Selamat Datang

Selamat membaca artikel yang kami sajikan.

28 Maret 2008

Asian Agri Sebaiknya Selesai di Luar Pengadilan

JAKARTA - Wakil Ketua PPATK (Pusat Pelaporan Analisa dan Transaksi Keuangan) Prof Gunadi mengatakan jalur penyelesaian kasus pajak yang sulit dibuktikan di pengadilan, memang sebaiknya dituntaskan melalui jalur kesepakatan di luar pengadilan atau out of court settlement.

"Ini untuk menghindari hilangnya potensi penerimaan negara dari sektor pajak," ujarnya menjawab wartawan di Jakarta, Selasa (18/3/2008).

Hal tersebut diungkapkan Gunadi menyoroti lambannya penyelesaian beberapa kasus pajak, seperti yg dialami oleh Asian Agri yang diduga melakukan penggelapan pajak Rp1,3 triliun.

Soalnya, kata Gunadi, penyelesaian kasus pajak memang harus cepat untuk mencegah potensi kerugian yang berlarut-larut, baik dari sisi penerimaan negara, maupun bagi wajib pajak yg diduga pajaknya bermasalah.

Soal mekanisme penyelesaian kasus pajak di luar pengadilan, ujar Gunadi, sesuai dgn Pasal 44B UU Perpajakan, memang harus diusulkan oleh Menteri Keuangan. Kemudian oleh Kejaksaan Agung dihentikan penyidikannya, setelah wajib pajak membayar pajak yang kurang bayar plus denda sebesar 400%.

Guru Besar Hukum Pajak Universitas Indonesia (UI) ini menyebutkan, jumlah kurang bayar pajak yg masuk dalam penyidikan Kejaksaan tersebut memang tidak ada SKP (Surat Ketetapan Pajak). Tapi di dalam surat usulan penghentian penyidikan dari Menkeu, disebutkan jumlah dugaan potensi kerugian negara yang harus dibayar oleh wajib pajak plus denda 400%.

"Ada perhitungannya, tapi bukan SKP. Karena kalau sudah SKP, berarti penyelesaiannya melalui jalur administrasi, sehingga sudah tidak ada unsur kerugian negara," tegasnya.

Menurut Gunadi, kalau kasus-kasus pajak yg sulit dibuktikan di pengadilan tetap dipaksakan, justru potensi penerimaan negara bisa hilang. "Jalur pengadilan pajak tergantung temuan-temuan kantor pajak. Tapi kalau masih menduga-duga dan sulit dibuktikan, bisa jadi pengadilan memutuskan tidak ditemukan unsur kerugian negara. Biasanya kalau sulit lewat luar pengadilan," jelasnya.

Prinsip yg harus diingat, ujar Gunadi, bahwa penyelesaian kasus-kasus perpajakan bukan dimaksudkan untuk memidanakan atau memenjarakan wajib pajak. "Yang paling penting adalah menyelamatkan potensi penerimaan negara. Kalau potensi pemasukan negara sudah dibayar, berarti tidak ada lagi unsur kerugian negara, sehingga orangnya tidak perlu dipidana lagi," jelasnya.

Sebelumnya, Jaksa Agung Muda Pidana Umum (JAM Pidum) Abdul Hakim Ritonga mengatakan, bahwa Asian Agri yang diduga menggelapkan pajak Rp1,3 triliun, bisa terbebas dari tuntutan pidana, sesuai Pasal 44B UU Perpajakan, yakni untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

Pasal itu juga mengatur, penghentian penyidikan tindak pidana perpajakan tersebut, hanya dilakukan setelah wajib pajak melunasi utang pajak, plus denda sebesar empat kali lipat jumlah pajak kurang bayar.

Okezone.com, 18 Maret 2008

Pengadilan Pajak Solusi Kasus "Transfer Pricing"

Pengadilan perpajakan merupakan solusi komprehensif dalam menyelesaikan kasus-kasus perpajakan. Solusi seperti itu pula yang dapat menyelesaikan kasus-kasus transfer pricing yang diduga dilakukan oleh sejumlah perusahaan.

Pandangan itu disampaikan oleh Wakil Ketua Pusat Pelaporan Analisa dan Transaksi Keuangan (PPATK), Gunadi kepada wartawan di Jakarta, akhir pekan lalu. Guru Besar Hukum Perpajakan Universitas Indonesia itu mengatakan penyelesaian serupa dapat dilakukan terhadap kasus penggelapan pajak melalui transfer pricing yang diduga dilakukan oleh kelompok usaha Asian Agri Group (AAG).

"Belum pernah terjadi masalah transfer pricing diadili secara pidana. Sebab, tujuan pajak sebenarnya bukan untuk menghukum orang tapi agar uang atau hak negara tidak dimanipulasi. Kasus transfer pricing, di mana pun, tidak diselesaikan secara pidana, melainkan melalui pengadilan pajak," ujar Gunadi.

Hari ini, Senin (17/3), Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Abdul Hakim Ritonga akan menggelar rapat dengan Ditjen Pajak membahas kelanjutan proses hukum kasus tersebut. Rapat itu digelar sesuai dengan permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu agar kasus-kasus pajak segera diselesaikan. Ditjen Pajak berencana menyerahkan berkas penyidikan kasus PT AAG itu ke Kejaksaan Agung (Kejagung) pada pekan ini.

Menurut Gunadi, Pasal 18 ayat 3 Undang-undang tentang Perpajakan menyebutkan bahwa masalah perpajakan bukan masuk dalam ranah pidana. Menurut dia, sanksi pidana pajak dalam kasus penggelapan pajak memang dimungkinkan, namun ancaman itu merupakan alasan terakhir untuk memberi kepatuhan bagi si wajib pajak.

Menurut Gunadi, istilah transfer pricing bukan didefinisikan sebagai bentuk penggelapan pajak. Transfer pricing, ujarnya, memang dapat membuat potensi penerimaan pajak suatu negara berkurang atau hilang, namun hal itu lebih disebabkan oleh perbedaan tarif pajak antarnegara yang terlibat.

Sebelumnya, Jampidum Abdul Hakim Ritonga mengatakan bahwa PT AAG yang diduga menggelapkan jJajak hingga Rp 1,3 triliun bisa terbebas dari jerat hukum. Menteri Keuangan, ujarnya, bisa meminta Kejaksaan menghentikan proses hukum kasus tersebut jika PT AAG membayar utang pajak beserta dendanya. "Ada ketentuan seperti itu di UU Pajak," ujarnya.

Suara Pembaruan, 18 Maret 2008

Tidak ada Yang Sia-sia

Optimisme adalah memandang hidup ini sebagai persembahan terbaik. Tidak ada sesuatu yang terjadi begitu saja dan mengalir sia-sia. Pasti ada tujuan. Pasti ada maksud.

Mungkin saja anda mengalami pengalaman buruk yang tak mengenakkan, maka keburukan itu hanya karena anda melihat dari salah satu sisi mata uang saja.

Bila anda berani menengok ke sisi yang lain, anda akan menemukan pemandangan yang jauh berbeda. Anda tidak harus menjadi orang tersenyum terus atau menampakkan wajah yang ceria. Optimisme terletak di dalam hati, bukan hanya terpampang di muka.

Jadilah optimis, karena hidup ini terlalu rumit untuk dipandang dengan mengerutkan alis.Setiap tetes air yang keluar dari mata air tahu mereka mengalir menuju ke laut. Meski harus melalui anak sungai, selokan, kali keruh, danau dan muara, mereka yakin perjalanan mereka bukan tanpa tujuan.

Bahkan, ketika menunggu di samudra, setiap tetes air tahu, suatu saat panas dan angin akan membawa mereka ke pucuk-pucuk gunung. Menjadi awan dan menurunkan hujan.

Allah SWT dalam salah satu ayatnya juga memotivasi semua hamba-Nya untuk hidup dengan penuh optimis, dengan melihat segala sesuatu jauh ke depan.

Dibalik Makna Lagu "Sebelum Cahaya"

Dear friends..

Tadi pagi, saat saya di kampus, saya ditanya seorang teman, sebut saja Farid namanya. Dia lagi keranjingan untuk main internet dengan notebook Acer barunya. Dia tanya, "Mas koq blognya ga di-update?" Saya jawab, "Wah ra sempet ngenet je."

Ya sudah, sejurus kemudian saya ke tempat yang bisa untuk akses internet (karena memang butuh untuk email-ing) sekalian lah ngirim postingan di web blog ini.

Tema kali ini tentang sebuah topik di sebuah milis yang saya ikuti. Di mana di milis tersebut sedang ramai-ramainya dibahas tentang makna yang ada dari sebagian besar lagunya Letto.

Letto merupakan sebuah grup band yang tergolong baru di dunia permusikan Indonesia . Band ini bermarkas di daerah Kadipiro Jogjakarta. Pentolan band ini adalah Noe, anak dari Emha Ainun Najib. Lengkapnya klik di sini atau disini.

Secara lengkap, postingan itu berisi :

Ku teringat hati yang bertabur mimpi
Kemana kau pergi cinta
Perjalanan sunyi yang kautempuh sendiri
Kuatkanlah hati cinta


Reff :
Ingatkan engkau kepada embun pagi bersahaja
Yang menemanimu sebelum cahaya
Ingatkan engkau kepada angin yang berhembus mesra
Yang kan membelaimu cinta

Kekuatan hati yang berpegang janji
Genggamlah tanganKu cinta
Ku tak akan pergi meninggalkanmu sendiri
Temani hatimu cinta


Back to reff

Siapa yang tak kenal lagu ini? Hampir semua lapisan masyarakat ngerti betul lagu ini, apalagi saat ini menjadi soundtrack lagu dari salah satu sinetron di televisi swasta. Maka tak heran jika anak kecil, remaja aktivis dakwah atau bukan mengenalnya bahkan mungkin hafal diluar kepala.

Seperti salah satu adik binaan saya. Suatu ketika dia membuka isi lagu di hp saya, salah satunya terdapat lagu sebelum cahaya milik letto. Lagu tersebut didengarnya terus menerus diulang-ulang hingga temen-temen yang lainnya datang.

sengaja saya mendengarkan dia bernyanyi dan praktis mendengarkan pula apa yang dia nyanyikan. "Sebelum cahaya"?? Penasaran juga kan ...apa sih maksud lagu itu??? Sampai akhirnya saya bertanya pada dia, "dik, asyik banget nyanyinya...hmmm...da banyak kenangan nii...dengan lagu itu?? Dia menjawab, "jelas  mbak.. banyak kenangan..". Mbak pingin tahu?? Saya mengangguk..dan dia mulai menceritakan apa yang dimaksud kenangan tersebut

Kata pertama yang keluar adalah, "itu kan ngingetin kita sama sholat lail mbak?"

Heran dan takjub sebetulnya hati saya, kok bisa ya??

Dia meneruskannya...

Bait pertama lagu ini menunjukkan kalau Allah SWT selalu mengawasi kita Allah SWT melihat kita yang sedang tidur tiba-tiba terbangun...kita pergi untuk ambil air wudhu maka mengapa disana dituliskan kemana kau pergi... kemudian kita menegakkan sholat malam, dalam kesunyian, sendiri ketika semua orang tengah terlelap ketika dingin sangat menusuk di tulang, ketika mata masih terkantuk-kantuk. Siapa yang sanggup untuk menjalankannya??

Butuh kekuatan hati untuk melaksanakan raka'at demi raka'at, lantunan ayat2 suci yang kita baca dan dzikir dengan penuh ketawadhuan. Inilah makna yang dia temukan dalam baris perjalanan sunyi yang kau tempuh sendiri, kuatkan hatimu cinta.


Bait kedua, Allah SWT ingin menentramkan hati kita, Allah SWT mengingatkan bahwa kita tidak sendiri dalam menjalankan sholat Lail, lihatlah ada embun pagi yang selalu menemani kita hingga fajar muncul dari ufuk timur dan rasakanlah sepoi-sepoi angin di sepertiga malam, yang dengan sangat lembut meniup mukena kita. Sungguh kita tidak sendiri saat sholat Lail ditegakkan. Dan mereka inilah yang dapat kita jadikan saksi di akhirat kelak.


Bait ketiga menerangkan siapa yang punya tekad kuat tersebut? untuk menegakkan sholat malam setiap hari, setiap malam. Dia adalah orang-orang yang selalu berpegang teguh pada janjinya terhadap Allah SWT.
Janjinya bahwa dia kan selalu menjadikan Allah SWT sebagai Illah dalam hidupnya.

Pajak Mendeterminasi Bangsa

Hari-hari ini DPR kita sibuk membahas RUU perihal sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan negara kita, pajak. Sedikit sekali orang peduli dengan isu ini.

Mungkin karena pajak merupakan isu yang tidak menantang imajinasi dan cenderung dibenci semua orang. Tapi, sejatinya pajak adalah perkara besar yang menyodok hati setiap rakyat yang membayarnya sekaligus mendeterminasi konsep negara dan akhlak penguasanya.

Ada pertanyaan elementer di seputar pajak. Apa itu pajak dan untuk siapa/apa? Meski sederhana, pertanyaan ini ajaib karena dapat membuka tabir kenapa di satu pihak ada negara (seperti Indonesia) yang pejabatnya begitu korup tak peduli dengan derita rakyatnya, sementara di lain pihak ada negara (sebut Amerika) yang korupsinya terkendali, tapi gemar menyengsarakan rakyat di negara-negara lain.

Rasanya tidak satu pun dari kedua tipe tadi yang secara sosial, apalagi moral, layak jadi model negara idaman masa depan oleh rakyat mana pun di dunia ini. Lalu, negara yang seperti apa? Apa hubungan perilaku negara dan pejabatnya dengan pajak yang dipungut paksa dari rakyatnya?

Pajak adalah darah kehidupan (life blood) tubuh kekuasaan raksasa yang bernama negara. Pajak dibayar negara tegak, pajak diboikot negara ambruk. Juga ibarat makanan bagi tubuh kita. Jika makanan yang kita konsumsi halal dan baik, tubuh menjadi sehat dan kehidupan pun penuh berkah.

Sebaliknya, jika makanan yang kita konsumsi buruk lagi haram, maka tubuh akan penyakitan dan kehidupan jauh dari keberkahan. Untuk menjawab pertanyaan sederhana di atas, kita catat ada tiga konsep pajak, sekaligus tiga karakter negara yang dilahirkannya sepanjang sejarah.

1. Pajak upeti (dlaribah)

Pertama kali muncul di bumi kekuasaan, pajak dikonsepsikan sebagai upeti. Orang Arab menyebutnya maks atau yang lebih populer dlaribah, dari kata dlaraba, yang berarti 'memukul', atau memalak.

Siapa pun dipukul jelas sakit dan mengumpat, seperti sakitnya orang dipalak oleh preman di jalanan. Bedanya pukulan atau palakan berupa pajak pelakunya adalah preman berseragam, yakni aparat negara di perkantoran.

Ketika pajak dipahami sebagai upeti/palak (dlaribah), maka uang pajak jelas uang kotor, uang yang dibayar dengan umpatan dan tentunya jauh dari keberkahan. Karena itulah agaknya banyak orang tua dulu wanti-wanti anak cucunya kelak jangan menjadi pegawai pajak atau pejabat negara karena hidupnya dari uang pajak, yang haram, minimal syubhat.

Sebuah hadis Rasulullah SAW menegaskan, ''Tidak halal harta seseorang (bagi pihak lain) kecuali dari hati yang ikhlas (min thibi nafsin).'' Hadis lain: ''Tidak masuk surga orang yang memungut dan atau memakan upeti'' (HR Ibn Khuzaimah). Juga Bible: ''Pandanglah para pemungut pajak upeti itu seperti layaknya para pendosa (Lukas 5: 30), pelacur (Matius 21: 31) atau orang kafir (Matius 18:17).

Sebagai uang hasil palak, uang pajak upeti tentunya diklaim oleh penguasa negara sebagai miliknya. Jika keseluruhan uang pajak dihabiskan untuk memuaskan keperluan pribadi mereka dan keluarga, rakyat pun hanya bisa mengeluh dan mengumpat di hati. Kalau ada secuil dialokasikan untuk rakyat, itu sekadar gula-gula untuk meredam amuk mereka.

Dalam negara upeti (seperti Indonesia kini) konsep korupsi sebagai kejahatan atas keuangan negara tidak ada dalam peta kesadaran para elitenya. Jika ada yang mewacanakan itu sekadar jargon kosong untuk pergaulan belaka. Undang-Undang Anti-Korupsi boleh dibuat dan aparat pemburu korupsi boleh dibikin berlapis. Tapi, mereka pulalah justru pelaku utamanya. Negara upeti adalah negara penguasa, uang pajak upeti adalah uang penguasa, untuk keperluan penguasa.

2. Pajak imbal jasa (jizyah)

Tidak terima terus jadi objek pemerasan para raja/penguasa, sebagian rakyat pembayar pajak mulai menyadari posisinya dan memberontak. Di Inggris dengan Magna Carta-nya, di Prancis dengan revolusi sosialnya, bermuara di Amerika dengan slogannya 'No Taxation without Representation'.

Pajak boleh dipungut, tapi tidak bisa cuma-cuma. Rakyat pembayar pajak berhak ikut menentukan penggunaannya dan mendapatkan imbalan pelayanan dari negara sesuai dengan pajak yang dibayarkannya. Pajak sebagai imbal jasa (jizyah).

Lahirlah konsep negara modern yang kita kenal dewasa ini, yang ditandai dengan adanya parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat pembayar pajak. Peran utama lembaga ini adalah menyuarakan aspirasi rakyat pembayar pajak, khususnya dalam menentukan anggaran negara untuk keperluan apa/siapa pajak yang mereka bayar itu dibelanjakan (ditasarufkan). Bahkan, kemudian kepala negara/pemerintahan yang mengelola uang pajak pun dipilih oleh rakyat pembayar pajaknya.

Dalam negara imbal jasa (jizyah) ini konsep korupsi sebagai kejahatan kekuasaan pun mulai muncul. Penggunaan uang negara yang tidak sesuai dengan ketentuan formal anggaran yang disepakati bersama antara pejabat negara dan wakil pembayar pajaknya. Klaim bahwa uang pajak merupakan hak monopoli penguasa negara seperti dalam rezim negara upeti sudah tidak berlaku lagi.

Namun, perubahan konsep pajak menjadi imbal jasa (jizyah) mengidap cacat sistemik yang dapat menstrukturkan ketidakadilan antara rakyat yang kaya dan miskin. Pertama, karena konsepnya adalah imbal jasa, maka rakyat kaya pembayar pajak besar tentunya berhak mendapatkan layanan dari negara lebih besar dibanding yang diterima pembayar pajak kecil. Pada saat yang sama, rakyat miskin papa yang tidak mampu membayar pajak sama sekali, secara normatif tidak berhak menuntut apa-apa dari negara selain menunggu tetesan kedermawanan (trickledown effect) belaka dari para elitenya.

Kedua, karena negara menyadari bahwa pembayar pajak besar sangat menentukan hidup matinya negara, lebih dari siapa pun, maka negara akan berketetapan hati untuk memberikan pelayanan prima dan utama kepada mereka. Inilah basis logika kenapa negara jizyah semakin hari semakin telanjang memosisikan dirinya sebagai pelayan belaka bagi kelas kapitalisnya yang kaya raya.

Jika kepentingan kelas kapitalis ini tidak lagi bisa dicukupi dengan resource dalam negeri sendiri, maka penguasa negara jizyah pun dengan sigap membukakan jalan dan jaminan agar ketamakan mereka dapat dipenuhi dengan sumber daya milik negara-negara lain.

Dulu proses itu dilakukan dengan penjajahan fisik yang kasar. Kini dengan penjajahan halus melalui perjanjian dan kelembagaan internasional yang menggurita di berbagai bidang, terutama keuangan (dengan World Bank, IMF, dan lain-lain), dan perdagangan (melalui WTO, APEC, dan sebagainya).

Jika perangkat perjanjian dan kelembagaan internasional kurang memuaskan, maka tidak segan-segan mereka kembali ke cara primitif dengan invasi militer untuk menjarah atau mengendalikan sumber daya negara lain. Agresi militer yang sangat kasar dan berkepanjangan di kawasan Timur Tengah dan Asia Tengah yang kaya sumber daya alam adalah bukti telanjang bagaimana negara jizyah memuaskan nafsu (ketamakan) kelas kapitalis masing-masing sebagai andalan pajak jizyah-nya.

3. Pajak sedekah (zakat)

Cita-cita luhur kemanusiaan untuk menegakkan keadilan bagi semua, terutama mereka yang lemah, hanya mungkin diwujudkan oleh negara yang mampu melakukan revolusi dalam mendefinisikan pajaknya. Bukan sebagai upeti (palak/dlaribah), juga bukan sebagai imbal jasa (jizyah), melainkan sebagai 'sedekah', suatu kewajiban moral sosial bagi orang yang beriman untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi semua. Islam menyebutnya zakat, yang secara harfiyah berarti bersih dan berkembang bagi semua.
Revolusi ini bukan pada tataran teknis terkait dengan tarif dan objeknya, tapi pada makna dan konsep dasarnya, perihal apa hakikat pajak dan untuk kepentingan siapa?. Dengan revolusi pemaknaan pajak ini, maka pertama dari sudut rakyat pembayar (tax-payer), pajak akan dibayarkan dengan hati ikhlas sebagai ibadah karena Allah untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama dengan imbalan pahala berlipat di akhirat kelak.

Kedua, umpatan yang selama ini menyertai setiap momen pembayaran pajak dan membuatnya sebagai uang panas dan kotor akan digantikan dengan keikhlasan beribadah yang akan mengubah status uang pajak menjadi halal dan penuh keberkahan.

Ketiga, akan terjadi proses peralihan pada uang pajak yang dalam konsep Upeti (dloribah) atau Imbaljasa (jizyah) merupakan uang penguasa bergeser menjadi uang Allah untuk rakyat tanpa membedakan agama/keyakinannya (At-Taubah: 60). Persisnya bisa dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, pemberdayaan rakyat lemah (kaum fakir miskin, budak, orang-orang bangkrut, rehabilitasi sosial, pengungsi) sebagai prioritas utama. Kedua, biaya rutin pemerintahan sebagai aparat pelayan publik (amilin). Ketiga, public good (sabilillah) baik fisik seperti jalan, maupun nonfisik (penegakan hukum, pengembangan ilmu pengetahuan, seni budaya, dan sebagainya.

Keempat, kehadiran nama Allah dalam pembayaran setiap rupiah dari uang pajak akan menggugah ketakwaan (bukan sekadar ketakutan) pada nurani setiap aparat negara, baik pemungut maupun pengelola, untuk ekstra hati-hati agar setiap rupiah dari uang pajak yang dikelolanya dapat dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT maupun ke bawah, segenap rakyat yang membayar (muzakki), maupun yang berhak menerima manfaat (mustahiq).

Kelima, pajak sebagai panggilan iman dan kewajiban sosial ini mengundang kesadaran segenap rakyat pembayar pajak maupun rakyat penerima. Ini untuk mengontrol jalannya pemerintahan negara sedemikian rupa sehingga perilaku negara benar-benar sejalan dengan visi misinya sebagai instrumen penegak keadilan dan kesejahteraan bagi segenap rakyat yang ada dalam naungannya, apa pun warna kulit dan keyakinan agamanya (sila kelima Pancasila).

Ikhtisar:
- Niat yang benar dalam bernegara akan memastikan negara menjadi alat keadilan yang sangat menjanjikan.
- Berpajak adalah wujud paling nyata dari tindakan bernegara.

Masdar Farid Masudi
Ketua PBNU

Republika, 25 Maret 2008

Manajemen Muhammad SAW

Pada 12 Rabiul Awal telah ditakdirkan menjadi hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, seorang Nabi penutup dan pemimpin yang namanya paling sering diucapkan oleh umat manusia setiap saat hingga kini. Kelahirannya di tengah alam yang gersang dan jahiliyah memberikan arti baru kehidupan manusia dan memunculkan kembali fitrah manusia.

Muhammad adalah pembawa rahmat untuk seluruh alam. Nilai-nilai Islam yang universal telah ditegakkannya sehingga membuat dunia terang dengan keikhlasan, kejujuran, tolong-menolong, keadilan, kemanusiaan, dan berbagai nilai universal lain yang sebelumnya terkunci rapi di gudang kejahiliyahan.

Muhammad SAW adalah sosok yang paradoks bagi kaum kafir pada waktu itu. Mereka sangat membenci Muhammad karena menyebarkan Islam, tetapi mereka memercayakan harta mereka dititipkan kepada beliau karena akhlaknya yang mulia. Mereka sangat ingin membunuh Muhammad karena Islam mengancam jabatan mereka. Namun, mereka meminta dipersatukan oleh Muhammad ketika berseteru dalam peletakan batu Kabah.

Muhammad menjelma menjadi pemimpin yang mengimplementasikan manajemen strategis. Beliau pemimpin yang memiliki etika bisnis tinggi, sangat dipercaya kejujurannya. Inilah dunia manajemen strategis yang terdapat pada kehidupan Muhammad SAW dan Allah secara tidak langsung meminta hambanya yang shaleh untuk melaksanakan manajemen strategis dalam kehidupan umat Islam.

Ketika menjalani perniagaan pun etika bisnis tinggi yang diperlihatkannya menjadikannya sebagai pedagang yang berhasil dan memikat hati Siti Khadijah. Etika bisnis yang kini banyak dilupakan orang telah membuat perekonomian tidak berada pada posisi yang adil bagi masyarakat.Misalnya, pedagang kecil semakin terpinggirkan serta sulit mendapat pinjaman dan pedagang bermodal besar mudah mendapatkannya. Konsumen banyak ditipu dan masyarakat banyak yang dirugikan akibat etika bisnis yang tidak dijalankan dengan baik.

Etika bisnis yang luar biasa juga diperlihatkan oleh Muhammad dalam menghadapi perjanjian Hudaibiyah. Ini dirasa paradoks oleh kaum Muslimin (termasuk Umar bin Khaththab), tetapi diimplementasikan oleh Muhammad SAW. Kelak keputusan Muhammad SAW ini yang semakin memperkuat barisan umat Islam.

Keputusan Muhammad SAW ini sangat strategis bagi perkembangan Islam selanjutnya. Dalam perjanjian Hudaibiyah, penduduk yang datang dari Makkah ke Madinah bisa dikembalikan lagi ke Makkah dan penduduk yang datang dari Madinah menuju Makkah tidak bisa dikembalikan ke Madinah. Muhammad SAW menerima dan melaksanakan perjanjian ini karena melihat peluang strategis akibat implementasi perjanjian tersebut.

Implementasi lain yang dilakukan Muhammad adalah menjalani kepemimpinan strategis. Dalam memimpin ia mendengar dan menerima pendapat dari kaum Muslimin. Tradisi ini diteruskan oleh Khulafaur Rasyidin.

Salah satu peristiwa yang cukup diingat sejarah adalah ketika Muhammad SAW meminta masukan tentang upaya melindungi Madinah dari serangan kaum kafir Makkah. Salman Al Farisi kemudian tampil dengan ide cemerlang, melindungi Madinah dengan parit. Sejarah mencatat terjadi perang Khandaq antara kaum Muslimin Madinah dan kaum kafir Makkah. Kaum Muslimin melindungi dirinya dengan parit.

Implementasi manajemen strategis berikutnya yang dilakukan Muhammad dalam perjuangan hidupnya adalah membangun kompetensi inti kaum Muslimin. Kompetensi inti biasanya terkait dengan kemampuan atau keahlian. Kompetensi inti yang dibangun Muhammad adalah penguatan fondasi pemahaman keislaman dan pembinaan diri yang berkelanjutan.Tidak heran setelah masuk ke dalam Islam banyak sahabat yang menorehkan prestasi besar peradaban, seperti Umar bin Khaththab yang pernah mengubur anak perempuannya pada masa jahiliyah, tetapi menjadi pemimpin yang sangat bertanggung jawab kepada rakyatnya setelah masuk Islam. Pembangunan kompetensi inti ini dipimpin langsung oleh Muhammad SAW.

Berbagai potensi yang muncul dari sahabatnya dan kaum Muslimin diaktualisasikan pada posisi-posisi kenegaraan dan kemasyarakatan yang ada dengan mengacu kepada kompetensi inti. Kompetensi inti ini yang membuat orang seperti Umar bin Khaththab bersikap amanah. Demikian juga sahabat yang lain. Kompetensi inti ini yang sekarang hilang dari umat Islam, digerus oleh materialisme dan sekularisme.

Etika bisnis yang tinggi, kepemimpinan strategis, dan membangun kompetensi inti dilakukan oleh Muhammad SAW yang tidak bisa membaca, tetapi memiliki kecerdasan dan akhlak yang mulia. Keberhasilan Muhammad menyampaikan Islam dalam sudut pandang ilmu manajemen adalah mengimplementasikan manajemen strategis.

Kaum kafir yang memusuhi Muhammad SAW begitu banyak menyusun rencana strategis melenyapkan Muhammad SAW, keluarganya, kaum Muslimin, dan ajaran Islam. Namun, karena Muhammad SAW juga mengimplementasikan manajemen strategi (yang langsung dibimbing oleh Allah SWT), akhirnya bisa memenangkan pertarungan dengan membangun kompetensi inti yang sangat bagus sehingga Allah menyatakan bahwa kamu adalah umat terbaik, yang menyeru kepada kebaikan dan mengajak meninggalkan kemungkaran. Ketika terjadi penaklukan Makkah oleh kaum Muslimin, sebagai pemenang perang Muhammad SAW berhasil meniadakan pertumpahan darah. Kaum kafir yang berada di ujung tanduk begitu senang ternyata Muhammad SAW tidak membunuh mereka.

Tertarik Islam

Akibat dari kebijakan ini, banyak penduduk Makkah masuk Islam. Nilai pada diri Muhammad sebenarnya telah diketahui oleh kaum kafir Makkah. Namun, ketika mereka melihat sendiri bagaimana Muhammad SAW memperlakukan mereka sewaktu kalah perang, mereka mengakui nilai-nilai Islam yang dibawa Muhammad SAW.

Kemenangan Muhammad dalam penaklukan Makkah tanpa pertumpahan darah membuktikan Islam begitu menghormati manusia dan bukan haus darah yang selama ini banyak dihembuskan oleh pihak-pihak Barat. Kenyataannya justru darah umat Islam yang banyak tumpah saat ini.

Kehidupan Muhammad bukanlah kehidupan yang biasa saja. Beliau menerapkan manajemen strategis dalam perjuangan hidupnya saat menyampaikan Islam bersama sahabatnya dan kaum Muslimin. Ini sesuai dengan sunatullah, setiap suatu keberhasilan disertai dengan kerja keras dan pemikiran yang cerdas.

Kita yang hidup saat ini bisa mengambil pelajaran dari kehidupan Muhammad SAW. Kita sebagai bagian dari umat Islam menginginkan umat menjadi maju, sejahtera, dan berperadaban tinggi. Ini perlu didorong dengan menjalani manajemen strategis, tidak bisa asal berjalan saja. Manajemen strategis adalah alat bantu yang sangat berharga bagi para pemimpin umat untuk membawa umat kepada kehidupan lebih baik yang diridhai oleh Allah SWT, keadilan ditegakkan dan nyawa manusia sangat dihargai.

Muhammad SAW dalam 23 tahun masa kenabiannya telah melakukan perombakan besar terhadap tatanan kehidupan manusia. Muhammad SAW berhasil menunjukkan kepada dunia indahnya syariat Islam.

Al Ghazali menyebutkan bahwa tujuan utama syariat adalah mendorong kesejahteraan manusia yang terletak pada perlindungan kepada keimanan, kehidupan, akal, keturunan, dan kekayaan mereka. Apa pun yang menjamin terlindungnya lima perkara ini akan memenuhi kepentingan umum dan dikehendaki.

Berbagai peristiwa dalam kehidupan Muhammad SAW telah dikaji oleh berbagai pakar berbagai bidang ilmu. Dari perspektif ilmu manajemen, Muhammad SAW telah mengimplementasikan manajemen strategis dalam kehidupannya menyampaikan Islam dan memimpin umat serta menjadi teladan yang mengagumkan. Sudah sepatutnya para pemimpin umat mengimplementasikan manajemen strategis dalam mengajak umat kembali kepada ajaran Islam yang mulia dan menjadi rahmat untuk seluruh alam.

Ikhtisar:
- Muhammad berhasil karena memiliki akhlak mulia. - Umat hanya sukses bila mampu bersatu.

Oleh :

Erwin FS
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta

19 Maret 2008

Negara Muslim tak pantas menderita

Negara-negara berpopulasi Muslim dominan-yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI)-dengan potensi sedemikian besar, memiliki penguasaan atas 70% sumber energi dunia dan 40% bahan ekspor, sungguh tidak pantas menderita.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengemukakan OKI merupakan organisasi unik. Gabungan populasi ke-57 anggota organisasi itu mencapai 1 miliar penduduk Bumi, yang meliputi tiga benua. Dengan demikian, umat Islam memiliki posisi terbaik untuk menyumbang perdamaian dan keamanan dunia dan tidak pantas menderita, termasuk kemiskinan.

Oleh karena itu, Kepala Negara mengajak seluruh anggota OKI untuk mengutamakan peningkatan kualitas hidup umat Islam dan memberdayakan mereka. Hal itu berarti perlu penggalangan kerja sama ekonomi yang intensif dan ekstensif di antara sesama negara Muslim.

"Kita perlu mengembangkan berbagai skema investasi atau kerja sama di bidang sains dan teknologi. Kita dapat mengoptimalkan perdagangan antar negara Islam melalui negosiasi dan pengembangan area perdagangan bebas yang Islami," ujar Yudhoyono saat memberikan sambutan pada sesi Debat Umum KTT ke-11 OKI di Dakar, Senegal, akhir pekan lalu.

Sebelumnya, sejumlah pemimpin negara anggota OKI sempat menyampaikan keprihatinan mendalam atas perkembangan harga minyak dunia yang meroket hingga mencapai US$110 per barel.

Sejumlah anggota OKI merupakan produsen minyak skala besar, namun sebagian besar dari mereka adalah konsumen minyak. Terasa sekali, termasuk tuan rumah Senegal, yang mengeluhkan harga minyak dunia, karena luar biasa membebani dan hal itu dapat menimbulkan permasalahan ekonomi-sosial. Bagaimana OKI merespons kondisi ini.?

Saat pembukaan, Presiden Senegal mengeluarkan ide yang menarik, yaitu bagaimana apabila nanti harga minyak terus naik, 10% dari hasil penjualan digunakan khusus untuk membantu mengentaskan kemiskinan di negara-negara berpenduduk mayoritas Islam. Namun, hal itu belum memperoleh tanggapan.

Presiden Yudhoyono juga mendorong kelanjutan kerja sama ekonomi seperti D-8 yang beranggotakan negara-negara yang tergabung dalam OKI. Oleh karena itu, pembentukan lembaga baru Dana Solidaritas Islam dalam kerangka OKI dinilainya sangat penting dan Indonesia memberikan dukungan penuh termasuk berkontribusi bagi pendanaannya.

Dengan potensi sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber-sumber keuangan yang sangat besar itu, kata Presiden, anggota OKI mampu menciptakan mobilisasi dan membangun kekuatan untuk kebaikan umat. Hal itu akan mengembalikan prinsip Islam sesungguhnya, yakni memerangi kemiskinan serta mendorong perdamaian global dan keselarasan.

"Keselarasan bukan hanya untuk sesama bangsa, juga an-tara manusia dan ciptaan Allah lainnya. Ini berarti mengupayakan keseimbangan antara penciptaan kesejahteraan eko-nomi bagi kita ataupun generasi mendatang serta menjaga kelestarian alam," kata Yudhoyono.

Presiden juga menyinggung tentang bagaimana peran yang harus diemban anggota OKI sehingga mampu menangkal prasangka terhadap Islam (Islamophobia) di kancah pergaulan internasional, termasuk membangun dialog antarkepercaya-an, antarbudaya, dan antar peradaban.

Oleh karena itu, lanjutnya, kerja sama dengan media dinilainya sangat penting. Dia memberikan contoh kerja sama Indonesia dengan Norwegia dalam hal dialog antarbangsa yang dikemas dalam Global Inter-Media Dialog.

Presiden juga menyinggung soal pelaksanaan demokrasi yang dinilainya penting dalam penegakan good governance. "Untuk menjadi [negara] demokrasi, tentu saja, lebih mudah dikatakan daripada dilaksanakan. Sulit untuk menjaga kesinambungannya. Saya berbicara berdasarkan pengalaman di Indonesia."

Kasus Palestina

Persoalan Palestina menjadi salah satu pokok bahasan penting dalam pembicaraan sejumlah pemimpin dunia, baik pada saat pidato pada pembukaan KTT maupun pada berbagai pertemuan bilateral.

Beberapa tokoh dunia, termasuk Sekjen PBB Ban Ki-moon, yang secara khusus hadir dalam KTT OKI, Sekjen Liga Arab, dan Sekjen OKI sepakat bahwa agresi Israel terhadap Palestina harus segera diakhiri.

"Hampir semua pembicara menyatakan perhatian yang sangat mendalam terhadap situasi di Palestina, khususnya di Gaza mengenai serangan Israel terhadap penduduk sipil di Gaza. Mereka semua mengutuk serangan ini dan mereka ingin agar proses perdamaian dapat segera dilakukan kembali serta kekerasan dapat dihentikan," kata Dino Pati Jalal, juru bicara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, seusai Presiden menerima Sekjen PBB Ban Ki-Moon di Hotel Le Meridien Dakar, Senegal.

Umumnya, mereka menekankan keprihatinan mendalam karena banyak sekali konflik yang terjadi di komunitas Muslim dunia a.l. di Irak, Af-ghanistan, Somalia, dan Sudan, sehingga mereka mempertanyakan bagaimana respons dari negara-negara anggota OKI terhadap banyaknya konflik dalam tubuh Islam.

Ada juga perhatian khusus terhadap masalah kesejahteraan, terutama mengenai banyaknya orang-orang miskin di kalangan umat Islam. Untuk hal ini, OKI dituntut merespons secara lebih agresif. Memang sudah ada inisiatif baru untuk mendirikan dana solidaritas Islam (Islamic Solidarity Fund) yang akan dikelola oleh Bank Pembangunan Islam (IDB).

"Indonesia mendukung sepenuhnya keberadaan dana tersebut, karena memang kita selalu berbicara bahwa umat Islam harus saling membantu, tapi konkretnya bagaimana. Ini akan dilaksanakan segera setelah KTT OKI," ujar Dino.

Pada pertemuan tersebut Ban Ki-moon didampingi Ibrahim Gambari, utusan khusus PBB untuk masalah Myanmar. Sedangkan Presiden didampingi Menlu Hassan Wirajuda.

Kedua pemimpin a.l. membahas masalah Myanmar dan Timor Leste beserta prospek penyelesaian masing-masing serta membicarakan mengenai persoalan perubahan iklim global sebagai tindak lanjut Konferensi Perubahan Iklim PBB di Bali, Desember 2007.

Ban Ki-Moon dan Yudhoyono memberikan perhatian khusus terhadap time table yang sudah disepakati pada konferensi di Bali itu, untuk mengingatkan masyarakat dunia agar dapat dengan tepat memenuhi kerangka waktu dua tahun untuk mencapai suatu rezim global perubahan iklim pasca-2012.

"Agar nanti, sewaktu bertemu di Copenhagen 2009, sudah ada kesepakatan yang dicapai rezim global tersebut. Kedua pemimpin akan membuat fasilitas video conference di kantor PM Denmark, Presiden Polandia, Presiden SBY, Sekjen PBB, dan Ketua UNFCCC," ungkap Dino.

Fasilitas konferensi video yang akan digunakan nantinya merupakan peralatan paling mutakhir, sehingga kelima pe-mimpin tersebut dapat secara berkala berkomunikasi mengenai time table itu. Sistem ini akan di-instal dalam waktu dekat untuk menjaga momentum perubahan iklim."
Oleh Ahmad Djauhar
Bisnis Indonesia

Transfer pricing masuk ranah pengadilan pajak

JAKARTA: Pengadilan per-pajakan dinilai menjadi solusi komprehensif menyelesaikan kasus-kasus perpajakan, termasuk dugaan adanya transfer pricing-manipulasi pajak-yang dilakukan sejumlah perusahaan, juga kelompok usaha Asian Agri.
Wakil Ketua Pusat Pelaporan Analisa dan Transaksi Keuangan (PPATK) Gunadi mengatakan masalah transfer pricing belum pernah diadili secara pidana, karena sebenarnya tujuan pajak itu bukan menghukum orang tapi agar uang atau hak negara tidak dimanipulasi.
"Kasus transfer pricing di mana pun tidak diselesaikan secara pidana. Kalau di kami biasanya diselesaikan melalui pengadilan pajak," ujar Gunadi yang juga Guru Besar Hukum Perpajakan UI, di Jakarta akhir pekan lalu.
Dia dimintai tanggapan terkait dengan rencana penyerahan berkas penyidikan kasus pajak Asian Agri oleh Ditjen Pajak ke Kejaksaan Agung (Kejagung) yang sedianya dilakukan pekan ini.
Dalam perkembangan lain, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum) Abdul Hakim Ritonga hari ini dijadwalkan mengadakan rapat dengan Ditjen Pajak membahas kelanjutan proses hukum kasus tersebut sebagaimana dimintakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu.
Gunadi menjelaskan bahwa dalam Undang-Undang Perpajakan pasal 18 ayat 3 juga ditegaskan masalah perpajakan bukan masuk dalam ranah pidana. Meski begitu, dia menegaskan sanksi pidana pajak dalam kasus penggelapan pa-jak memang dimungkinkan. Akan tetapi, ancaman ini sebenarnya adalah alasan terakhir untuk memberi kepatuhan bagi si wajib pajak.
Menurut dia, istilah transfer pricing yang berlaku sejauh ini bukan didefinisikan sebagai bentuk penggelapan pajak.
Oleh Endot Brilliantono
Bisnis Indonesia

18 Maret 2008

Transfer Pricing Kembali Beraksi

Dalam beberapa hari terakhir ini, kita sering membaca di banyak media nasional yang mewartakan adanya 3 perusahaan pertambangan batu bara yang menggunakan modus operandi transfer pricing sebagai cara untuk menghindari pajak. Tunggakan pajak yang mestinya dibayar oleh ketiga perusahaan tersebut sangatlah besar, yaitu sekitar 2,5 triliun dari hasil pemeriksaan yang dilakukan untuk tahun pajak 2004 s.d 2006. Jumlah ini sangatlah fantastis, belum termasuk potensi pajak yang terutang di tahun pajak 2007. Otoritas perpajakan di Indonesia memberikan jangka waktu pelunasan kepada Wajib Pajak paling lambat Desember 2008.

Kasus serupa juga pernah terbongkar untuk perusahaan kelapa sawit, yang mengakibatkan potensi kerugian negara (baca : pajak yang harus dibayar) sebesar 1,2 triliun. Kasus di atas dapat terungkap dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh otoritas perpajakan dengan cara membandingkan penghitungan laba dan pajak yang wajib dibayar dengan perusahaan lain di sektor yang sama.

Paling tidak ada 3 modus operandi yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan pertambangan batu bara dan kelapa sawit sebagai upayanya untuk mengemplang pajak. Pertama, transfer pricing. Ini dilakukan dengan membentuk anak perusahaan di luar negeri yang kemudian mengekspor pada tingkat harga tentertu (non arm's length price) sehingga omzetnya lebih rendah dan pajak yang dibayar lebih kecil. Kedua, membeli perusahaan lain oleh pemegang saham pada kelompok usaha yang sama. Beban biaya dari perusahaan yang dibeli dimasukkan ke neraca anak perusahaan berlaba tinggi sehingga menekan laba dan akan memperkecil pajak. Ketiga, merger dengan perusahaan rugi agar beban pajak perusahaan utama dapat ditekan oleh kerugian perusahaan barunya.

Berdasarkan uraian di atas, sudah saatnya otoritas perpajakan di Indonesia membuat peraturan yang lebih ketat untuk mengantisipasi praktik transfer pricing yang sering digunakan oleh perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia. Ketentuan perpajakan yang ada telah berusia lebih dari satu dasawarsa. Tentunya hal ini tidak sejalan dengan perkembangan ekonomi global yang melaju dengan cepatnya. Tidak ada salahnya bila Indonesia mencontoh negara-negara anggota OECD atau negara-negara maju di belahan Amerika, Asia dan Afrika dalam mengatur praktik transfer pricing.

Hal lain yang tidak kalah penting adalah segera menerapkan amanat Pasal 18 UU KUP, yaitu menyelenggarakan Advance Pricing Agreement (APA). Mungkin cara inilah yang mampu meminimalisir efek dari transfer pricing. Dan disisi lain, otoritas perpajakan dituntut untuk memiliki database yang dapat dihandalkan.

Tidak ada masalah yang tanpa solusi. Tidak ada kesulitan yang tidak disertai dengan kemudahan.

Perbedaan Model Tax Treaty OECD, UN dan US

Untuk mengetahui perbedaan model Tax Treaty antara OECD, PBB dan Amerika Serikat pada dasarnya dapat dilihat dari sejarah yang melatarbelakangi pembentukan konvensi pajak internasional. Model OECD dilatarbelakangi oleh adanya peningkatan volume perdagangan antar negara maju yang menimbulkan masalah pajak internasional. Sebagai organisasi yang beranggotakan negara-negara maju, penetapan persetujuan penghindaran pajak berganda sesuai dengan kepentingan negara-negara anggota.

Lain halnya dengan United Nations, derasnya arus modal dari negara maju ke negara berkembang menimbulkan masalah pajak internasional. PBB berkewajiban untuk melindungi kepentingan negara berkembang dalam masalah perpajakan internasional. Berbeda dengan Amerika Serikat yang hanya berkepentingan untuk melindungi negaranya semata.

Latar belakang tersebut menimbulkan perbedaan-perbedaan penting antara OECD model dengan UN model. OECD model dianggap diskriminatif dalam menyelesaikan masalah pajak internasional antara negara maju dengan negara berkembang karena dalam OECD model terdapat :

hak eksklusif bagi negara domisili untuk memungut pajak atas penghasilan-penghasilan tertentu, seperti royalti, keuntungan penjualan saham dan sekuritas lain, pembayaran dana pensiun swasta, pembatasan hak memungut pajak dari negara sumber atas penghasilan-penghasilan tertentu, seperti dividen yang boleh dikenakan pajak hanya 5%, bunga hanya boleh dikenakan pajak oleh negara sumber sebesar 10%, keuntungan dari usaha hanya boleh dikenakan melalui suatu bentuk usaha tetap (BUT) sedangkan untuk adanya BUT harus dipenuhi syarat-syarat tertentu yang cukup sulit untuk dipenuhi.

Bila dicermati, terdapat tiga perbedaan pokok antara OECD model dengan US model yang diwakili oleh Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia - Amerika Serikat, yaitu :
Source of income.
Pengaturan mengenai sumber penghasilan yang bertujuan memberikan penegasan mengenai Constracting State yang berhak atas pemajakannya. Apabila sumber penghasilan tersebut tidak dapat ditentukan maka penentuannya berdasarkan UU domestik masing-masing negara. Penentuan sumber penghasilan ini merupakan acuan bagi syarat pengkreditan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 23 P3B Indonesia-Amerika Serikat.

General rule of taxation.
Ketentuan umum perpajakan ini memuat mengenai siapa saja yang berhak menikmati treaty benefits dari P3B. Tujuannya adalah untuk menghindari pihak-pihak yang secara sengaja melakukan treaty shopping.

Assitance of collection. Terdapat pasal yang secara khusus mengatur mengenai adanya kewajiban bagi negara treaty untuk saling membantu dalam penagihan pajak bagi subyek pajak dalam negeri masing-masing negara serta meyakinkan tidak adanya pihak lain atau subyek pajak negara lain yang menikmati manfaat P3B.

Transfer Pricing dan Kontrak Karya

Modus operandi dalam pertambangan umum sejak awalnya adalah Kontrak Karya (KK) untuk kegiatan pertambangan selain minyak bumi dan gas alam. Kegiatan di sektor pertambangan batubara dapat berupa KK atau Perjanjian Kerja sama.
KK diperlakukan sebagai lex specialis terhadap undang-undang lainnya, termasuk undang-undang perpajakan. Kebijakan yang menjadi dasar suatu KK sangat dipengaruhi kebijakan perpajakan yang dianut pada saat KK ditandatangani. Itulah sebabnya, ketentuan perpajakan yang ada di dalam KK berbeda antara Generasi I sampai dengan Generasi VII. Disamping mengatur tentang perlakuan pajak, yang dalam hal-hal tertentu dapat berbeda dengan aturan yang berlaku umum, KK juga mengatur transfer pricing dalam hal hasil tambangnya dijual kepada perusahaan afiliasinya.
Tulisan ini membahas penanganan transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Dalam konteks tersebut, topik yang menjadi pokok bahasan menyangkut tiga masalah pokok yaitu; i) penjualan kepada perusahaan afiliasi, ii) lontrak penjualan jangka panjang, dan iii) prosedur yang harus ditempuh dalam hal terjadi perbedaan penilaian bahwa harga yang dipakai dianggap tidak arm's length.

Penjualan Kepada Afiliasi
Secara umum, perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan umum harus dalam bentuk penanaman modal asing (PMA), karena untuk melakukan eksplorasi dan ekspoitasi di sektor ini diperlukan investasi besar dan pengalaman di bidangnya. Karena itu, biasanya pemegang saham dari perusahaan PMA pertambangan umum adalah perusahaan yang sudah lama dan berpengalaman berkiprah di bidang pertambangan umum.
Perusahaan itu merupakan perusahaan multinasional sehingga perusahaan afiliasinya berada di banyak negara, sehingga akan sering terjadi transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, karena seringkali terjadi perusahaan afiliasinya mempunyai pabrik pemurnian atau tempat pemasaran yang lebih luas.
Seringkali perusahaan pertambangan menutuk kontrak penjualan hasil tambangnya untuk jangka panjang. Aturan yang mengatur kontrak jangka panjang berdasarkan KK, berbeda antara Generasi I dan II dan Generasi sesudahnya. Generasi I dan II yang merupakan awal dari kegiatan tersebut tidak secara tegas membatasi kontrak jangka panjang dalam hal jangka waktunya.
Di dalam kontrak Generasi awal ini hanya ditentukan, "Prices determined in accordance with long or short term agreements entered into in good faith by the Company, and notified to the Government." Ketentuan tersebut memungkinkan perusahaan menutup kontrak jangka panjang tanpa memperoleh persetujuan dari pemerintah Indonesia, melainkan hanya cukup memberitahu saja.
Apabila terjadi penjualan bahan galian kepada perusahaan afiliasi, ada ketentuan, "The Company may sell its products to affiliates at prices based on or equivalent to arm's length sales of products most nearly comparable in quantity, grade and utility in any market selected by the Company...." Ketentuan itu menunjukkan bahwa penentuan harga yang arm's length dilakukan dengan melakukan perbandingan harga yang terjadi di pasar yang dipilih oleh perusahaan.
Yang dimaksud dengan "harga yang dapat dibandingkan" mempertimbangkan unsur-unsur kuantitas, grade dan penggunaannya (utility). Disamping itu ditentukan pula bahwa dalam hal yang membeli adalah perusahaan afiliasi untuk digunakan sendiri maka tidak boleh diberikan potongan harga.
Apabila pemerintah tidak sependapat dengan perusahaan menyangkut harga penjualan dengan perusahaan afiliasinya, dapat memberi tahu perusahaan bahwa harga tersebut tidak arm's length. Jika hal ini terjadi, segera dibentuk komisi terdiri dari satu wakil perusahaan dan satu wakil pemerintah, yang bertugas melakukan verifikasi apakah harga tersebut mencerminkan arm's length. Kalau komisi tidak dapat mencapai kesepakatan, ditunjuk anggota independen.
Apapun keputusan Komisi harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Ketentuan itu pada dasarnya juga diterapkan di Generasi III, hanya bedanya di Generasi III ditentukan harga jual produknya harus sesuai dengan praktik internasional sebagaimana tertuang di bawah ini [Article (11) - Marketing]:
"The Company shall sell the products in accordance with generally accepted international business practices, at the best prices and on the best terms compatible with world market conditions...."
Jika dalam Generasi I dan II disebutkan harga arm's length didasarkan harga perbandingan dengan harga yang terjadi di pasar yang dipilih perusahaan, dalam Generasi III harga ini merujuk pasar dunia. Disamping itu, Generasi III juga membatasi untuk kontrak jangka panjang, yaitu lebih dari tiga tahun, harus memperoleh persetujuan lebih dulu dari pemerintah. Ketentuan dalam KK Generasi IV juga sama dengan Generasi III. Yang berbeda adalah jangka waktu kapan pemerintah dapat mengajukan keberatan atas harga jual, yaitu untuk Generasi I, II, III, dan IV harus disampaikan 12 bulan setelah produk diekspor, sedangkan dalam Generasi jangka waktu ini lebih longgar yaitu 24 bulan.

Kesimpulan Penanganan transfer pricing dalam KK pada umumnya berbeda dengan yang terjadi di industri lain, mengingat kedudukan KK sama dengan undang-undang. Berdasarkan ketentuan KK dalam hal harga jual yang terjadi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, disinyalir tidak arm's length, pemerintah dapat mengajukan keberatan dalam jangka waktu tertentu. Untuk itu dibentuk komisi dari wakil perusahaan dan wakil pemerintah Indonesia, yang memutuskan apakah harga tersebut wajar atau tidak.
Definisi "pemerintah" tidak secara tegas dirumuskan, jadi dalam hal ini pejabat Ditjen Pajak dapat ditunjuk mewakili pemerintah. Namun, koreksi atas harga yang terjadi tidak boleh menyimpang dari ketentuan yang mengatur bahwa metode yang dipakai adalah "comparable uncontrolled price" karena aturannya merujuk kepada harga yang terjadi di pasar internasional.
Oleh Rachmanto Surahmat
Tax PartnerPrasetio, Sarwoko & Sandjaja Consult

Mengomentari Pernyataan Menkes

Masih ingat kan pernyataan Menteri Kesehatan RI terkait dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Peneliti IPB terhadap kandungan enterobacter sakazakii pada beberapa susu formula yang beredar di Indonesia?
Sekedar mengingatkan, Menteri Kesehatan mengomentari hasil penelitian tersebut dengan nada penuh curiga alias tidak percaya. Menteri Kesehatan menuduh adanya kepentingan bisnis di balik proses penelitian tersebut, mengingat sumber dana yang digunakan diindikasikan berasal dari pihak-pihak tertentu. Lebih lanjut, penelitian tersebut dianggap tidak valid karena yang dijadikan sample penelitian adalah tikus, dan yang melakukan penelitian merupakan dokter hewan. Lebih mengangetkan lagi, ketika Menteri Kesehatan mengomentari adanya laporan seorang pasien yang curiga bila anaknya pernah terserang enterobacter sakazakii, dengan menganggapnya sebagai hal biasa karena toh anak dimaksud masih saja tetap hidup. Subhanallah....
Padahal enterobacter sakazakii yang terdapat dalam susu formula dapat mengakibatkan gangguan percernaan pada bayi, bahkan bila parah dapat menyebabkan radang otak.
Saya tidak akan mengomentari tentang keberadaan susu formula yang sampai saat ini tidak dipublikasikan kepada publik. Saya juga tidak akan mengomentari kenapa Pemerintah membiarkan saja beredarnya susu-susu tersebut, tanpa adanya upaya untuk melakukan penarikan dari pasar. Yang akan saya komentari hanyalah sebatas pernyataan seorang Menteri Kesehatan, ilmiahkah ?
Berdasarkan kaedah ilmiah, suatu penelitian ilmiah yang didasarkan pada data yang benar serta prosedur yang benar pasti akan menghasilkan hasil penelitian yang dijamin kebenarannya. Jaminan kebenaran ini berada pada tataran ilmiah, artinya dapat direvisi melalui suatu penelitian atau pendekatan ilmiah juga. Dan perlu diketahui bahwa Peneliti IPB yang terlibat dalam penelitian tersebut ternyata merupakan salah satu Panelis dalam Organisasi Pangan Dunia (FAO). Artinya, Peneliti IPB dimaksud merupakan peneliti berkaliber internasional (sumber : Prof. DR. Syamsul Maarif - Guru Besar IPB).
Berdasarkan pendekatan ilmiah, ada 2 (dua) hal yang sangat dijauhi - dianggap dosa besar - bagi kalangan ilmiah. Pertama, plagiat atau mencontek apa danya hasil karya orang lain. Dan kedua, tidak mempercayai hasil penelitian yang dilakukan melalui proses ilmiah.
Jadi sebenarnya penelitian ilmiah bersifat netral, tidak memuat kepentingan untuk pihak-pihak tertentu. Begitu juga yang terjadi di IPB dan beberapa perguruan tinggi lainnya.
Yang saya bingungkan, bagaimana mungkin seorang pejabat publik sekelas Menteri Kesehatan, kebetulan alumni Program Doktor IPB, tidak mempercayai bahkan curiga terhadap hasil penelitian ilmiah. Semestinya Menteri Kesehatan dapat mengambil manfaat dari hasil penelitian tersebut untuk kesehatan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Bukan malah menjadikan hasil penelitian sebagai obyek debat yang justru membuat rakyat Indonesia, khususnya kamum ibu yang memiliki bayi, semakin khawatir dan bingung.
Mudah-mudahan semua pejabat publik di negeri ini dapat belajar dari kasus Menteri Kesehatan. Dan menjadikan hasil penelitian ilmiah sebagai salah satu basis bagi perkembangan ilmu pengetahuan yang mendukung terciptanya kemakmuran rakyat Indonesia. Penelitian ilmiah merupakan salah satu indikator keberhasilan dunia pendidikan. Bila semakin banyak penelitian ilmiah yang dilakukan di Indonesia maka bisa jadi pendidikan nasional akan setara dengan negara-negara lain yang lebih maju.

Sulitnya Membuktikan Transfer Pricing

Pada sebuah media cetak belum lama ini, secara panjang lebar dimuat dugaan manipulasi pajak oleh kelompok RGM melalui Grup AA. Penghematan pajak diperoleh melalui pengalihsebaran laba usaha objek pajak Indonesia ke Hong Kong, British Virgin Island (BVI), dan Makao. Pengalihsebaran laba tersebut dilakukan melalui suatu konstruksi artifisial legal formal dengan mendirikan SPV. Perusahaan sisipan dibuat untuk memanfaatkan tarif pajak yang murah di Makao (12%), BVI (15%), Hong Kong (16%), Singapura (22%), Malaysia (28%) dan tidak ada potongan pajak atas dividen dibandingkan dengan Indonesia (pajak badan 30% dan pajak atas dividen 20%).
Dalam artikel tersebut terdapat tiga contoh pengalihsebaran (realokasi) laba. Pada transaksi 1, dalam penjualan yang sebenarnya dilakukan PT ISS (Indonesia) ke M/S ME (India) disisipkan SPV di Hong Kong dan Makao. Pada transaksi 2, dalam penjualan yang sejatinya dilakukan oleh PT SMA (Indonesia) dengan POM Sdn Bhd (Malaysia) disisipkan SPV Hong Kong dan BVI. Pada transaksi 3, dalam penjualan yang sebenarnya dilakukan PT ISS (Indonesia) kepada CG (Singapura) disisipkan SPV BVI.
Berdasarkan lampiran Keputusan Menkeu No. 650/KMK.04/1994 beberapa negara seperti Hong Kong, BVI dan Makao termasuk dalam daftar negara yang mengenakan pajak dengan tarif rendah (tax haven countries/THCs). Dalam regulasi perpajakan dimaksud transaksi yang dilakukan melalui para pihak (SPV) yang berdomisili di negara dimaksud diduga sebagai sarana rekayasa pengalihsebaran objek pajak yang seharusnya dikenakan pajak di Indonesia.
Dalam Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (3) UU Pajak Penghasilan diatur cara menangkal pengalihsebaran objek pajak dimaksud. Kalau Pasal 18 ayat (2) yang dielaborasi dengan Kepmenkeu 650/1994 di atas dan Surat Edaran Dirjen Pajak No. 22/Pj.4/1995 memberikan ketentuan pemajakan SPV di beberapa THCs dengan menentukan saat perolehan dividen wajib pajak persero Indonesia. Pada Pasal 18 ayat (3) yang (tetap) merujuk pada elaborasi dalam Surat Edaran 04/Pj.7/1993 memberikan penanganan perpajakan atas pengalihsebaran objek pajak melalui rekayasa transfer pricing (TP).
Meski sudah ada ketentuannya, dalam administrasinya sering muncul masalah mengenai data dan keterangan sebagai bukti bahwa telah terjadi pengalihsebaran objek pajak melalui rekayasa TP yang menyebabkan surat pemberitahun (SPT) diisi dengan kurang benar (jumlahnya), lengkap (unsurnya) dan jelas (sumbernya).
Untuk memberlakukan Pasal 18 ayat (2) dibutuhkan data kepemilikan SPV oleh wajib pajak Indonesia baik langsung maupun tidak langsung dan besaran jumlah laba SPV. Sementara itu, untuk menerapkan ketentuan Pasal 18 ayat (3) diperlukan data atau keterangan tentang status pihak yang bertransaksi (apakah mempunyai hubungan istimewa) dan data atau keterangan tentang jumlah objek pajak yang sewajarnya atau seharusnya (apakah harga penyerahan atau laba sudah wajar jumlahnya).

Tukar informasi
Problem utama menangkal TP adalah pembuktian berdasar data atau keterangan. Pembuktian bahwa ada minimalisasi pajak melalui rekayasa TP dalam negeri untuk menghemat Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), misalnya, jelas tidak gampang mencarinya, apalagi kalau rekayasa TP itu melibatkan SPV di beberapa negara.
Walaupun Indonesia sudah menjalin perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) dengan lebih dari 50 negara, yang di dalamnya terdapat klausul pertukaran informasi, dalam praktik kesepakatan itu belum berjalan efektif. Ini dapat dimaklumi karena pemberian data menyangkut TP justru berpotensi mengurangi penerimaan pajak negara dimaksud. Pengumpulan data dan keterangan tersebut akan lebih sulit lagi apabila SPV itu berdomisili di negara yang belum menjalin P3B dengan Indonesia. Apalagi kalau SPV itu hanya paper companies yang belum tentu terdaftar dalam administrasi pajak negara dimaksud.
Dalam kasus TP dengan penyisipan SPV di beberapa negara ini mungkin terdapat perbedaan antara data arus barang dan arus uang. Berdasar permintaan informasi dari Indonesia tersebut boleh jadi karena ada potensi penerimaan negara, terhadap SPV yang belum terdaftar tadi malah akan dilakukan ekstensifikasi (registrasi) dan sekaligus intensifikasi penerimaan oleh negara. Sehubungan dengan pengumpulan data dan keterangan, selain melalui permintaan data ke negara domisili SPV, dapat dilakukan melalui pihak penegak hukum terkait atau lembaga media masa maupun wartawan dan pihak lainnya.
Wajib pajak yang diperiksa karena TP biasanya akan pengajuan keberatan ke kantor pajak maupun banding ke pengadilan pajak. Dari beberapa putusan banding tentang sengketa TP, misalnya putusan No. 00202/204/92/052/94 tanggal 22 September 1994 menyangkut sengketa antara sebuah perusahaan farmasi dan Ditjen Pajak, wajib pajak diputus menang sehingga semua koreksi atas objek pajak dibatalkan. Ditjen Pajak kalah karena tidak bisa menunjukkan bukti di pengadilan.
Walaupun hukum pajak menganut hukum materiil yang mengedepankan substansi dibandingkan formal, dalam praktiknya tidak mudah mewujudkan aksioma tersebut, karena bukti dan keterangan formal sering dipertanyakan dalam sengketa pajak. Analisis internal data wajib pajak oleh pemeriksa rupanya belum dapat dipakai sebagai alat pembuktian dalam sengketa TP. Tampaknya yurisprudensi untuk dapat dipakai sebagai rujukan hukum oleh administrasi pajak juga masih sangat langka, sehingga lebih menambah kompleksitas kasus TP.
APA belum efektif
Untuk mereduksi kompleksitas TP, Pasal 18 ayat (3a) UU PPh menyediakan win-win solution atas kasus TP melalui perjanjian dengan wajib pajak (dan bekerja sama dengan administrasi pajak negara lain) untuk menentukan harga transaksi antarpihak yang mempunyai hubungan istimewa.
Perjanjian ini lazim disebut advance pricing agreement (APA) sebagai kesepakatan di muka atas TP untuk tujuan penghitungan objek pajak. Kalau APA ini dapat dilaksanakan tentu kedua belah pihak akan memperoleh manfaat. Administrasi pajak secara sederhana akan dapat memperoleh penerimaan pajak dengan tidak adanya perusahaan yang terus menerus rugi karena rekayasa TP.
Di lain pihak, perusahaan yang tidak akan dicurigai memanipulasi pajak, tidak harus mengorbankan waktu untuk melayani pemeriksaan pajak dan dapat membayar pajak sejumlah yang cukup beralasan dan dapat diperkirakan di muka, sehingga bisa lebih mencurahkan waktunya untuk menjalankan bisnisnya.
Namun perlu disadari bahwa karena tidak gampang untuk menyusun aturan pelaksanaan APA dimaksud, sampai saat ini belum ada aturan operasional Pasal 18 ayat (3a), sehingga mungkin banyak para pelaku bisnis dan investor yang tetap menunggu aturan pelaksanaan dimaksud untuk dapat memanfaatkan APA.
Apa yang harus diperbuat?
Dalam buku International Accounting (2002), Prof Choi dkk memperkirakan lebih dari 60% transaksi bisnis dunia dilaksanakan antarpihak yang mempunyai hubungan istimewa dan terjadi TP. Dengan demikian tentu masih banyak pelaku TP di Indonesia selain RGM dan AA Group.
Untuk memperoleh bagian penerimaan pajak yang wajar dari para pihak yang mempunyai hubungan istimewa dimaksud, rasanya dalam pembahasan RUU Perpajakan perlu diperkuat dan diwujudkan prinsip materialitas dari ketentuan perpajakan. Hal ini perlu untuk mengatasi kasus TP dan rekayasa SPV dimaksud dengan penguatan doktrin antiavoidance dan self enforcing rule.
Misalnya, dengan ketentuan pengabaian (disregards rule) atas transaksi artifisial dan SPV (untuk tujuan perpajakan transaksi dan badan dianggap tidak pernah ada), penerapan pendekatan alternatif pajak minimal (kepada beberapa perusahaan yang misalnya sudah 5 tahun tetapi lapor rugi terus sebagai ganti atas pajak yang seharusnya dibayar atas public goods yang telah dimanfaatkan).
Ditjen Pajak sendiri perlu memutakhirkan dan mempertajam ketentuan TP (Pasal 18 ayat (3) dan Surat edaran 04, mengoperasionalkan APA, mengefektifkan pertukaran informasi dengan berbagai pihak (antar Negara, lembaga penegak hukum, pihak terkait dan media massa), pembentukan basis data (kepemilikan perusahaan, harga barang dan jasa, kinerja perusahaan, dan lainnya), memperluas jaringan dan akses data pembanding (misalnya dengan departemen perdagangan, industri, bea cukai, BKPM, dan sebagainya). Selain itu, karena salah satu penyebab TP adalah kurang bersaingnya tarif pajak badan dan sistem pemajakan atas dividen di Indonesia, mungkin perlu dipertimbangkan untuk menurunkan tarif pajak badan dan meninjau ulang sistem pemajakan atas dividen. Untuk mewujudkan substance over form rule dalam ketentuan perpajakan, kiranya lembaga peradilan pajak perlu memperkaya yurisprudensi kasus TP tanpa meninggalkan keadilan dalam alokasi beban pajak.
Oleh Gunadi
Guru Besar Perpajakan FISIP UI

Badan Arbitrase Internasional Dalam Tax Treaty

Selama ini perbedaan interpretasi terhadap ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) selalu dapat diselesaikan melalui forum Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) antara kedua competent authority.

Dalam hubungan ini dapat diberikan beberapa contoh yang menunjukkan bahwa pihak aparat perpajakan Indonesia telah keliru memberi interpretasi atas suatu ketentuan di dalam P3B yang bersangkutan. Pemberian jasa oleh perusahaan Jerman kepada IPTN (akhir 1980-an) dikenai pajak oleh salah satu Kantor Inspeksi Pajak (nama pada waktu itu) melalui pemotongan. Pada saat itu P3B dengan Jerman adalah P3B yang belum direvisi, yaitu bahwa pemberian jasa tidak masuk dalam definisi bentuk usaha tetap. Ini berarti bahwa pemberian jasa (selain jasa konstruksi dan jasa pengawasan pelaksanaan konstruksi) hak pemajakannya berada di tangan negara domisili.
Perusahaan dimaksud kemudian mengadukan hal itu kepada competent authority Jerman dan berdasarkan pengaduan tersebut competent authority Indonesia dan Jerman bertemu untuk membahas interpretasi yang benar dari transaksi tersebut berdasarkan P3B yang berlaku. Langkah ini ditempuh melalui forum prosedur persetujuan bersama. Ada beberapa contoh lagi yang terjadi dan akhirnya dapat diselesaikan melalui prosedur persetujuan bersama.
Namun, masalah yang pernah timbul tidak berkaitan dengan transfer pricing. Seperti diketahui, suatu P3B dimaksudkan, disamping untuk menghindari pengenaan pajak berganda, juga mencegah terjadinya pengelakan pajak. Dalam hal terjadi masalah transfer pricing yang menurut salah satu negara tidak mencerminkan transaksi yang arm's length, maka harga transaksi dimaksud dapat dikoreksi oleh otorita pajak negara tersebut.
Koreksi ini harus dilakukan dalam upaya menghindari pengenaan pajak berganda, karena apabila salah satu negara melakukan koreksi tetapi negara lainnya tidak mengikutinya maka yang terjadi adalah pengenaan pajak berganda. Ini diatur dalam Article 9 dari OECD Model, seperti berikut.
Article- Associated Enterprises
Where an enterprise of a Contracting State participates directly or indirectly in the management, control or capital of an enterprise of the other Contracting State, or the same persons participate directly or indirectly in the management, control or capital of an enterprise of a Contracting State and an enterprise of the other Contracting State, and in either case conditions are made or imposed between the two enterprises in their commercial or financial relations which differ from those which would be made between independent enterprises, then any profits which would, but for those conditions, have accrued to one of the enterprises, but, by reason of those conditions, have not so accrued, may be included in the profits of that enterprise and taxed accordingly.
2. Where a Contracting State includes in the profits of an enterprise of that State - and taxes accordingly - profits on which an enterprise of the other Contracting State has been charged to tax in that other State and the profits so included are profits which would have accrued to the enterprise of the first-mentioned State if the conditions made between the two enterprises had been those which would have been made between independent enterprises, then that other State shall make an appropriate adjustment to the amount of the tax charged therein on those profits. In determining such adjustment, due regard shall be had to the other provision of this Convention and the competent authorities of the Contracting State shall if necessary consult each other."
Yang jadi masalah bila salah satu negara tidak sependapat dengan koreksi negara lainnya. Pada tahap ini, sesuai dengan ketentuan Article 9, kedua competent authorities akan membahasnya. Bila pembahasan antara competent authorities tersebut tidak mencapai titik temu maka tidak ada upaya hukum lain untuk menyelesaikan masalah tersebut, sehingga yang menanggung akibatnya adalah wajib pajak.
Walaupun UU domestik masing-masing negara memberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau banding, hal itu tidak menjamin terciptanya perlakuan pajak yang adil dalam arti penerapan atas ketentuan P3B yang benar.
Dalam konteks inilah berkembang wacana untk membentuk suatu badan arbitrase internasional yang menjadi forum untuk memecahkan masalah interpretasi dari tax treaty, terutama yang menyangkut masalah transfer pricing. Namun demikian pembentukan badan arbitrase internasional tidak sederhana. Tulisan ini mencoba memberi gambaran masalah-masalah yang berkaitan dengan pembentukan badan arbitrase tersebut, yang didasarkan atas laporan yang disusun oleh International Fiscal Association (IFA).
Interaksi Dengan UU Domestik
Pembentukan suatu badan arbitrase harus mempertimbangkan interaksi dari produk hukum badan tersebut dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari sudut pandang UU Pajak Penghasilan, dalam hal surat ketetapan pajak telah diterbitkan, wajib pajak dapat mengajukan keberatan, dalam waktu tiga bulan.
Surat keberatan wajib pajak tersebut harus diberi keputusan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam waktu satu tahun. Apabila keberatan wajib pajak tersebut ditolak, maka wajib pajak dapat mengajukan banding dalam waktu tiga bulan setelah penolakan keberatan. Di tingkat banding pengadilan pajak harus memutuskan banding tersebut dalam waktu satu tahun. Jadi keseluruhan proses tersebut memerlukan kira-kira dua setengah tahun.
Kaitan masalah tersebut dengan wacana pembentukan badan arbitrase di bidang perpajakan adalah bahwa dapatkah wajib pajak menempuh upaya melalui jalur arbitrase dan secara bersamaan menempuh upaya hukum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Berkaitan dengan masalah tersebut perlu disimak ketentuan Pasal 3 dari Undang-undang Nomor 30/1999 (Undang-undang tentang Arbitrase) yang mengatur bahwa pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah memilih arbitrase sebagai jalan keluar.Selanjutnya Pasal 11 undang-undang tersebut mengatur bahwa hak-hak yang bersengketa untuk mengikutsertakan pengadilan negeri dalam menyelesaikan sengketa tersebut.
Situasi tersebut agak berbeda dalam hal terjadi suatu penetapan pajak yang menyangkut wajib pajak luar negeri. Apabila penetapan pajak dimaksud sebagai hasil dari koreksi terhadap transfer pricing, maka negara lain wajib melakukan correlative adjustment. Apabila negara yang disebut belakangan menolak melakukan adjustment maka yang terjadi adalah pengenaan pajak berganda.
Dalam situasi yang demikian maka yang menanggung akibatnya adalah wajib pajak. Sebaiknya sebelum diterbitkannya surat penetapan pajak, dibuka kesempatan melalui forum Mutual Agreement Procedure. Dan seandainya tidak dicapai kesepakatan maka masalahnya baru dapat dibawa ke badan arbitrase.
Apabila prinsip sebagaimana dikandung dalam Pasal 3 Undang-undang No. 30/1990 diadopsi maka seharusnya tindak lanjut dari produk hukum sebelumnya (yaitu surat ketetapan pajak) juga dihentikan. Disinilah letak masalah yang berkaitan dengan wacana pembentukan badan arbitrase internasional perpajakan. Jadi sebaiknya apabila badan ini terbentuk maka para pihak yang bersengketa dicegah untuk melakukan apa yang disebut "lis alibi pendens", artinya menempuh beberapa upaya hukum melalui beberapa yurisdiksi secara simultan.
Selama ini perbedaan interpretasi terhadap ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) selalu dapat diselesaikan melalui forum Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) antara kedua competent authority. Wacana pendirian suatu badan arbitrase internasional yang dilontarkan ini diarahkan kepada dua situasi, yaitu :
  • Dua pejabat berwenang tidak dapat mencapai kesepakatan atas perlakuan pajak yang diajukan oleh wajib pajak, tidak sesuai dengan interpertasinya; atau
  • bila kesepakatan yang dicapai oleh pejabat berwenang tidak sesuai dengan ketentuan P3B yang bersangkutan.
Kedua situasi tersebut akan menuju kepada interaksi dengan undang-undang domestik karena ada dua pilihan yang terbuka bagi wajib pajak. Pertama, wajib pajak mengikuti prosedur yang ada di dalam undang-undang domestik yaitu mengajukan keberatan dan apabila tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan, kemudian mengajukannya kepada pengadilan pajak, sebelum meneruskannya ke badan arbitrase. Dari sudut pandang undang-undang domestik Indonesia, seluruh proses yang harus dilalui membutuhkan waktu kurang lebih 2,5 tahun jika harus sampai kepada pengadilan pajak. Jika seandainya di pengadilan pajak juga kalah wajib pajak masih dapat mengajukannya ke badan arbitrase. Dalam hal demikian ada satu masalah yang penting yaitu proses penagihan atas tunggakan pajak. Dari sudut pandang Indonesia, masalah penagihan pajak merupakan hal yang sangat penting. Kedua, wajib pajak langsung mengajukannya kepada badan arbitrase tanpa melalui prosedur sesuai dengan yang ada di undang-undang domestik.Proses ini tidak menimbulkan masalah interaksi dengan undang-undang domestik, sepanjang di dalam persetujuan tentang badan arbitrase disebutkan syarat yang disebut "lis alibi pendens", yaitu bahwa dalam hal wajib pajak menempuh jalur arbitrase maka wajib pajak tidak dapat menempuh proses lain sebagaimana diatur dalam undang-undang domestik. 
Pihak yang bersengketa
Sebagai wacana badan arbitrase P3B merupakan bagian dari suatu P3B sehingga pihak-pihak yang bersengketa di dalam badan arbitrase adalah pejabat yang berwenang di dalam P3B dimaksud. Namun demikian, mengingat wajib pajak adalah pihak yang juga terlibat maka sebaiknya wajib pajak juga diikutsertakan.
Wajib pajak tidak dapat menjadi pihak yang bersengketa di dalam arbitrase sebab yang menjadi pihak-pihak dalam arbitrase adalah pejabat yang berwenang dari dua Negara. Tetapi harus diingat bahwa keputusan yang diputuskan oleh badan arbitrase tersebut akan menyangkut wajib pajak maka perlu komitmen dari wajib pajak tersebut untuk menghormati keputusan apapun yang dikeluarkan oleh badan arbitrase.
Di samping itu perlu ditegaskan bahwa apabila kedua pejabat berwenang memutuskan untuk membawa suatu kasus ke badan arbitrase maka keduanya harus memberikan komitmen untuk menghormati keputusan badan itu. Jumlah arbitrator yang menangani suatu kasus seperti di badan arbitrase internasional lainnya, terdiri dari satu yang ditunjuk oleh wajib pajak, dan masing-masing satu yang dicalonkan oleh kedua pejabat yang berwenang. Dengan demikian jumlahnya adalah tiga dan salah satu diantaranya dipilih sebagai ketua.
Penunjukan para arbitrator tersebut sangat erat berhubungan dengan kompetensinya. Mengingat bahwa kasus yang akan dihadapi adalah masalah yang berkenaan dengan P3B maka yang ditunjuk sebagai arbitrator harus mempunyai kompetensi yang cukup. Dalam kaitannya dengan penentuan ruang lingkup dari badan arbitrase P3B perlu klausula yang sangat jelas agar kasus-kasus yang seharusnya ditangani oleh badan tersebut tidak ditangani oleh badan peradilan lainnya. Ini sangat penting agar setiap terjadi perbedaan interpretasi terhadap perlakuan pajak dalam kerangka pelaksanaan P3B tetap berada di alur P3B.
Rumusan konsep badan arbitrase P3B
International Fiscal Association (IFA) telah mencoba melakukan riset tentang masalah ini. Hal yang sama juga dilakukan oleh OECD dan International Chamber of Commerce Commission on Taxation (badan dari EEC). Sebagai suatu wacana rumusan yang dikembangkan oleh IFA, yang diusulkan disisipkan setelah Article 25, menjadi Article 25A, yang sebagian rumusan dari ketentuan yang penting adalah sebagai berikut.
"Article 25A - Arbitration of Treaty Controversies
Binding Arbitration
If a case has been presented to the competent authority of one of the Contracting States in accordance with Article 25 and within two years following such presentation the competent authorities have not reached a mutual agreement [or if the person presenting the case to the competent authority (the "taxpayer"] considers that the agreement reached is not in accordance with this Convention], the matter shall be settled by binding arbitration in accordance with this Article and with a Memorandum of Understanding to be exchanged through diplomatic channels, which the competent authorities may from time to time modify and supplement in order better to implement the provisions of this Article.
The official seat of hearing shall be within on of the Contracting States, although the convenience arbitrators may hold the deliberations in any location.
Taxpayer Agreement to Arbitrate
Alternative 1
Arbitration will take place only if the taxpayer and the relevant associated enterprises in the other Contracting State submit in writing to such authority its agreement that the case will be subject to arbitration as provided herein and that the taxpayer and each such enterprise will be bound by any final award.
Alternative 2
A taxpayer presenting a request to the relevant competent authority must, as a condition to its consideration, submit in writing to such authority its agreement, and the agreement of each relevant associated enterprise in each relevant Contracting State, that the case will be subject to arbitration as provided herein and that the taxpayer and each such enterprise will be bound by any final award.
Alternative 3
A taxpayer submitting a case to the relevant competent authority must, as a condition of its consideration of the request, submit in writing to such authority its agreement, and the agreement of each relevant associated enterprise in the other Contracting State, that it will not bring or prosecute any judicial or administrative proceeding under the national law of either Contracting State relating to the subject matter of the case.
Arbitration will take place only if thereafter the taxpayer and each such enterprise submits in writing to both of the competent authorities its agreement that the case will be subject to arbitration as provided herein and that the taxpayer and each such enterprise will be bound by any final award.
3. Initiation of Arbitration
Arbitration may be initiated by the competent authority of either Contracting State or the taxpayer by submitting a written Request for Arbitration with the Appointing Authority designated in paragraph 5 of this Article no sooner than two (2) years and not later than four (4) years following the initial presentation of the case to the relevant competent authority."
Salah satu hal yang perlu dicatat di dalam konsep di atas adalah siapa yang berhak mengambil inisiatif untuk mengajukan kasusnya ke badan arbitrase.Yang dapat mengajukan kasusnya ke badan arbitrase P3B adalah wajib pajak atau salah satu dari pejabat yang berwenang. Karena badan arbitrase P3B ini dalam ruang lingkup arbitrase internasional maka jalurnya adalah The Permanent Court of Arbitration di Den Haag, yang bertindak sebagai "Appointing Authority" sebagaimana dimaksud di ayat 3 di atas. Badan tersebutlah yang menerima pengajuan penyelesaian sengketa dalam kaitannya dengan P3B.
Seandainya Indonesia harus menerapkan ketentuan yang mewajibkan membawa kasus P3B ke badan arbitrase P3B, maka perlu penyesuaian dengan ketentuan domestik sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan pajak.Prinsip "lis alibi pendens" harus diadopsi yaitu bahwa apabila wajib pajak memilih badan arbitrase P3B maka upaya hukum sesuai dengan ketentuan undang-undang domestik tertutup bagi wajib pajak yang bersangkutan.Perlu penyesuaian dalam undang-undang penagihan pajak mengingat jangka waktu penyelesaian oleh badan arbitrase P3B bisa panjang.
Oleh Rachmanto Surahmat
Tax PartnerPrasetio, Sarwoko & Sandjaja Consult

14 Maret 2008

Alhamdulillah, Peringkat Korupsi Negeriku Membaik

Hampir setiap terjadi diskusi panjang di kampus, sulit untuk membantah bahwa Indonesia memang menjadi sarang para koruptor, terlebih setelah bergulirnya reformasi tahun 1998. Korupsi yang terjadi di Indonesia pada dasarnya disupport oleh kebijakan pemerintah, khususnya kebijakan terkait dengan Otonomi Daerah. Dengan menampatkan DPRD (Council) sebaga lembaga yang memiliki power lebih besar dari Kepala Daerah menciptakan lahirnya money politics hampir di setiap level pemerintahan daerah. Padahal dalam UU Pemerintah Daerah, DPRD bukan merupakan bagian dari Pemerintah Daerah. Inilah yang menyebabkan Kepala Daerah sangat bergantung pada keputusan DPRD.
Tapi Alhamdulillah, rasa bangga sebagai bagian dari masyarakat Indonesia mulai timbul kembali setelah membaca berita terbaru. Indonesia mulai melepas atribut sebagai "raja peringkat korupsi" yang dirilis lembaga internasional. Kerja keras Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjebloskan koruptor ke bui berbuah positif. Posisi Indonesia meningkat dalam rilis tahunan peringkat negara pemberantas korupsi terbaik oleh Biro Konsultan Risiko Politik dan Ekonomi (Political and Economic Risk Consultancy/PERC) yang bermarkas di Hongkong.

Jika pada 2007, Indonesia mulai tergeser oleh Filipina dari peringkat negara terkorup, tahun ini posisi Indonesia semakin membaik. Dalam penilaian yang digambarkan dalam skala angka 1-10 untuk paling bersih sampai paling korup, PERC memberi skor Indonesia 7,98, lebih baik dari 2007 yang 8,03. Filipina yang meraih posisi terendah mendapat nilai 9, dan Singapura yang menjadi negara terbaik dalam pemberantasan korupsi mendapat nilai 1,13. Angka-angka tersebut diperoleh setelah PERC mengolah data hasil kuesioner yang disebarkan kepada 1.400 pengusaha asing di 13 negara-negara Asia terpilih. Mereka diminta memberikan pandangan atas korupsi di negara tempat mereka menanamkan modal. Bandingannya negara asal masing-masing.

Dari tabel peringkat, Indonesia menempati urutan 10, sama dengan Tiongkok yang juga tanpa kompromi menghukum mati para terpidana korupsi. Meski lebih baik dari Filipina dan Thailand, Indonesia masih tertinggal dibanding Vietnam, Malaysia, dan Singapura.

Dalam rilisnya, PERC menyebutkan Indonesia mencapai banyak kemajuan pemberantasan korupsi di bawah pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Badan rating internasional telah menaikkan peringkat utang domestik dan asing Indonesia mengacu kepada upaya pemerintah memberantas korupsi. Tapi, korupsi tetap masih menjadi masalah serius di negeri ini," ujar konsultan PERC.

Meski hasilnya belum tuntas, upaya pemberantasan korupsi pemerintah Indonesia, menurut PERC, dinilai lebih baik oleh responden survei dibanding yang dilakukan Filipina dan Thailand. "Komitmen Indonesia lebih baik, sedangkan Thailand masih terganjal peralihan dari junta militer ke pemerintahan sipil hasil pemilu. Pemerintah Filipina masih jalan di tempat," komentar PERC.
Mudah-mudahan upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK dan Pejabat lain yang berwenang dapat melahirkan Indonesia Emas yang bebas korupsi. Hingga anak cucu kita dapat terlahir dengan fitrahnya sebagai penentu masa depan, tidak lagi mewarisi kerusakan yang ditinggalkan oleh nenek moyangnya.

Pemilik Kendaraan Diimbau Mogok Membayar Pajak

Tepat jam 05.30 saya berangkat dari rumah menuju Kantor. Badan masih terasa pegal-pegal karena kebetulan malam sebelumnya harus mengikuti kuliah di UI. Ketika mobil berhenti sejenak di traffic light Pancoran, sesaat saya tertarik ketika membaca head line harian Pos Kota yang mengulas mengenai Himbauan Mogok Membayar Pajak. Ada apakah gerangan?

Setelah saya membaca ternyata himbauan tersebut terkait dengan kekesalan pemilik kendaraan atas rusaknya beberapa ruas jalan utama di Jakarta yang tak kunjung di perbaiki oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Dalam hati kecil saya mendukung aksi tersebut, karena saya termasuk pembayar pajak daerah jenis ini. Sebanyak 122 titik jalan rusak di ibukota belum bisa diperbaiki dalam waktu cepat. Pemda DKI Jakarta menjanjikan baru memperbaiki secara permanen pada Minggu ketiga Maret.

Himbauan mogok membayar pajak pertama kali diprakarsai oleh Ketua Forum Peduli Jakarta, Laode Jumaidin. Menurut Laode, sudah saatnya pemerintah diberi pelajaran dengan tidak membayar pajak sampai jalan diperbaiki. Kondisi jalan yang rusak tidak sebanding dengan pajak yang dipungut dari pemilik kendaraan bermotor. Mestinya, jumlah pajak yang dipungut dengan pelayanan harus seimbang. Tapi kenyataannya, pajak terus dipungut tapi anggaran untuk perbaikan jalan tidak sebanding dengan pajak yang dipungut.

Berdasarkan data yang ada diketahui bahwa jumlah pajak yang diterima Pemda DKI Jakarta dari kendaraan bermotor setiap tahunnya sekitar Rp3 triliun. Jumlah kendaraan di Jakarta saat ini mobil dan truk 2.2 juta dan 3.6 juta sepeda motor sampai awal Maret 2008 mencapai 5.8 juta.

Sedangkan data Traffic Management Centre (TMC) Pulda Metro Jaya menyebutkan akibat banyak jalan rusak dari Januari – Maret telah terjadi 29 kasus kecelakaan dan tujuh orang di antaranya tewas dan 19 orang luka-luka. Jumlah jalan yang rusak diJakarta ada 122 lokasi. Lokasi paling banyak yang rusak ada di Jakarta Timur yang jumlahhya 50 titik, disusul Jakarta Selatan dan Jakarta Barat.

Anehnya, Kepala Dinas Pekerjaan Umum (Kadis PU) DKI Jakarta, Wisnu Subagyo Yusuf , berdalih jalanan tidak segera diperbaiki lantaran cuacanya tidak mendukung alias masih hujan. Bahkan dijanjikan Minggu ketiga Maret 2008 baru akan dilakukan perbaikan secara permanen. Saat ini yang bisa dikerjakan hanya menambal jalan berlubang.
Dikatakan, jalan di Jakarta sepanjang 39 juta m2 yang meliputi jalan nasional, propinsi dan lokal. Di mana 2,5 juta m2 merupakan jalan nasional yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan sekitar 21 juta m2 jalan lokal. Jalan yang rusak hingga akhir tahun 2007 sebesar 1,06 persen, dan setelah diperbaiki tinggal 0,71 persen. Namun, akibat hujan jalan yang rusak bertambah jadi 1,17 persen. Anggaran pemeliharaan tahun 2008 hanya Rp27 miliar. Sedangkan untuk jalan lokal di lima wilayah yang ditangani Sudin PU Jalan anggaran sebesar Rp236 miliar. Idealnya anggaran setiap tahunnya yang dibelanjakan sebesar Rp280 miliar, namun yang ada hanya Rp27 miliar.
Meski dengan anggaran kecil, tetap harus melakukan perbaikan jalan. Tentunya akan berdampak pada kualitasnya karena lokasi jalan yang harus diperbaiki sangat besar.
Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD DKI, Ahmad Husein, meminta kejadian ini dapat jadi pelajaran. Ke depan agar tidak terulang lagi, anggarannya menggunakan multi years artinya perbaikan jalan tidak harus menunggu diketoknya APBD, sehingga tidak ada alasan lagi soal tidak adanya anggaran.
Sementara itu, Pansus Busway DPRD DKI Jakarta berkunjung ke TMC Polda Metro Jaya. Dalam kunjungan itu terungkap kalau TMC masih memerlukan tambahan CCTV untuk memantau tititik rawan kemacetan. Rombongan yang dipimpin Ketua Pansus Ilal Ferhard diterima Waka Dirlantas Polda Metro Jaya, AKBP Firman Shantyabudi, yang mewakili Polda Metro Jaya. Saat ini TMC memiliki 50 CCTV yang dipasang diberbagai titik, namun yang berfungsi baik hanya 40 CCTV. Sehingga masih diperlukan lagi penambahan CCTV untuk memantau kondisi riil di lapangan.
Yang paling urgent bukan menambah CCTV nya, tapi memperbaiki jalan yang berlubang yang dapat mengakibatkan orang celaka. Terlebih untuk kendaraan-kendaraan yang tidak diasuransikan, seperti milik saya, pasti memiliki high risk di jalanan yang rusak seperti itu.

Adilkah Rencana Pembebasan PPh atas Obligasi Global

Harian Kompas pernah memuat berita terkait Pemerintah Indonesia berencana membebaskan para pemilik obligasi berdenominasi valuta asing dari kewajiban membayar Pajak Penghasilan atau PPh atas bunga obligasinya. Atas kebijakan ini, pemerintah mengalokasikan dana Rp 800 miliar pada tahun 2008 sebagai ongkos untuk menanggung PPh tersebut.

“Langkah ini dilakukan agar obligasi internasional pemerintah setara dengan obligasi internasional negara lain. Ini dilakukan agar investor diperlakukan sama di pasar dunia, karena mereka pun pasti menanamkan modal di obligasi lain. Kebijakan ini sudah dilakukan sejak obligasi global kami terbitkan,” tutur Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan (Depkeu) Anggito Abimanyu.

Dirjen Pengelolaan Utang Depkeu Rahmat Waluyanto menambahkan, pembebasan PPh tersebut sudah dikenal sebagai praktik yang lumrah dilakukan di antara penerbit obligasi internasional. Kebijakan itu menjadi bagian dari tax treaty atau perjanjian perlakuan pajak khusus yang disepakati di antara negara-negara yang meratifikasinya. Setiap negara harus menghormati itu. Tax treaty juga dihormati dalam transaksi obligasi negara, baik di dalam negeri maupun luar negeri.

Dalam Rancangan APBN Perubahan (RAPBN-P) 2008 disebutkan, alokasi anggaran untuk menanggung PPh atas bunga obligasi itu mencapai Rp 800 miliar. Ini dilakukan agar daya saing obligasi internasional Indonesia semakin kuat sehingga bisa menembus pasar modal dunia lebih mendalam. Ini menggenapkan subsidi pajak yang diberikan pemerintah pada tahun 2008 menjadi Rp 20,1 triliun, subsidi terbesar adalah subsidi Pajak Pertambahan Nilai atas pembelian bahan bakar minyak Rp 9 triliun.

Berbeda dengan pendapat anggota Komisi XI DPR, Dradjad Wibowo, yang mengatakan ongkos yang disebabkan oleh pembebasan PPh itu malah menyebabkan kupon riil obligasi pemerintah menjadi lebih tinggi. Maka, langkah itu tidak meningkatkan daya saing obligasi valuta asing (valas). Ini sama dengan bank yang kesulitan likuiditas, lalu menawarkan deposito dengan bunga lebih tinggi dan atau memberi hadiah kepada deposan. Dari sisi politik anggaran, pembebasan PPh merupakan strategi ”mengorbankan penerimaan untuk mendapatkan utang lebih banyak”. Strategi seperti ini justru membuat negara semakin dalam terjebak dalam jebakan utang. Langkah ini bersifat distortif, tidak adil terhadap pemegang SUN Rupiah dan ORI karena mereka tetap terkena pajak final. Mengapa investor domestik tetap harus membayar pajak, sementara investor asing pajaknya ditanggung pemerintah?

Adapun Kepala Ekonom BNI A Tony Prasetiantono mengatakan, pembebasan PPh ini bisa memberi tambahan daya saing atas obligasi valas pemerintah. Itu disebabkan investor asing tidak ingin dibebani pajak.

Namun, meski obligasi valas ini menguntungkan bagi pemerintah (karena beban bunganya lebih rendah dibanding pinjaman lain), pemerintah harus hati-hati agar utang luar negeri tidak berlebihan. Jika berlebihan, kelak ketika jatuh tempo bisa membahayakan keseimbangan eksternal neraca pembayaran, ujung- ujungnya bisa mengganggu stabilitas rupiah.
Pengenaan pajak mestinya tidak boleh dilakukan secara diskriminatif, kecuali apabila diatur secara khusus dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (tax treaty) yang merupakan lex spesialist dari perlakukan perpajakan Internasional. Kita tinggal menunggu keputusan yang akan diambil oleh Pemerintah Indonesia setelah memperoleh persetujuan dari Komisi XI DPR. Mudah-mudahan apapun keputusan yang diambil nantinya tidak menciptakan ketidakadilan baru bagi pemegang Obligasi, khususnya Obligasi yang diterbitkan Pemerintah.
Kasihan kan rakyat kecil yang telah terlanjur membeli ORI....