Departemen Kesehatan menangani masalahan kesehatan di beberapa daerah lebih disebabkan karena kendala birokratis yang ditimbulkan oleh mekanisme otonomi.

Koordinasi Pusat dan Daerah

Ada fenomena menarik ketika melihat banyak pimpinan pemerintah daerah yang memilih berhubungan langsung dengan Presiden dibandingkan melalui Gubernur terlebih dahulu. Padahal dalam konsep desentralisasi peran Gubernur juga merupakan wakil pemerintah pusat yang berada di daerah. Peran ini menuntut Gubernur untuk memberikan bimbingan dan supervisi kepada daerah-daerah di bawahnya. Namun ternyata banyak pimpinan daerah yang merasa independent (baca : otonom) sehingga tidak memerlukan keberadaan Gubernur. Bahkan dalam beberapa kasus tidak mau tunduk dengan instruksi Gubernur. Sebagai contoh adalah proses pengajuan Anggaran Penerimaan dan Pembelanja Daerah (APBD).

Fenomena di atas menunjukkan bahwa praktik otonomi daerah justru menghasilkan koordinasi yang lemah antara pusat dan daerah. Selain itu eforia politik terjadi hampir disemua daerah. Dalam setahun, warga negara dapat mengikuti hampir sebelas kali coblosan pemilu, yaitu mulai dari pemilihan kepala desa, camat, bupati, gubernur, legislatif tingkat satu dan dua, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Presiden (Eep Saefulloh : 2008). Akibatnya warga negara menjadi jenuh dan letih menghadapi demokrasi yang berlarut-larut, sementara mereka tidak merasakan dampak positif dari penyelenggaraan tersebut. Bisa dibayangkan, berapa banyak dana Negara yang digunakan untuk menyelenggarakan pemilihan ini.

Dari hasil penelitian beberapa ahli pemerintahan, sebagian besar sumber dana yang digunakan oleh pemerintah daerah berasal dari pemberian pemerintah pusat dalam bentuk dana bagi hasil pajak dan dana desentralisasi. Hanya sebagian kecil sumber dana yang diperoleh dari pendapatan asli daerah (PAD). Kondisi ini tentu sangat ironis ketika kemudian banyak daerah yang terus mengajukan pemekaran kepada DPR. Permintaan ini sangat bernuansa politis, dan jauh dari pertimbangan penciptaan kesejahteraan masyarakat.

Kesimpulan

Pemberian otonomi daerah ternyata belum mampu menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat. Otonomi daerah justru lebih banyak mendatangkan manfaat hanya bagi segelintir elite daerah. Banyaknya kasus kesehatan di Indonesia, seperti flu burung dan merebaknya penyakit tropis, tidak bisa dilepaskan dari fenomena otonomi daerah.