Selamat Datang

Selamat membaca artikel yang kami sajikan.

17 Juni 2008

REFORMASI BIROKRASI : PERLUKAH MERANGKAP JABATAN?

Oleh : Muhammad Na'im Amali

Pendahuluan

Salah satu unit yang kebetulan banyak mendapatkan sorotan dalam upaya reformasi birokrasi adalah Departemen Keuangan yang juga bertindak sebagai ”kasir” pemerintah. Dari sekian banyak unit di Departemen Keuangan, mungkin ada tiga direktorat jenderal yang akan mendapat sorotan teratas mengenai keberhasilan program reformasi birokrasi, yaitu Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea Cukai, dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang kebetulan ditempatkan di ketiga direktorat jenderal tersebut dianggap mendapatkan tempat yang ”basah” dan sering menimbulkan cibiran sinis. Menteri Keuangan tampaknya sangat berharap pada program penyetaraan gaji ini sebagai terobosan dalam modernisasi birokrasi Departemen Keuangan yang harus berhadapan langsung dengan pelaku usaha dalam dan luar negeri.

Tidak hanya perbaikan sistem gaji yang diberlakukan, tapi juga perbaikan sistem pelayanan kepada masyarakat, serta ”pembersihan” beberapa unit dari aparat-aparat yang dianggap tidak ”bersih”. Di tengah optimisme akan bergeraknya reformasi keuangan di Departemen Keuangan khususnya Direktorat Jenderal Bea Cukai, menjadi ironis ketika terdengar berita pemeriksaan mendadak KPK terhadap Kantor Bea Cukai Tanjung Priok yang memang merupakan unit bea cukai yang paling vital, mengingat sebagian besar ekspor dan impor Indonesia dilakukan melalui pelabuhan Tanjung Priok.


Rangkap Jabatan

Beberapa minggu terakhir banyak berita, kajian dan analisis yang ditampilkan oleh media, baik elektronik maupun koran, terkait dengan issue rangkap jabatan. Pembahasan rangkap jabatan menjadi penting ketika kemudian dihubungkan dengan reformasi birokrasi. Terlebih setelah adanya Keputusan Menteri Keuangan yang melarang semua pejabat eselon I untuk merangkap jabatan sebagai komisaris dalam BUMN maupun perusahaan swasta.

Pro kontra tentang rangkap jabatan kemudian bergulir. Wakil Presiden Jusuf Kalla mendukung rangkap jabatan yang disandang pejabat Negara sebagai komisaris asalkan pantas dan tidak berlebihan. Menteri Perindustrian Fahmi Idris bahkan menegaskan, “Saya tidak melihat rangkap jabatan mengandung konflik kepentingan, seperti masalah gratifikasi. Sebab, kalau jabatan rangkap dilarang, bagaimana seorang dirjen menjadi anggota dewan gula atau kelompok kerja dan tim kerja tertentu? Tidak semua mendapat honor meski ada juga yang dapat honor.” Pendapat berbeda dikemukakan oleh Menteri Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Suryadharma Ali yang menyatakan setuju dan akan mematuhi peraturan pelarangan rangkap jabatan di BUMN atau instansi pemerintah bagi pejabat pemerintah. (Kompas, 17/6)

Peraturan yang sempat diperdebatkan dan menjadi dasar pelarangan rangkap jabatan adalah Peraturan Pemerintah nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural Pasal 8. Menurut ketentuan tersebut, PNS yang menduduki jabatan struktural tidak dapat menduduki jabatan rangkap,, baik dengan jabatan struktural lain maupun jabatan fungsional lainnya.


Dirjen Pajak Mengambil Peran Penting

Sebagaimana diketahui, Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution telah mengundurkan diri dari jabatan barunya sebagai komisaris utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI), setelah 6 (enam) hari sebelumnya terpilih dengan suara mayoritas. Langkah yang ditempuh oleh Direktur Jenderal Pajak ini sebagai respon atas keluarnya Keputusan Menteri Keuangan yang melarang perangkapan jabatan sebagaimana diatur oleh PP nomor 100/2000. Selain itu juga untuk merespon terhadap pro dan kontra yang terjadi di tengah masyarakat yang mempertanyakan kemungkinan terjadinya conflict of interest, antara sebagai Direktur Jenderal Pajak dan Komisaris Utama PT BEI. Pengunduran diri sebagai komisaris pada BUMN juga diikuti oleh Direktur Jenderal yang lain di lingkungan Departemen Keuangan.

Hal menarik yang dapat dikaji dari langkah Direktur Jenderal Pajak adalah Darmin Nasution telah mampu menempatkan dirinya sebagai teladan yang patut untuk dicontoh oleh aparatur di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Terlebih saat ini Darmin Nasution menjadi pemimpin atas proses reformasi birokrasi dan reformasi administrasi di DJP. Beliau merupakan masinis atas gerbong panjang yang bernama DJP.

Selama ini banyak terdengar suara sumbang yang datang dari kalangan internal DJP terkait dengan proses reformasi, atau yang lebih dikenal dengan modernisasi. Langkah modernisasi terasa berat karena kurang didukung oleh pemimpin-pemimpin yang sanggup memberikan suri tauladan. Masih banyak pemimpin di DJP yang resisten terhadap modernisasi. Akibatnya muncul sikap apatis dan rendahnya respek terhadap modernisasi.
Contoh yang diberikan oleh Direktur Jenderal Pajak merupakan moment yang sangat penting sebagai modal untuk memotivasi seluruh pegawai DJP untuk kembali semangat dalam menyelesaikan proses modernisasi. Kesuksesan modernisasi sangat ditentukan oleh keseragaman langkah dari semua elemen dalam organisasi, tidak hanya pemimpin tetapi juga para pegawai yang dipimpin. Sulit dan berat rasanya apabila masih ada bagian dari DJP yang enggan untuk mensukseskan modernisasi.


Penutup

Sejalan dengan era tata kelola yang baik (good governance), reformasi administrasi perpajakan juga harus mengarah pada pembentukan administrasi perpajakan yang partisipasif. Menjaga kesetaraan, responsif, berkualitas mempunyai visi strategis profesional, akuntabilitas, serta mengandalkan supervisi.

Dengan mengacu kepada prinsip-prinsip good governance (Gunter Felber, 2003) reformasi adminsitrasi perpajakan dengan tetap mengedepankan tujuan pemenuhan penerimaan negara dan mendorong tingkat kepatuhan sukarela, harus mengarah ke hal-hal berikut : (1) adanya partisipasi masyarakat yang tertib sosial karena pajak pada hakikatnya dari masyarakat, oleh masyarakat, dan pada akhirnya juga untuk masyarakat (2) adanya landasan dan kepastian hukum (rule of law) pengenaan, pemungutan dan penarikan pajak, (3) adanya semangat trasparansi baik dari administrasi perpajakan, masyarakat pembayar pajak maupun para pihak yang terakit dengan sistem perpajakan, (4) semangat responsiveness, yaitu peka dan fleksibel terhadap perubahan sosial, politik, hukum, ekonomi dan kebutuhan publik, (5) keadilan (equity) dalam sistem perpajakan, (6) adanya visi strategik dari administrator pajak, (7) prinsip efektivitas dan efisiensi, di mana adminsitrasi dipandang sebagai fungsi, sistem dan institusi, (8) adanya profesionalisme dalam pelaksanaan proses pemajakan, (9) adanya semangat (budaya) akuntabilitas, di mana setiap kegiatan (pemungutan dan pembelanjaan uang pajak) dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, dan (10) adanya supervisi yang sehat.

Akhirnya, pajak adalah masalah kita semua dalam berbangsa dan bernegara, sehingga reformasi administrasi perpajakan sebagian bagian dari pembaharuan tata kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, tidak mudah mencapai keberhasilan tanpa dukungan konstruktif dari semua kelompok masyarakat tanpa terkecuali.

REFORMASI BIROKRASI DI DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

Oleh : Muhammad Na'im Amali

Pendahuluan

Seiring dengan kemajuan peradaban masyarakat di hampir semua Negara, termasuk Indonesia, muncul adanya tuntutan terhadap reformasi administrasi dan birokrasi. Tidak terkecuali dalam Direktorat Jenderal Pajak (selanjutnya disebut DJP), tuntutan reformasi juga terus disuarakan baik dari kalangan internal maupun eksternal DJP.

Reformasi administrasi (administrative reform) sering didefinisikan sebagai a political process designed to adjust the relationships between a bureaucracy and other elements in society, or within the bureaucracy itself (John D. Montgomer : 1967). Tuntutan adanya reformasi administrasi pada umumnya disebabkan adanya kenyataan bahwa (1) kinerja aparat yang buruk, (2) prosedur yang berbelit-belit, (3) pegawai yang tidak melayani, (4) pelayanan yang buruk, (5) struktur organisasi yang terlalu gemuk, (6) praktek KKN merajalela, dan (7) suasana yang tidak sensitif dan tidak kondusif.

Reformasi birokrasi paling tidak terfokus pada 4 (empat) kajian, yaitu sumber daya manusia, restrukturisasi, rekayasa proses, dan hubungan antara pegawai dan masyarakat (Eko Prasojo : 2007). Sedangkan kebutuhan reformasi birokrasi dipengaruhi oleh faktor budaya, individu, serta organisasi dan manajemen.

Berdasarkan faktor budaya, secara jelas dapat dilihat fenomena-fenomena berupa adanya budaya dan perilaku koruptif yang sudah terlembaga (misalnya “uang pelicin”), budaya “sungkan dan tidak enak” dari sisi masyarakat, masyarakat harus menanggung biaya ganda, dan internalisasi budaya dalam mekanisme informal yang profesional. Begitu juga dalam faktor individu, dimana masih terjadi adanya perilaku individu yang egoistis (egoistic man, maxizing self interest), perilaku yang terkait dengan kesempatan jabatan dan otoritas, egoistic man yang hidup subur dalam sebuah sistem yang korup, serta individu yang jujur seringkali dianggap menyimpang dan tidak mendapat tempat. Tidak kalah pentingnya adalah faktor organisasi dan manajemen. Faktor yang terakhir ini meliputi struktur, proses, leadership, kepegawaian, dan hubungan antara pegawai dan masyarakat. Secara lebih rinci dapat dikemukakan bahwa struktur birokrasi masih bersifat hirarkis sentralistis dan tidak terdesentralisasi, proses pelayanan publik seringkali belum memiliki dan tidak melaksanakan prinsip-prinsip good governance, pelayanan publik juga sangat ditentukan oleh peran kepemimpinan yang kredibel. Dalam aspek kepegawaian, pelayanan publik dipengaruhi oleh rendahnya gaji, proses rekruitmen yang belum memadai, dan kompetensi yang rendah. Hubungan pegawai dan masyarakat dalam pelayanan publik belum setara, dimana pengaduan dan partisipasi masyarakat masih belum memiliki tempat (cicizen charter).


Keniscayaan Reformasi Birokrasi

Allah SWT berfirman dalam Al Qur’an yang telah menjadi hukum kehidupan, bahwa Dia tidak akan mengubah nasib suatu kaum (maa bi qoumin) sampai kaum tersebut mengubah apa yang ada pada diri-diri mereka (maa fi anfusihim). Ayat suci ini mengisyaratkan bahwa resep untuk memperoleh perbaikan nasib adalah dengan perubahan diri. Kalau bangsa kita menginginkan perbaikan keadaan atau perbaikan nasib, maka kita harus mengubah diri kita.

Garry Hamel, seorang Management Guru yang terkemuka, dalam buku terbarunya The Future of Management (2007), mengatakan bahwa yang membedakan abad ke-21 dengan abad sebelumnya adalah perubahan yang terjadi dengan sangat cepatnya. Sehingga hanya mereka yang mampu berubah dengan cepatlah yang akan memenangkan persaingan. Demikian pula, hanya negara yang memiliki kemampuan berubah dengan cepat yang akan mampu bersaing di tengah persaingan global.

Lebih jauh, secara provokatif, Hamel menyerukan perubahan prinsip dan praktek manajemen modern yang saat ini dipraktekan di dunia barat yang telah maju. Menurutnya, meskipun prinsip dan praktek manajemen modern yang telah diterapkan selama abad ke-20 telah terbukti membawa kemakmuran seperti sekarang ini, namun untuk dapat bertahan di abad ke-21, diperlukan prinsip dan praktek manajemen yang baru.

Dengan demikian, perubahan yang diperlukan untuk menuju DJP yang lebih baik adalah perubahan dalam tata kelola pemerintahan atau yang lebih dikenal dengan reformasi birokrasi. Dengan perkataan lain, reformasi birokrasi merupakan suatu keniscayaan bagi DJP.


Reformasi Birokrasi di DJP

Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani, saat melantik pejabat eselon II DJP di Gedung Djuanda Departemen Keuangan, Jalan Wahidin Raya, Jakarta, Jumat (13/6/2008), mengemukakan “Direktorat Jenderal Pajak selalu dianggap sebagai yang pertama menggulirkan reformasi birokrasi, jadi anda sekalian harus bisa menjadi contoh.” DJP juga merupakan institusi yang paling rawan konflik kepentingannya. Karena itu, Sri Mulyani meminta pejabat yang baru dilantik menjaga hal ini agar tugas dilakukan dengan baik.

Menilik pernyataan Sri Mulyani tersebut di atas, sangat jelas bahwa reformasi birokrasi sangat diharapkan dapat dilaksanakan di DJP. Proses reformasi birokrasi yang sudah terlanjur dimulai akan sia-sia bila akhirnya gagal menjadikan DJP sebagai institusi yang reformis. Apalagi DJP merupakan Direktorat pertama yang memelopori gerakan reformasi birokrasi di Departemen Keuangan, dan selanjutnya menjadikan Departemen Keuangan sebagai salah satu proyek percontohan reformasi birokrasi pada lembaga-lembaga pemerintahan.


Tolak Suap

Tampaknya soal suap menjadi sangat penting ketika membahas tentang reformasi birokrasi. Walaupun kenyatannya reformasi birokrasi sebenarnya mencakup ranah yang lebih luas bila dibandingkan dengan perkara suap. Hal ini dibuktikan oleh Sri Mulyani melalui pernyatannya ketika melantik pejabat eselon II DJP.

Sri Mulyani secara kontinyu meminta bawahannya untuk tahan suap. Menteri Keuangan pun meminta anak buahnya, khususnya di DJP, untuk bisa melaksanakan agenda reformasi birokrasi. Namun Menteri Keuangan mengakui pemberantasan suap di DJP sulit dipergoki. Ini berbeda dengan kasus suap di Ditjen Bea Cukai yang gampang dipergoki (Sindo 13/6). "Kita tahu pajak ini memang tidak seperti di Bea dan Cukai yang penyelewengannya bisa ketahuan lewat transaksi fisik, di Pajak memang sulit dipergoki. Tapi anda harus menghilangkan kebiasaan itu sebab sooner or later anda bisa kepergok juga baik itu lewat KPK ataupun lewat rekan-rekan anda," ujarnya.
Mungkin pernyataan Menteri Keuangan tersebut masih ada hubungannya dengan peristiwa suap menyuap yang baru saja dibongkar oleh KPK di Direktorat Bea dan Cukai melalui inspeksi mendadaknya (sidak). Tetapi terlepas dari peristiwa itu, rasanya peringatan Menteri Keuangan menjadi sangat penting untuk diindahkan. Bukan saja karena KPK dan organisasi fungsional pemeriksa lainnya (misalnya IBI) yang sedang giat-giatnya memberantas praktik suap, tetapi suap memang telah menjadi icon negatif dan musuh bersama bagi mereka yang anti korupsi.

Kompas (13/6) menurunkan berita bahwa KPK menetapkan tiga pegawai Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tanjung Priok Jakarta, sebagai tersangka dalam kasus korupsi. Mereka adalah PI, EI, dan N. “Kalau sudah menetapkan tersangka, kami tidak pernah mundur. Makanya, kami hati-hati dalam menetapkan tersangka,” kata Ketua KPK Antasari Azhari di Jakarta, Kamis (12/6). Penetapan tersangka itu merupakan tindak lanjut dari sidak KPK bersama Tim Kepatuhan Internal Direktorat Bea dan Cukai di Tanjung Priok, 30 Mei. Dalam sidak itu ditemukan uang sekitar Rp. 500 juta yang diduga suap.


Penutup

Reformasi birokrasi merupakan keniscayaan yang harus dilakukan oleh semua institusi pemerintah, khususnya yang melakukan pelayanan publik, termasuk DJP. Reformasi birokrasi di DJP hanya akan sukses apabila didukung oleh semua pihak yang terkait, termasuk para pegawai, stockholders dan stakeholders.

Sekecil apapun upaya reformasi birokrasi yang kita lakukan pada hakekatnya telah memberi warna bagi perubahan DJP. Tanpa kepedulian kita semua, DJP akan sulit untuk manjadi institusi yang dapat dibanggakan masyakarat dengan pelayanan primanya. Mari kita jaga DJP, kita majukan DJP, dan kita bela DJP. Kita lakukan perubahan kearah yang lebih baik dengan dimulai dari diri kita sendiri, dari yang kecil-kecil dan dari saat ini juga (Aa Gym).

05 Juni 2008

Hubungan Pemerintah Pusat - Daerah

Oleh : Muhammad Na’im Amali

Pendahuluan

Manajer Hubungan Eksternal Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng, Sabtu (31/5) di Jakarta, mengatakan, Pemda seringkali hanya dijadikan obyek atas kebijakan pemerintah pusat tanpa punya hak untuk menolak atau mengajukan aspirasi. Konstruksi hubungan antara pemerintah pusat sebagai yang utama dan Pemda menjadi pihak yang tersubordinasi.

“Kebijakan pemerintah pusat yang berubah-ubah juga sering membingungkan Pemda. Pemerintah pusat selalu menuntut Pemda berbuat yang terbaik, tetapi tuntutan Pemda kepada pemerintah pusat seringkali diabaikan,” lanjutnya. (Kompas, 3/6).


Supply vs Demand Side

Kesimpulan tersebut boleh jadi merupakan cerminan dari pelaksanaan desentralisasi yang dilakukan pemerintah pusat selama ini melalui perspektif supply side. Dengan kata lain desentralisasi seringkali lebih merupakan keinginan dan kebutuhan pemerintah pusat daripada memperhatikan apa yang seharusnya dimiliki dan menjadi kebutuhan daerah. Desentralisasi menjadi sesuatu yang given dan harus diterima oleh pemerintah daerah sekalipun bertentangan atau diluar kemampuan dan kemauan pemerintah daerah untuk melaksanakan kewenangan yang diberikan.

Perspektif supply side yang dilakukan pemerintah pusat berpotensi mengakibatkan, pertama, terjadinya kesenjangan kapasitas sistem pemerintahan dan masyarakat daerah . Apa yang dimiliki oleh daerah melalui desentralisasi pada dasarnya tidak mencerminkan kebutuhan dan kemampuan yang sesungguhnya di daerah. Desentralisasi hanya menjadi komoditas politik pemerintah pusat untuk mendapatkan dukungan politik dari pemerintah dan masyarakat daerah. Kedua, mengurangi motivasi masyarakat daerah untuk berpartisipasi. Desentralisasi lebih mencerminkan hubungan antara government (central) to government (local), telah menyebabkan lack of motivation bagi masyarakat daerah. Desentralisasi seringkali dimaknai sebagai penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada Pemda sehingga otonomi daerah diartikan sebagai otonomi Pemda. Makna sempit ini tidak memberikan ruang kepada masyarakat daerah untuk menjadi aktor dalam pembangunan daerah. Itu sebabnya otonomi daerah kurang mampu memberikan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat daerah.

Ketiga, mengurangi tingkat legitimasi dan akseptansi masyarakat terhadap Pemda. Kewenangan yang dimiliki oleh Pemda merupakan hasil pemberian pemerintah pusat, sedangkan sumber dan pengguna akhir kewenangan tersebut adalah masyarakat daerah. Pemda merupakan suatu sistem yang mendapatkan legitimasi dan kekuasaan dari rakyat. Tanpa penyerahan kekuasaan dari rakyat melalui proses demokrasi maka tidak akan ada penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada Pemda. Jika kewenangan yang diberikan hanya memberikan kemakmuran dan kesejahteraan kepada elite dan penguasa daerah, maka lambat laun akan terjadi defisit kepercayaan masyarakat terhadap desentralisasi. Terakhir, munculnya keinginan pemerintah pusat untuk melakukan resentralisasi. Ketidakmampuan Pemda untuk melaksanakan kewenangan, rendahnya motivasi dan dukungan masyarakat, serta difisit kepercayaan masyarakat terhadap Pemda hanya akan menyebabkan justifikasi bagi pemerintah pusat unruk meresentralisasi kewenangan yang diberikan kepada Pemda.
Untuk mengeliminir akibat negatif dari penggunaan perspektif supply side, sudah saatnya pemerintah pusat melakukan rekonstruksi pemikiran desentralisasi melalui prespektif demand side. Yaitu pendekatan yang tidak hanya didasarkan pada sanksi dan otoritas pemerintah pusat dan Pemda semata, tetapi kepada pengorganisasian sendiri (self-organizing. Pendekatan desentralisasi yang berbasis demand side akanmemberikan ruang yang lebih besar bagi partisipasi masyarakat (Prasojo : 2006).


UU No. 32 Tahun 2004

Dengan berlakunya UU No. 32 Tahun 2004, hubungan kewenangan Pusat dan Daerah telah mengalami banyak perubahan. Pengaturan mengenai distribusi urusan pemerintahan mengalami perubahan yang mendasar. Pertama, urusan pemerintahan yang tidak dapat didesentralisasikan. Kelompok urusan pemerintahan ini dipandang penting bagi keutuhan organisasi dan bangsa Indonesia. Urusan pemerintahan ini meliputi politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter, fiskal nasional, yustisi dan agama. Kelompok urusan pemerintahan ini diselenggarakan menurut asas sentralisasi, dekonsentrasi kepada wakil pemerintah (gubernur) dan instansi vertikal di provinsi dan tugas pembantuan kepada daerah otonom dan desa. Kedua, urusan pemerintahan yang dapat didesentralisasikan, yaitu urusan pemerintahan di luar kelompok urusan pemerintahan yang pertama. Urusan pemerintahan ini disentralisasikan, didekonsentrasikan kepada gubernur selaku wakil pemerintah, ditugasbantukan kepada daerah otonom dan desa.

Distribusi urusan pemerintahan tersebut di atas didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi. Selanjutnya urusan pemerintahan yang didesentralisasikan, dapat bersifat wajib dan dapat pula bersifat pilihan. Dalam pustaka Inggris masing-masing urusan wajib dan urusan pilihan lazim disebut obligatory functions dan permissive functions (Hoessein : 2006)