Selamat Datang

Selamat membaca artikel yang kami sajikan.

31 Juli 2008

Mencermati Perumusan Masalah Kebijakan Sunset Policy

Oleh :
Muhammad Na’im Amali, Titi Muswali Putranti, Hariyanti, Milla Setyowati, Rudiarto.

Pendahuluan

Salah satu usaha pemerintah (baca : Direktorat Jenderal Pajak – DJP) untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak, adalah dengan melakukan program ekstensifikasi dan intensifikasi. Ekstensifikasi lebih menekankan pada proram meningkatkan jumlah Wajib Pajak terdaftar. Sedangkan intensifikasi mengacu pada perluasan objek pajak yang dapat dikenakan pajak misalnya intensifikasi objek pajak di sektor-sektor tertentu, seperti konstruksi, properti, bubur kertas, perkebunan kelapa sawit dan sebagainya.

Kepatuhan sukarela dalam membayar pajak perlu diwujudkan antara lain dengan melakukan proses pemungutan pajak yang mudah, penggunaan atau alokasi penerimaan pajak yang transparan. Sehingga diperlukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai UU dan peraturan yang terkait, kinerja aparat pajak, agar timbul kepercayaan dari Wajib Pajak. Wiratmo (alm.) mengatakan bahwa ”Paradigma baru kebijakan publik adalah kembalinya peran dasar pemerintah sebagai public service, jadi baik penerimaan maupun pengeluaran berorientasi kepada pelayanan publik. Paradigma baru tidak bisa diterjemahkan sebagai penambahan beban bagi masyarakat” (Anggito : 2008).

Sunset Policy

Salah satu program kebijakan DJP dalam bidang ekstensifikasi dan intensifikasi adalah dengan memperkenalkan program sunset policy.

Sunset policy adalah program penghapusan sanksi administrasi pajak penghasilan. Sunset policy merupakan fasilitas perpajakan yang diatur berdasarkan Pasal 37A UU No 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Wajib Pajak yang dapat menikmati fasilitas kebijakan sunset policy adalah, pertama, Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dalam tahun 2008 dan menyampaikan SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar. Kedua, Wajib Pajak yang dalam tahun 2008 menyampaikan pembetulan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi sebelum Tahun Pajak 2007 atau SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan sebelum Tahun Pajak 2007 yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak.


Kebijakan publik sebagai output sistem politik

Kebijakan Publik adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu maupun tidak melakukan sesuatu (Thomas Dye : 1979). Definisi ini mungkin terlalu sederhana untuk menggambarkan sesuatu yang mencakup setiap aspek pemerintahan yang terkait dengan Kebijakan Publik. Kebijakan Publik adalah fenomena kompleks yang terdiri dari sejumlah keputusan yang dibuat oleh sejumlah individu dan organisasi (Howlett dan Ramesh : 1995).

Sebagai sebuah kebijakan hasil keputusan pemerintah, kebijakan publik merupakan output dari proses sistem politik. Menurut teori system, kebijakan publik dapat dipahami sebagai respon sistem politik dari sesuatu yang muncul di masyarakat atau lingkungan (Thomas Dye : 1979). Kekuatan yang diturunkan lingkungan tersebut mendorong dan mempengaruhi sistem politik. Elemen tersebut merupakan input. Input tersebut dikonversi oleh aktor-aktor dalam sistem politik, yaitu yudikative, legislative, eksekutive. Hasil dari konversi tersebut merupakan output proses sistem politik. Output itu yang kemudian disebut Kebijakan Publik. Dalam konsep system dinyatakan bahwa sejumlah kelembagaan yang teridentifikasi dan aktivitas dalam masyarakat merupakan fungsi yang mentransfer keinginan-keingan masyarakat menjadi keputusan yang mengikat yang membutuhkan dukungan dari seluruh masyarakat. Dalam konsep sistem juga dinyatakan adanya elemen-elemen sistem yang saling berkaitan yang memungkinkan sistem merespon keinginan-keinginan dalam masyarakat. Input diterima dalam sistem politik dalam bentuk demand maupun support.

Dalam pendekatan Eastonian, sistem politik menjadi kerangka dari proses Kebijakan Publik. Easton mengakui adanya faktor-faktor yang mempengaruhi sistem politik, dimana faktor-faktor tersebut memiliki peluang mempengaruhi proses pembentukan kebijakan publik. Dalam proses konversi untuk membuat kebijakan publik terdapat beberapa elemen kunci yang merupakan kumpulan fungsi-fungsi lingkungan dimana banyak aspek berbeda berlangsung pada berbagai arena dengan aktor yang berbeda saling beriteraksi.

Dalam proses formulasi kebijakan, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu (1) lingkungan dianggap struktur yang paling formal; (2) terpusat pada mekanisme resmi pembuatan keputusan kebijakan; dan (3) aktor atau pelaku utama adalah para pembuat keputusan kebijakan yang menduduki posisi penting dalam pemerintahan yang mempunyai kewenangan dalam penentuan prioritas dan alokasi sumber daya, misalnya anggota DPR dan pejabat tinggi dalam pemerintahan.


Perumusan Permasalahan Kebijakan Publik

Pemerintah telah merencanakan program pengampuan pajak sejak tahun 2001 dengan menyusun draft RUU Pengampunan Pajak. Namun sampai dengan tahun 2005 draft tersebut belum juga terealisasi. Tidak terealisasinya draft tersebut karena banyaknya kekuatan politik yang turut berperan. Salah satu penyebab draft tersebut tidak disepakati adalah DJP sebagai otoritas pajak membuat kebijakan di luar koridor kapabilitasnya. Pengampunan di dalam draft tersebut tidak hanya terkait dengan sanksi administrasi dan tindak pidana pajak, melainkan juga tindak pidana lain, yang bukan wewenang DJP. Oleh karena pembuatan UU Pengampunan Pajak tidak dapat terealisasikan, maka dicari jalan lain untuk mengakomodir pengampunan pajak. Dalam UU KUP dibuat pasal yang mengakomodir ketentuan pengampunan pajak, yang berbentuk pemberian penghapusan sanksi administrasi berupa bunga bagi WP yang membetulkan SPT dan mendaftarkan diri. Rancangan tersebut akhirnya selesai pada tahun 2007 dan diimplementasikan tahun 2008.

Isu mengenai sunset policy akan dijadikan sebagai contoh isu dalam merumuskan kebijakan DJP sebagai salah satu produk dari kebijakan publik. Sunset policy muncul karena DJP tidak dapat menguji kepatuhan Wajib Pajak secara keseluruhan. Selain itu, tambahan penerimaan pajak dari hasil pemeriksaan belum berdampak secara signifikan. Diberlakukannya sunset policy pada tahun 2008 merupakan bentuk komitmen DJP terhadap program pengampunan pajak, berupa kebijakan penghapusan sanksi administrasi yang terintegrasi dalam Pasal 37A UU KUP. Secara teoritis, sunset policy ditujukan untuk meningkatkan perbaikan struktur, prosedur, dan kinerja; meningkatkan akuntabilitas; dan dapat memberikan penghematan keuangan bagi Wajib Pajak (Kearney : 2008). Perbaikan struktur mencakup sistem perpajakan dan monitoring terhadap kepatuhan Wajib Pajak serta penetapan law enforcement. Dalam konteks kebijakan penghapusan sanksi administrasi, sunset policy bermanfaat memberikan penghematan keuangan bagi Wajib Pajak. Penghematan berupa cut off atau clear cut atas kewajiban pembayaran sanksi administrasi tersebut yang menjadi daya tarik sunset policy bagi Wajib Pajak.

Proses penetapan ketentuan penghapusan sanksi administrasi tidak lepas dari proses politik. Semula penghapusan sanksi hanya diberikan kepada Wajib Pajak yang telah mendaftarkan diri. Namun, ketentuan ini mencoba memfasilitasi masyarakat yang belum memiliki NPWP dan takut untuk mendaftarkan diri karena kekuatiran menghadapi pemeriksaan pajak. Pertimbangan dari ketentuan tersebut adalah bahwa Wajib Pajak yang belum mendaftarkan diri belum mengerti ketentuan perpajakan secara menyeluruh, sehingga takut menghadapi pemeriksaan. Pada akhirnya pemberian fasilitas tidak dilakukannya pemeriksaan ini diperluas, termasuk Wajib Pajak yang telah mendaftarkan diri, kecuali ada data yang tidak benar atau menyatakan lebih bayar. Bagi Wajib Pajak yang sedang dalam proses pemeriksaan, dapat langsung dihentikan selama Pemeriksa Pajak belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP).

Sunset policy bertujuan untuk mendorong Wajib Pajak agar lebih jujur, konsisten, dan sukarela melaksanakan kewajiban pajaknya. Pemberian kesempatan kepada Wajib Pajak to become the honest tax payer melalui pengampunan pajak diharapkan akan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak di masa yang akan datang. Kebijakan penghapusan sanksi administrasi memberikan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk meningkatkan keterbukaan (disclosure) atas kewajiban perpajakannya, sebelum diterapkannya penegakan hukum (law enforment) pajak. Oleh karena setelah sunset policy berakhir, DJP akan melakukan upaya penegakan hukum berdasarkan informasi yang telah dimiliki.

Peraturan perundangan dengan konsep sunset policy berlaku dalam periode waktu tertentu, setelah itu peraturan tersebut tidak berlaku lagi. UU KUP memberikan fasilitas sunset policy berupa penghapusan sanksi administrasi dalam kurun waktu satu tahun. Pembatasan waktu ini harus dilakukan karena ada kemungkinan disalahgunakan. Apabila tidak diberikan batas waktu, justru dapat menyebabkan penurunan kepatuhan Wajib Pajak.

Sunset policy diharapkan mempunyai dampak yang cukup siginifikan untuk meningkatkan voluntary compliance. Kepatuhan Wajib Pajak sehubungan dengan sunset policy mencakup kepatuhan jangka pendek dan jangka panjang. Kepatuhan jangka pendek terkait dengan keterbukaan Wajib Pajak dalam melaporkan kewajiban perpajakannya secara benar. Sedangkan kepatuhan jangka panjang menunjukkan bahwa Wajib Pajak taat terhadap peraturan tanpa harus dilakukan upaya penegakan hukum. Dalam jangka panjang, peningkatan kepatuhan sukarela Wajib Pajak akan membawa dampak pada peningkatan penerimaan pajak. Dengan demikian perlu dikaji lebih lanjut, apakah permasalahan dalam upaya peningkatan penerimaan pajak dapat diterobos hanya dengan menerapkan sunset policy. Selain itu perlu ditelaah lebih lanjut apakah penerapan sunset policy dapat dijadikan sarana dalam meningkatkan kepatuhan sukarela (voluntary compliance).

Menurut Kearney, untuk mendapatkan hasil yang optimal sunset policy harus dilaksanakan dengan mekanisme kebijakan lain, seperti program pemeriksaan paska kebijakan (post-audit), program evaluasi, atau program penilaian keberhasilan kebijakan yang tepat. Hasil program penilaian tersebut akan menjadi input bagi kebijakan perpajakan berikutnya.

Sebelum menetapkan suatu kebijakan, pemerintah harus mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan dari penerapan kebijakan tersebut. Pemerintah perlu melihat dalam perspektif jangka pendek maupun jangka panjang, sehingga kebijakan yang dibuat merupakan yang terbaik dari alternatif yang ada. Kebijakan pajak yang baik harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu memiliki pola yang selaras, mempunyai estimasi perhitungan penerimaan pajak bila kebijakan tersebut diterapkan, secara teknis dapat diimplementasikan melalui peraturan yang tidak rumit, dan memiliki flesibilitas untuk memadukan metode dan pemikiran dalam proses pembuatan kebijakan pajak (Schlesinger : 1967).

Kebijakan yang berorientasi jangka pendek seperti sunset policy jangan sampai menimbulkan kesenjangan dengan pola kebijakan yang berorientasi pada jangka panjang. Diberlakukannya UU KUP merupakan satu langkah yang berorientasi pada jangka panjang. Penyatuan ketentuan mengenai sunset policy dalam UU KUP membuat suatu konstruksi peraturan yang saling membangun. Selain itu, kebijakan sunset policy tidak mengandung klausul pembebasan tindak pidana lain, sehingga tidak terjadi tumpang tindih dengan peraturan yang mengatur tindak pidana umum.

Suatu kebijakan pajak dikatakan baik bila secara teknis dapat diimplementasikan melalui peraturan perundang-undangan yang praktis atau melalui prosedur administrasi yang efisien. Hal ini berarti harus ada koordinasi antara policy generalist dengan admnistrative specialist. Namun kenyataannya peraturan pelaksanaan sunset policy dikeluarkan tidak bersamaan dengan mulai berlakunya kebijakan tersebut. Peraturan pelaksanaan baru dikeluarkan pada akhir bulan April 2008, dengan demikian terdapat idle time selama empat bulan sejak berlakunya kebijakan. Selain itu sosialisasi kebijakan ini baru dimulai 1 Juli 2008, padahal kebijakan ini berakhir pada 31 Desember 2008. Hal ini menunjukkan ketidaksiapan DJP. Pelaksanaan kebijakan yang masih akan berjalan lima bulan ke depan membutuhkan komitmen DJP untuk melaksanakan kebijakan ini sesuai dengan rencana.


Kesimpulan dan Rekomendasi

Sunset policy yang merupakan output dari kebijakan publik yang dibuat oleh DJP merupakan program yang serius. Bukan sekedar persepsi atau program coba-coba. Maka strategi, sasaran dan targetnya harus jelas.
Ibarat matahari terbenam, sunset policy tentulah sangat indah dipandang mata, sangatlah sejuk dirasa, namun hanya sekejap melintas sampai akhirnya menghilang berganti petang. Begitupun dengan kebijakan sunset policy, hanya sekejap untuk tahun 2008 dan akan berakhir sampai tanggal 31 Desember 2008. Sehingga diharapkan Wajib Pajak dapat segera memanfaatkan fasilitas perpajakan ini sebelum berakhir masa berlakunya.

Menurut Dirjen Pajak, Darmin Nasution, Pemerintah sengaja memilih kebijakan sunset policy daripada tax amnesty sebagaimana diminta Kadin dalam pembahasan Undang-undang KUP. Di beberapa negara lain sebenarnya sunset policy dan tax amnesty hampir sama, atau sunset policy merupakan tax amnesty mini (Berita Pajak : 2008). Hasil studi di beberapa negara menunjukkan bahwa pemberian tax amnesty justru dapat mengakibatkan penurunan tingkat kepatuhan Wajib Pajak yang notabene adalah penurunan penerimaan pajak pada periode setelah diberikannya tax amnesty. Maka sunset policy dipilih untuk membuka lembaran baru sebagai bangsa yang beradab dan pemaaf. Dengan demikian diharapkan Wajib Pajak menjadi lebih benar dalam melaporkan dan membayar pajak sehingga tercipta keadilan dalam pemungutan pajak.

Walaupun agak berbeda dengan tax amnesty, namun sunset policy berpotensi memberikan nilai manfaat bagi Wajib Pajak, diantaranya adalah (1) tidak dikenakan sanksi administrasi, (2) tidak dilakukan pemeriksaan, kecuali SPT lebih bayar atau terdapat data/keterangan lain, (3) apabila sedang dilakukan pemeriksaan tetapi belum disampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) maka pemeriksaan tersebut dapat dihentikan, (4) data/informasi tambahan dalam rangka pelaksanaan sunset policy tidak digunakan untuk penetapan pajak lainnya.

Sebagai output dari kebijakan publik, sunset policy harus disosialisasikan secara meluas di kalangan Wajib Pajak agar keberhasilan dari tujuan dikeluarkannya kebijakan tersebut dapat dicapai. Tujuan akhir kebijakan sunset policy adalah jumlah Wajib Pajak bertambah, pembetulan SPT Tahunan PPh semakin meningkat, kepatuhan dan penerimaan pajak juga meningkat.

Sosialisasi kebijakan sunset policy dapat dilakukan dengan upaya membangun kesadaran Wajib Pajak dan pengetahuan yang berakitan dengan sunset policy melalui kegiatan workshop, inhouse training, penyebaran booklet, leaflet dan stiker baik dilingkungan internal DJP maupun kepada Wajib Pajak. Sosialisasi juga dapat dilakukan melalui kerjasama dengan beberapa perguruan tinggi di seluruh Indonesia (Tax Center), Pemerintah Daerah khususnya Dinas Pendapatan Daerah, berbagai asosiasi, wartawan, biro kehumasan, dan instansi pemerintah lainnya tanpa kecuali.

Apa Negara Ini Milikku?

Pendahuluan

Perasaan ikut memiliki suatu Negara tentulah utamanya dirasakan oleh warga Negaranya sendiri. Maju, tertib dan baiknya suatu Negara, yah… sangat tergantung pada warga negaranya sendiri. Untuk maju, Negara pasti perlu dana. Dari mana? Utang? Ya boleh-boleh saja. Lalu bayarnya? Alangkah bangganya bila Negara tersebut maju dan berkembang karena secara proporsi yang besar didanai oleh warga negaranya sendiri. Dari mana? Tidak lain dan tidak bukan tentunya dari pajak. Oleh karena itu, kesadaran masyarakat dalam pemenuhan kewajiban perpajakan harus lebih meningkat yang dilandasi kejujuran, keterbukaan, dan kerelaan.

Sunset policy

Pandangan masa lalu yang tidak baik tentang perpajakan, sogok menyogok, KKN, ketakutan, dan kenekatan untuk berbuat tidak baik sudah waktunya kita kikis habis. Melalui perpajakan, sebagai tonggak utama kokohnya suatu Negara, kita mulai era baru, era keterbukaan dan era kejujuran yang dimulai dari reformasi birokrasi (modernisasi) dan sebagai lanjutan rangkaiannya adalah sunset policy. Kita akui kesalahan, khilaf, kesengajaan tidak melaporkan penghasilan maupun harta, lalu kita laporkan dalam pembetulan SPT Tahunan PPh serta bayar kekurangan pajak tanpa sanksi bunganya. Nah, selanjutnya tidur nyenyak deh.

Mengapa sih kita diberi kesempatan untuk memperoleh fasilitas sunset policy? Seperti di banyak Negara, Indonesia juga menerapkan sistem self assessment di bidang perpajakan. Dalam sistem ini, kita sebagai warga Negara dan Wajib Pajak diberi hak dan kepercayaan penuh mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, menghitung penghasilan yang kita peroleh, menghitung kewajiban PPh yang harus kuta bayar, menyetorkan PPh tersebut serta melaporkannya beserta harta dan kewajiban kita melalui SPT.

Melalui berbagai saluran, utamanya dari kewajiban instansi/lembaga/sosial/pihak lain baik swasta maupun pemerintah menyampaikan data perpajakan yang dimilikinya sesuai Pasal 35A UU KUP ke DJP. Saat ini DJP telah banyak mempunyai data yang dikelola pada suatu sistem data base yang terus dikembangkan dan didukung oleh teknologi informasi, yang keamanan dan kerahasiannya sangat terjamin sehingga data tersebut dapat dipakai sebagai alat kontrol untuk mengetahui apakah Wajib Pajak telah melaporkan pajaknya dengan benar atau belum.

Selain itu, dalam Rancangan UU PPh, bagi orang pribadi yang belum mempunyai NPWP akan dikenakan tarif PPh lebih tinggi dibandingkan dengan yang telah ber-NPWP. Nah, inilah yang melatarbelakangi adanya fasilitas sunset policy.

Manfaat

Dengan manfaat sunset policy, ada beberapa keuntungan yang diperoleh. Pertama, tentu saja tidak dikenai sanksi pajak berupa bunga yang memberatkan. Berikutnya, tahun pajak mana yang dibetulkan, semua diserahkan kembali kepada kejujuran Anda untuk membetulkan SPT tersebut. Atas data yang Anda sampaikan dalam pembetulan SPT tidak dilakukan pemeriksaan, bahkan jika sedang dilakukan pemeriksaan dan belum diterbitkan SPHP maka pemeriksaan akan dihentikan.

Hal lainnya, data dan atau informasi yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh yang terkait dengan pemanfaatan sunset policy ini tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas jenis pajak lainnya. Tidak mengherankan jika dengan memanfaatkan sunset policy, kita akan merasa tenang dan dapat tidur nyenyak, karena tidak ada lagi perasaan bersalah akibat kewajiban di bidang perpajakan yang belum terselesaikan.

Untuk memanfaatkan sunset policy cukup mudah, orang pribadi yang belum memiliki NPWP dapat langsung mendaftarkan diri, baik melalui internet (e-registration) di www.pajak.go.id maupun datang langsung ke kantor pajak terdekat, dan mengisi SPT Tahunan PPh serta melunasi pajaknya. Sedangkan bagi orang pribadi maupun badan yang telah memiliki NPWP, dapat membetulkan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2006 dan/atau tahun-tahun sebelumnya yang telah disampaikan dengan cara mengisi formulir SPT Tahunan tahun pajak yang bersangkutan. Sebelum pembetulan SPT tersebut disampaikan, Wajib Pajak melunasi kekurangan pajak yang masih harus dibayar berdasarkan pembetulan tersebut.

Bagi kita yang telah memiliki NPWP sebelum 1 Januari 2008, penyampaian pembetulan SPT Tahunan PPh berikut SSP harus disampaikan paling lambat 31 Desember 2008, sedangkan yang baru memiliki NPWP pada tahun 2008 SPT disampaikan paling lambat 31 Maret 2009. Bahkan, bagi kita yang sudah lama mempunyai NPWP tetapi belum pernah menyamapaikan SPT Tahunan PPh dapat juga memanfaatkan sunset policy dengan cara menyampaikan SPT Tahunan PPh paling lambat 31 Desember 2008.

Jangan lewatkan kesempatan ini. Jika masih ada yang ingin ditanyakan, kita dapat menghubungi Kring Pajak 500200 atau melalui internet di www.pajak.go.id atau bisa juga datang langsung ke kantor pajak tersekat.

Sumber : Kompas, Senin 28 Juli 2008 hal. 13

17 Juli 2008

Menaruh Harapan Kepada Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak

Oleh : Muhammad Na'im Amali

Pendahuluan

Seiring dengan makin meningkatnya peran Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai salah satu institusi publik yang memiliki tanggung jawab besar dalam menghimpun penerimaan Negara di sektor perpajakan, maka peran Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak (selanjutnya disebut Pemeriksa) juga semakin besar. Selama ini peran Pemeriksa lebih pada penegakan law enforcement terhadap Wajib Pajak yang tidak atau kurang patuh dalam melaksanakan kewajiban perpajakan dibandingkan dengan fungsi penerimaan. Walaupun masih sangat minim peranannya – hanya menyumbang sekitar 5% dari total penerimaan pajak setiap tahunnya –peran Pemeriksa untuk andil dalam menghimpun penerimaan Negara akan terus ditingkatkan.

Sebagai upaya untuk meningkatkan peran Pemeriksa sebagaimana di atas, beberapa minggu terakhir telah dilakukan mutasi dan pengangkatan pertama sebagai Pemeriksa di Lingkungan DJP. Mutasi pertama diawali dengan keluarnya Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor KEP-133/PJ/UP.53/2008 tanggal 12 Juni 2008 khusus untuk Pemeriksa golongan III ke bawah. Kedua, mutasi untuk Pemeriksa golongan IV ke atas ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan nomor 166/KMK.01/UO.11/2008 tanggal 23 Juni 2008. Dan terakhir, keluarnya keputusan Menteri Keuangan tentang pengangkatan pertama dalam jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak sesuai keputusan nomor 447/KM.1/UP.11/2008 tanggal 2 Juli 2008.

Rentetan mutasi dan pengangkatan pertama sebagai Pemeriksa mengundang harapan baru dalam era modernisasi seperti saat ini. Pemeriksa yang sebelumnya dikonotasikan sebagai jabatan yang cenderung “arogan” diharapkan akan mampu merubah diri menjadi lebih professional seiring dengan tuntutan perubahan dari masyarakat terhadap institusi DJP.

Pembekalan

Mengingat sifat kerja Pemeriksa yang mengharuskan berhadapan langsung dengan Wajib Pajak melalui kegiatan pemeriksaan, maka posisi Pemeriksa dipandang sangat rentan terhadap potensi pelanggaran Kode Etik. Banyak contoh kasus hukum yang melibatkan Pemeriksa dari kegiatan pemeriksaannya. Yang terkenal adalah kasus sebagaimana yang dimuat sebagai headline Majalah Forum dengan judul “Mafia Cincai Dirjen Pajak”.

Belajar dari kasus tersebut, Kantor Wilayah DJP Banten memandang perlu untuk segera dilakukan internalisasi kode etik sekaligus pembekalan kepada para Pemeriksa. Pembekalan ini dilakukan sehari dengan materi meliputi pemahaman tentang obyek pengawasan investigasi internal, aspek hukum dalam pemeriksaan, ketentuan KUHP yang mengatur tindak pidana, kebijakan pemeriksaan dan kebijakan pemeriksaan bukti permulaan. Untuk merealisasikan kegiatan tersebut, Kantor Wilayah DJP Banten mengundang langsung narasumber dari KPDJP, yaitu Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (KITSDA), Direktorat Peraturan Perpajakan II, Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan, serta Direktorat Intelijen dan Penyidikan.

Acara yang diadakan pada hari Selasa tanggal 8 Juli 2008 dan dimotori oleh Bidang Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak (P4) ini mengundang Pemeriksa dari Kantor Wilayah DJP Banten, Pemeriksa KPP Madya Tangerang, Pemeriksa di KPP-KPP Pratama, dan para Kepala Seksi Pemeriksaan di lingkungan Kantor Wilayah DJP Banten. Jumlah Pemeriksa yang diundang terdiri dari 115 orang, terdiri dari 8 orang golongan IV ke atas dan 107 orang golongan III ke bawah.

Ada Apa Dengan Fungsional (AADF)

Sesi I pembekalan menampilkan nara sumber dari Direktorat KITSDA yang diwakili oleh Kepala Sub Direktorat Investigasi Internal dan Kepala Seksi Internalisasi Kepatuhan. Dalam pengantarnya, Kepala Seksi Internalisasi Kepatuhan menguraikan tentang tindak lanjut atas kasus pajak pertama yang ditangani KPK, kasus Majelis Kode Etik yang pertama disidangkan, temuan Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan terkait dengan prosedur pemeriksaan pajak, serta gagasan pimpinan DJP tentang perlunya Pakta Integritas. Begitu banyak kasus hukum yang melibatkan Pemeriksa sehingga muncul pertanyaan dari KITSDA, “Ada Apa Dengan Fungsional (AADF)”.

Sedangkan Kepala Sub Direktorat Investigasi Internal lebih banyak memberi motivasi kepada Pemeriksa untuk lebih bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa serta menguraikan contoh-contoh kasus yang saat ini sedang diproses oleh Sub Direktorat Investigasi Internal. Dalam kesempatan ini juga ditegaskan bahwa Pakta Integritas belum diatur dalam ketentuan perpajakan. Perlu tidaknya Pakta Integritas dapat disesuaikan dengan kondisi masing-masing unit vertical DJP. Pada dasarnya Surat Pernyataan Bersedia Mematuhi Kode Etik Pegawai DJP sudah lebih dari cukup untuk menjaga attitude pegawai. Justru yang lebih penting adalah upaya untuk meningkatkan pemahaman dan pengamalan ajaran agama masing-masing. Jawaban tersebut diberikan sebagai respon atas pertanyaan dari Kantor Wilayah DJP Banten yang telah menerapkan Pakta Integritas untuk setiap penerbitan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) bagi pejabat fungsional pemeriksa pajak di kantor tersebut.

Perlindungan Hukum Bagi Pemeriksa

Pada Sesi II, Direktorat Peraturan Perpajakan II yang diwakili oleh Kepala Sub Direktorat Bantuan Hukum, Kepala Seksi Bantuan Hukum I dan Kepala Seksi Bantuan Hukum IV memberi pembekalan tentang aspek hukum pemeriksaan pajak.

Pemeriksaan pajak seyogyanya dilakukan dengan itikad baik serta sesuai prosedur, baik terkait dengan tata cara pemeriksaan, kewenangan dan kewajiban Pemeriksa, maupun hak dan kewajiban Wajib Pajak. Konsekuensi hukum hasil pemeriksaan dapat berpotensi terjadi pada penerbitan STP, penagihan pajak, upaya hukum yang dilakukan Wajib Pajak, pengujian baik oleh internal maupun eksternal auditor, serta pemeriksaan oleh aparat hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan KPK. Proses hukum terkait dengan tuduhan tindak pidana perpajakan memakan waktu yang sangat lama dan cukup melelahkan, meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, putusan, banding, kasasi dan peninjauan kembali.

Terdapat beberapa pasal dalam KUHP yang mengatur mengenai perlindungan hukum bagi pemeriksa, yaitu :

Pasal 50
Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana.

Pasal 51
(1) Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
(2) Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.

Kepala Sub Direktorat Bantuan Hukum mengingatkan kepada semua Pemeriksa untuk tidak segan-segan meminta bantuan hukum kepada Direktorat Peraturan Perpajakan II apabila berhadapan dengan kasus hukum, dalam hal Pemeriksa yakin bahwa telah melakukan kegiatan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.

Kebijakan Pemeriksaan

Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan yang diwakili oleh Kepala Seksi Perencanaan Pemeriksaan Wajib Pajak Badan dan Kepala Seksi Teknik Pemeriksaan memberikan pembekalan tentang Kebijakan Pemeriksaan pada Sesi III.

Pembekalan yang diberikan oleh Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan adalah pertama, kebijakan pemeriksaan. Uraian kebijakan pemeriksaan terdiri atas model kepatuhan, strategi pemeriksaan, risk based audit, target pemeriksaan UP2, mapping LP2, dan fokus pemeriksaan. Kedua, diuraikan juga ketentuan pemeriksaan terbaru sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-19/PJ/2008 dan PER-20/PJ/2008 tanggal 2 Mei 2008. Ketiga, prosedur penghentian pemeriksaan sehubungan dengan sunset policy. Dan terakhir, faktor pendukung kegiatan pemeriksaan seperti Sistem Informasi Manajemen Pemeriksaan Pajak (SIMPP).

Peran Pemeriksa dalam risk based audit adalah (1) analisis risiko yang dibuat oleh Account Representative atau Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi merupakan pre-condition yang harus ditandingkan dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Pemeriksa, (2) hasil pemeriksaan harus dapat menjawab indikasi ketidakpatuhan Wajib Pajak yang menjadi risiko penyebab dilakukannya risk-based audit. Pemeriksa juga diingatkan terhadap adanya format Nota Perhitungan baru sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ./2008 dengan penambahan kolom “Pembahasan Akhir (Disetujui)”.

Kebijakan Pemeriksaan Bukti Permulaan

Sesuai dengan Pasal 43A UU KUP 2007, pemeriksaan bukti permulaan tidak lagi menjadi ranah pemeriksaan tetapi ranah penyidikan. Namun demikian ketentuan pelaksanaan UU KUP yang terakhir masih berupa Peraturan Menteri Keuangan nomor 202/PMK.03/2007, sedangkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak dan aturan pelaksanaan lainnya masih dalam proses penyusunan.

Dalam Sesi IV, Direktorat Intelijen dan Penyidikan yang diwakili oleh Kepala Seksi Bukti Permulaan II menguraikan tentang kebijakan pemeriksaan bukti permulaan serta konsep Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Materi pembekalan secara rinci meliputi tata cara pemeriksaan bukti permulaan, SPT lebih bayar yang ditindaklanjuti dengan pemeriksaan bukti permulaan, sunset policy sesuai Pasal 37A UU KUP, alpa pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A UU KUP, kinerja tindak lanjut pemeriksaan bukti permulaan, serta konsep Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Ketentuan terbaru yang akan diatur sesuai dengan konsep Peraturan Direktur Jenderal Pajak antara lain kewajiban membuat Laporan Kemajuan, serta pembentukan Tim Penalaah di Kantor Wilayah minimal terdiri dari 3 Kepala Bidang yang salah satunya adalah Kepala Bidang P4.

Penutup

Setelah dilakukan internalisasi kode etik serta pembekalan kepada para Pemeriksa di lingkungan Kantor Wilayah DJP Banten diharapkan Pemeriksa menjadi lebih aware terhadap reformasi birokrasi yang saat ini sedang dilakukan secara serentak oleh Departemen Keuangan di semua Direktorat. Pemeriksa juga diharapkan mampu mengubah citra sebagai Fiskus yang professional sebagaimana dimimpikan oleh banyak pihak.

Dengan mengacu kepada prinsip-prinsip good governance (Gunter Felber, 2003) reformasi adminsitrasi perpajakan dengan tetap mengedepankan tujuan pemenuhan penerimaan negara dan mendorong tingkat kepatuhan sukarela, harus mengarah ke hal-hal berikut : (1) Adanya partisipasi masyarakat yang tertib sosial karena pajak pada hakikatnya dari masyarakat, oleh masyarakat, dan pada akhirnya juga untuk masyarakat (2) adanya landasan dan kepastian hukum (rule of law) pengenaan, pemungutan dan penarikan pajak, (3) adanya semangat trasparansi baik dari administrasi perpajakan, masyarakat pembayar pajak maupun para pihak yang terakit dengan sistem perpajakan, (4) semangat responsiveness, yaitu peka dan fleksibel terhadap perubahan sosial, politik, hukum, ekonomi dan kebutuhan publik, (5) keadilan (equity) dalam sistem perpajakan, (6) adanya visi strategik dari administrator pajak, (7) prinsip efektivitas dan efisiensi, di mana adminsitrasi dipandang sebagai fungsi, sistem dan institusi, (8) adanya profesionalisme dalam pelaksanaan proses pemajakan, (9) adanya semangat (budaya) akuntabilitas, di mana setiap kegiatan (pemungutan dan pembelanjaan uang pajak) dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, dan (10) adanya supervisi yang sehat.

Akhirnya, pajak adalah masalah kita semua dalam berbangsa dan bernegara, sehingga reformasi administrasi perpajakan merupakan bagian dari pembaharuan tata kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, tidak mudah mencapai keberhasilan tanpa dukungan konstruktif dari semua kelompok masyarakat tanpa terkecuali.

09 Juli 2008

Perlukan Pakta Integritas?

Oleh : Muhammad Na'im Amali

Pendahuluan

Pakta Integritas menurut situs Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (www.menpan.go.id) adalah pernyataan atau janji tentang komitmen untuk melaksanakan segala tugas dan tanggung jawab sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pakta Integritas merupakan sistem ekstra yudisial – di luar hukum – namun masih dalam kerangka hukum yang berlaku, baik peraturan pemerintah maupun Undang-undang Antikorupsi. Pakta Integritas diberlakukan untuk mencegah terjadinya korupsi di jajaran birokrasi yang meliputi korupsi administrasi, korupsi dalam pengadaan barang dan jasa publik dan sebagainya.


Perlukah Pakta Integritas?

Menurut Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, korupsi tidak sepenuhnya dapat dipantau, namun dapat dikontrol melalui kombinasi etika perilaku, dan tindakan hukum yang tegas. Dalam kaitan tersebut, Pakta Integritas menjadi alat kontrol dengan menekankan asas-asas antara lain (1) tidak memikirkan diri sendiri, (2) integritas yang tinggi, (3) objektivitas, (4) akuntabilitas, (5) keterbukaan, (6) kejujuran, dan (6) kepemimpinan.

Penerapan Pakta Integritas di institusi publik diperlukan untuk memastikan bahwa semua kegiatan dan keputusan di institusi dimaksud dilakukan secara transparan. Dalam hal ini semua proyek atau pekerjaan yang dilaksanakan, jasa yang diberikan atau diterima, serta barang atau material dipasok ke institusi oleh vendor tanpa adanya manfaat atau tambahan keuntungan finansial dalam bentuk apapun di luar yang ditetapkan secara hukum.

Dengan Pakta Integritas, keputusan-keputusan yang diambil oleh para pejabat tidak dipengaruhi oleh berbagai kepentingan pihak-pihak di luar institusi. Beberapa elemen dan karakteristik dari Pakta Integritas adalah adanya proses pengambilan keputusan yang dibuat sederhana dan transparan. Dalam hal ini pernyataan atau janji dari pejabat dan karyawan yang ditandatangani, baik secara individu maupun bersama-sama dengan pihak lain dalam bentuk Pakta Integritas.


Apa Bedanya dengan Surat Pernyataan Kode Etik?

Sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-34/PJ./2007 tanggal 23 Juli 2007, Surat Pernyataan Bersedia Mematuhi Kode Etik Pegawai DJP memuat tentang pernyataan telah membaca, memahami dan bersedia mematuhi kode etik; terikat pada ketentuan kode etik; dan menyadari pengenaan sanksi apabila melanggar kode etik.

Sedangkan menurut Peraturan Menteri Keuangan RI nomor 1/PM.3/2007 tanggal 23 Juli 2003 disebutkan bahwa Kode Etik berisi kewajiban dan larangan Pegawai dalam menjalankan tugasnya serta dalam pergaulan hidup sehari-hari. Kode etik pegawai DJP disusun dengan tujuan (1) meningkatkan disiplin Pegawai, (2) menjamin terpeliharanya tata tertib; (3) menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan iklim kerja yang kondusif; (4) menciptakan dan memelihara kondisi kerja serta perilaku yang profesional; dan (5) meningkatkan citra dan kinerja Pegawai.

Jadi pada dasarnya muatan Surat Pernyataan Bersedia Mematuhi Kode Etik Pegawai hampir serupa tetapi tidak sama dengan Pakta Integritas. Yang jadi pertanyaan kemudian adalah, masih perlukah Pakta Integritas untuk Pegawai DJP? Apabila memang diperlukan, adakah dasar hukum yang mengaturnya sehingga memiliki kekuatan hukum yang dijamin oleh ketentuan.


Best Practice di Beberapa Negara dan Institusi

Isi Pakta Integritas pada umumnya memuat tentang mekanisme untuk pengaduan atas pelanggaran Pakta Integritas; pihak pemantau independen atas pelaksanaan Pakta Integritas; mekanisme insentif dan disinsentif; mekanisme penyelesaian konflik yang cepat, murah serta efisien; juga perlindungan bagi saksi pelapor. Namun demikian, isi Pakta Integritas dalam beberapa Negara dan instansi dapat berbeda-beda disesuaikan dengan kebutukan.

Negara-negara yang telah melaksanakan Pakta Integritas antara lain Meksiko, Jerman, Venezuela, India, Inggris, Brasil, Bosnia, Republik Ceko, Pakistan, Latvia, Hongkong, Malaysia, Korea Selatan dan Philipina. Bagaimana dengan Indonesia?

Dari dalam negeri, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara boleh jadi merupakan pelopor dalam menerapkan Pakta Integritas dibandingkan dengan institusi lainnya. Kepeloporan ini ditandai dengan penandatanganan Pakta Integritas yang dilakukan oleh Menteri, Taufiq Efendi, dan para pejabat terasnya. Sebut saja Deputi Bidang Pengawasan – Gunawan Hadisusilo, Asisten Deputi Pemantauan dan Evaluasi Pemberantasan Korupsi – Lukman Sukarma, dan Direktur Eksekutif Indonesia Procurement Watch – Budihardjo Hardjowijono.

Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan juga telah menerapkan Pakta Integritas dalam setiap penugasan pemeriksaan terhadap beberapa Direktorat di lingkungan Departemen Keuangan. Pakta Integritas yang dibuat memuat antara lain kewajiban dan larangan yang harus dipatuhi baik oleh Tim Pemeriksa maupun Unit yang diperiksa, mekanisme pengaduan kepada atasan langsung, pengenaan sanksi, serta komitmen untuk melakukan kerjasama dan koordinasi. Pakta Integritas ditandatangani oleh Ketua Tim Pemeriksa dan Kepala unit yang diperiksa. Bagaimana dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP)?


Penerapan di Direktorat Jenderal Pajak

Dengan semakin pentingnya peran pajak bagi penerimaan Negara maka membuat masyarakat juga semakin kritis dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja aparatur pajak di Indonesia. Apalagi sejak peristiwa ditolaknya yudicial review Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Pasal 34 UU KUP oleh Mahkamah Konstitusi diliput secara luas oleh media cetak dan elektronik. Inilah yang menjadi salah satu alasan beberapa kepala unit vertikal di Direktorat Jenderal Pajak yang kemudian menerapkan Pakta Integritas bagi seluruh pegawainya. Disisi lain, pegawai juga diwajibkan menandatangani Surat Pernyataan Bersedia Mematuhi Kode Etik Pegawai DJP. Perbedaan keduanya terletak pada materi surat dan frekuensi penandatanganan. Surat Pernyataan Bersedia Mematuhi Kode Etik Pegawai DJP ditandangani sekali setiap menempati jabatan atau kedudukan di kantor terbaru untuk semua jenis pekerjaan yang menjadi tanggung jawab pegawai yang bersangkutan. Sedangkan Pakta Integritas ditandatangani untuk setiap jenis pekerjaan, seperti penerbitan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2), Surat Keterangan Bebas (SKB), Surat Keterangan Fiskal (SKF), proses pengembalian kelebihan pembayaran pajak, dan sebagainya.

Dalam Acara Pembekalan terhadap semua Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak di Lingkungan Kantor Wilayah DJP Banten pada hari Selasa tanggal 8 Juli 2008, Kepala Sub Direktorat Investigasi Internal, Direktorat Transformasi Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (Kitsda) dengan tegas menyatakan bahwa Pakta Integritas tidak diatur dalam ketentuan. Perlu tidaknya Pakta Integritas dapat disesuaikan dengan kondisi masing-masing unit vertikal. Pada dasarnya Surat Pernyataan Bersedia Mematuhi Kode Etik Pegawai DJP sudah lebih dari cukup untuk menjaga attitude pegawai. Justru yang lebih penting adalah upaya untuk meningkatkan pemahaman dan pengamalan ajaran agama. Jawaban ini diberikan sebagai respon atas pertanyaan dari Kantor Wilayah DJP Banten yang telah menerapkan Pakta Integritas untuk setiap penerbitan SP2 bagi pejabat fungsional pemeriksa pajak di kantor tersebut.

Yang paling penting untuk dipahami adalah surat pernyataan maupun pakta tidak secara otomotis dapat menjamin attitude pegawai. Keduanya merupakan salah satu alat untuk mengatur atau mengarahkan agar attitude pegawai dapat sesuai dengan yang diharapkan.