Selamat Datang

Selamat membaca artikel yang kami sajikan.

18 Desember 2008

Bangkitlah Bangsaku


2004 saya jalan ke Brunei. Karena saya pikir dekat, saya cuma bawa 1 kantong plastik saja. Ternyata di perjalanan, bawaan saya bertambah. Begitu masuk bandara Brunei, saya berniat membli tas. saya tawarlah 1 tas di 1 toko. Setelah dikurskan ke rupiah, angkanya jd 4,2jt. saya terbelalak, dan setengah bercanda saya bilang bahwa di Indonesia, tas kayak gini palingan 300-400rb atau paling mahal 1jt dah. Eh, si penjaga toko memasang muka merendahkan gitu, dan bilang: "No no no... Bukan tas kami yang mahal, tapi you punya rupiah yang tak ada harga!".

Ya Allah, seperti ditampar rasanya muka saya. Segitunyakah rupiahku? Segitunya kah negeriku? Mata uangnya tak ada harga. Lalu, pegimana bangsanya? Bagaimana negerinya? Adakah martabatnya?

2008 ini entah yang keberapa kali saya mengadakan prjalanan keluar negeri. Sudah tidak saya hitung lg saking seringnya, he he he. Nikmat ini saya syukuri. Saya tringat, dulu saban saya dimandiin dan dipakaikan pakaian oleh ibu saya, ibu saya hampir selalu berdoa dg doa yang relatif sama. Ya, hampir selalu. Doanya biar saya, katanya, gampang bulak balik ke mekkah, seperti ke pasar. Terus biar bisa keliling dunia. Yusuf kecil saat itu, sempat pula bertanya sambil ketawa, masa iya ke mekkah segampang ke pasar? Lagian mana mungkin sih keliling dunia? Ibu saya menjawab, eeeehhhh... Allah Punya Kuasa. Kalo DIA mau, gampang buat DIA mah. Nabi Muhammad aja diterbangin isra mi'raj.

Ya itulah doa ibu saya. Alhamdulillah. Trnyata betul. Sekarang saya alami sendiri. Pergi haji buat saya pribadi udah benar-benar gampang. Alhamdulillah. Biar pintu pendaftaran dah ditutup, saya masih bisa pergi dengan undangan kerajaan punya, atau dengan cara-cara yang tahu-tahu saya udah di sana! Subhaanallaah memang. tapi saya ga aji mumpung. Waktu ibu saya, mertua dan rombongan keluarga ga dapat nomor haji, banyak orang dekat bilang, pake dong power ente. Ah, saya mah malah bilang, sabar ya bu. Sabar ya wahai keluargaku. Pergi haji mah urusan Allah. Ga usah dicari-cari. Kalo dah waktunya, ya waktunya.

Dan alhamdulillah, pergi ke luar negeri pun sekarang ini saya yang susah payah menolak undangannya. Masya Allah. And I speak not only in bahasa; but both in arabic and english as an international language.

Saya bersyukur dengan keadaan ini, tapi sekaligus ada yang membuat saya menjadi tertegun. Betapa "Jakarta" dah ga dianggap. Di hampir semua bandara internasional; baik asia, maupun non asia, nama "Jakarta" ga ada lagi di board penunjuk waktu. Yang ada: London, Paris, New York, dan kota-kota besar dunia. Bahkan ada nama Kuala Lumpur! Sedang Jakarta, yang mewakili satu nama besar: Indonesia, ga ada lagi di board tersebut.

Apa yang sedang terjadi dengan bangsa kita, kita semua tahu...

Setiap kali keluar kota dan keluar negeri, saya termasuk yang langka punya. Ga bawa duit, dan ga bawa kartu kredit. Bukan apa-apa, sebab biasanya saya dijemput langsung di pintu pesawat. Atau kalaupun tidak,
dijemput di setelah lolos imigrasi. Oleh para penjemput di kota-kota atau negeri-negeri orang, saya sudah ditanggung beres. Jadi, uang yang saya bawa, benar-benar ga laku, he he he. Pengertian ga laku ini, hanya
untuk menunjukkan ga terpakai. Sebab kalaupun saya bawa dollar, mereka-mereka menahan saya untuk bayar. Mereka saja yang berkhidmat.

Hingga satu waktu, saya jalan ke Singapore untuk keperluan pribadi. Berangkatlah saya sendiri, sebagaimana biasanya. Ya, saya senang berangkat sendirian. Sebab simple. Enteng. Ga banyak-banyak orang. Paling banter, berdua dg istri atau anak-anak. tapi ini pun jarang. Dan sampe di Singapore juga sendiri. Ga ada yang jemput. Sebab saya pun tidak mmberitahu kawan-kawan di sana. Sampe di Changi saya baru ingat, saya hanya bawa 2jt. Dan itu rupiah. Belum saya tukerin. Menjelang keluar bandara, saya laper, pengen cari cemilan dan kopi. Bergegaslah saya ke salah satu sudut, untuk beli yang saya maksud. Saya pikir, bisa
lah skalian nuker seperti kalo belanja di Bangkok, Thailand. Eh, ternyata saya salah. "Indonesia?", tanya pelayan toko. Ya, saya bilang. Indonesia. "Oh, sorry," katanya sambil muka nya ga enak gitu. "Your money didn't accepted here". Masya Allah! Lagi-lagi kayak ditampar saya ini. Uang rupiah ga diterima di sini.

Selanjutnya dia menunjukkan money changer di bandara. Saya mengurungkan niat saya untuk nyemil dan ngopi. tapi saya pura-pura mengiyakan akan menuju money changer. Dan subhaanallaah, kekagetan saya belom selesai. Si pelayan ini masih bersorry-sorry ria. Katanya, jagan kaget, rupiah rendah sekali katanya
nilai tukarnya. Waaah, entahlah apa yang ada di benak saya...

Bahkan pengemispun tidak menerima rupiahku! Ya, itulah yang saya alami.satir.Mirip komedi satir. Lucu, tapi getir.

Antara 2004-2005, dalam 1 lawatan ke Eropa. Saya dkk turun di Frankfurt, German. Dari sini perjalanan ke beberapa negara di Eropa, dimulai. Sekian waktu , sampe lah kami di Belanda. Ada salah satu kawan di rombongan yang mmberi tahu betapa Indonesia sudah tidak ada. "Hatta," katanya, "Di tempat pelacuran, ada pengumuman agar para pelacur tidak menerima mata-mata uang yang ditaroh di list. Salah satunya rupiah!". Kawan saya ini berkata geli. Saya pun ikut tertawa. Tapi ngebatin. Ada segitunya ya.

Dari Belanda, kami pergi ke Belgia dan kemudian ke Perancis. Naik kereta super cepatnya Eropa. Enak, nyaman, dan menyenangkan. Turun di stasiun Perancis, kami dicegat oleh 1 pengemis perempuan.

Cantik menurut ukuran saya mah. Sampe saya geleng2 kepala, kenapa dia mengemis. Kalo boleh saya bawa, mending saya bawa ke Jakarta, he he he. Trnyata dia mengaku Bosnia punya. Maksudnya, orang Bosnia. Sdg hamil pula. Entah bohong apa tidak. Salah satu kwn, memberinya rupiah. 200rb. Di Indonesia, 200rb ini bukan cuma besar. Tapi sangat besar. Niscaya kalo pengemis di tanah air diberi 200rb, akan sujud2 rasanya kpd yang mmberi. Dia pun saat itu trsenyum. Barangkali dia merasa kwn saya itu sdh mmberinya uang besar. Kwn saya pun senang melihat pengemis itu senang.

Lusanya, kami langsung balik ke Amsterdam, Belanda. Naik kereta lagi. Sampenya di stasiun, ketemu lagi dengan pengemis perempuan muda tersebut. Kali ini wajahnya bersungut-sungut. Dari kejauhan dia melihat
kami. Begitu melihat kami, dia langsung berlari menuju kami dengan wajah yang tiba-tiba kesal begitu. Terus, langsung menemui kawan saya yang tempo hari ngasih. Dengan kasarnya, uang 200rb itu dipulangin. Katanya, sambil marah, dia mengatakan, ini toilet paper! Gila, saya bilang, uang kita disebutnya kertas toilet. Dia bercerita sambil membuat kawan-kawan terbahak-bahak. Katanya, dia berusaha menukar uang kita itu, tapi ga ada yang nerima. Barangkali semua kawan sama dengan saya, di selipan tawa kami, ada satu kegetiran, segitunyakah rupiah saya? Rupiah kita? Sampe pengemis saja ga menerimanya? Masya Allah. Bangkitlah wahai negeriku. Bangkitlah wahai negeriku.

Hampir di setiap events internasional, perhatian kita (untuk saya tidak mengatakan perhatian pemerintah), sangat-sangat kurang. Terbilang lumayan sering anak-anak Indonesia berprestasi memenangkan kompetisi-kompetisi internasional semacam olimpiade fisika, matematika, sains, bahasa dan lain-lain. Tapi sepi benar dari pemberitaan. Berita-berita buat bangsa kita tidak lagi ada, atau sedikit, yang mmbuat kita sendiri bangga. Barangkali seperti tulisan saya ini, he he he. Maaf ya. Tapi emang kenyataannya begini.

Saya pernah membaca ada seorang yang sangat pintar di negeri orang. Tapi katanya dia ga merasa dihargai di negeri sendiri. Akhirnya hasil penemuannya dipatenkan di negeri di mana dia belajar dan mengabdi, dan kemudian dia mendapatkan permanen residence dari negeri tsb.

Sekelompok kawan TKI di salah satu negara tujuan TKW, mengeluhkan juga tentang "perwakilan" mereka di negeri itu. Katanya, kita punya gedung sekian belas lantai. Tapi nothing buat kita! Begitu katanya. Wuah,
miris juga saya dengar. Lihat terusan kalimatnya. "Sedangkan Philipina, hanya 2 lantai, itu pun ngontrak, tapi bangsanya bangga dengan kerja perwakilannya. Puas". Sedangkan kita, benar-benar payah. Kalau kita
lapor (maksudnya itu TKW2), kita ga diperlakukan dg ramah. Malah jadi kayak jongos benar-benar. Mereka kemudian cerita, bangsa aslinya sendiri, ketika mereka datang mau mengadu, mereka duluan yang menyapa: What can I do for you...?". Ramah bener.

Yah, itu barangkali sekelumit hal-hal yang tidak menyenangkan. Tapi saya percaya, negeri kita masih diperhitungkan di dunia ini. Benarkah?

Siapa yang tidak bangga dengan Garuda? Maskapai Penerbangan Nasional yang menginternasional. Bangga. Sejarah Garuda demikian mengagumkan. Hingga ketika diri ini yang bangga dengannya menerima satu kenyataan. Kata seorang petinggi wilayah ketika saya menginap di kediamannya di Amstelvein, Belanda, Garuda tidak lama lagi tutup. Bukannya ga boleh terbang loh. Tapi tutup. Sebab tidak laku atau gimana lah. Ga ngerti. Beberapa tahun setelahnya, saya dikagetkan lagi dengan berita bahwa Garuda tidak diperkenankan melewati Eropa karena satu dua alasan. Bahkan di wilayah saudi pun bermasalah. Entahlah apa yang sedang
terjadi. Saat tulisan ini dimuat, Garuda sudah berhasil melewati masa-masa sulit itu. Bahkan Garuda sudah menangguk keuntungan dari yang tadinya merugi. Dan Garuda pun menerima penghargaan internasional.
Namun, ketika ada berita bahwa Garuda tutup dan Garuda dilarang terbang, rasanya teriris-iris hati ini. Tarbayang Garudaku yang gagah, yang jadi perlambang negeri ini, harus "menerima perlakuan" tidak
hormat seperti itu. Terbanglah lagi Garudaku. Mengangsalah ke seluruh penjuru dunia. Supaya dunia tahu betapa gagahnya lambang negaraku.

Saya tersenyum kecut dengan dua berita yang turun dengan rentang waktu yang tidak berapa lama. Yaitu berita tentang petinggi kita yang kamarnya digeledah ketika berada di negeri orang. Dan yang satunya lagi, ketika diperiksa berlama-lama di imigrasi satu airport internasional. Lepas dari kenapa dan bagaimananya kisah di balik dua berita itu, bagi saya ya sekali2 memang petinggi kita kudu merasakan. Merasakan apa? Merasakan jadi warganya. Tidak jarang kami-kami juga diperlakukan demikian. Seenaknya saja mereka masuk kamar hotel kami dan memeriksa kami dengan satu alasan sederhana saja: Kami harus memeriksa
Anda! Begitu saja. Ga ada penjelasan.

Di Australia, berapa kali saya harus melewati pemeriksaan yang - hingga - ikat pinggang saya pun hrs ditaroh di pemeriksaan. Tas-tas saya pun hrs dibuka dan cenderung bahasa seharusnya: diobrak-abrik. Lagi-lagi alasannya sederhana: Kami harus memeriksa Anda. Satu yang menyakitkan, mereka melihat wajah saya: Asia. Asia harus diperiksa. Lalu ditanyalah saya, darimana? Saya jawab dengan gagahnya: Indonesia. Eh tanpa dinyana, petugas membuka lembaran petunjuk, dia urut dengan jarinya, ketemu! Ya, katanya, Indonesia harus diperiksa. Ooo, rupanya dilembar cek-list itu, nama Indonesia masuk daftar negara yang orang-orangnya harus diperiksa. Subhaanallaah. Geram juga saya. Nanti, kata saya, kalau saya udah jadi
Presiden, saya gituan dah dunia, he he he. Untunglah saya jauh jadi presiden. Kalo iya, udah perang terus kali bawaannya, ha ha ha. Perang urat syaraf. Betapa tidak, Bali saya periksa ketat seperti mereka memeriksa kita. Kamar-kamar mereka, tak geledah di sembarang waktu. Dan saya instruksikan supaya mata uang yang dipakai, hanya rupiah. Tak bikin peraturan, dolar dan lain-lainnya, kecuali real barangkali karena negeri dengan mekkah dan madinah, he he he, ga boleh masuk ke Indonesia. Mereka sudah harus nuker di negaranya masing-masing. Bakal dimusuhin sih, tapi biar saja. Wong presidennya kan saya, ha ha ha. Negara juga negara saya. Kalo ga suka, ya jangan masuk negara saya. Cuma, saya akan bikin dunia juga jadi perlu sama saya, jadi perlu sama Indonesia. Sehingga pasti mereka akan susah payah nurut, seperti hebatnya kita diam dan nurut diperlakukan oleh mereka!

Oleh: Ust. Yusuf Mansur

Permanent Resident Jatuh Miskin Karena Pajak?


Menanggapi milis yang beredar mengenai ”kejam”nya pajak dan orang pajak Indonesia, saya mencoba berhitung apakah ”claim” tersebut benar.

Untuk kepentingan ini, saya menjadikan acuan Australia sebagai benchmark terhadap Singapore. Ada dua alasan penting kenapa saya memilih Autralia. Yang pertama adalah saya ”blank” dengan sistem perpajakan di Singapore dan lebih familiar dengan praktek perpajakan di Australia. Alasan yang kedua adalah, saya pribadi memandang bahwa secara ekonomi, Australia dan Singapore adalah ”sejenis”. Asumsi data-data ekonomi dan ketenagakerjaan saya ambil berdasarkan pengalaman dan pengamatan selama hidup di Kota Canberra, Australia.

Sebelum menghitung, apakah dengan membayar pajak di Indonesia dengan PTKP yang sangat rendah, Permanent Resident yang kerja di LN akan bangkrut, terlebih dahulu akan saya terangkan beberapa ”term” dan asumsi yang mungkin perlu dipahami.
Berbeda dengan Indonesia yang hanya mengenal WNI dan WNA, di negara-negara Maju dan OECD dikenal yang namanya Permanet Residen (PR) dan citizen. Perbedaan kedua jenis kependudukan tersebut terletak pada hak dan kewajiban yang diperoleh. WNI Pemegang PR Australia misalnya masih berstatus WNI dan memegang paspor Indonesia, namun dia tidak perlu mengurus atau memperpanjang Visa ketika ke Australia. Sedangkan citizen Australi berarti orang tersebut sepenuhnya menjadi warga negara dan pemegang paspor Australia. Konsekwensinya jika ada masalah di Australia pemegang PR masih ”diurusi” oleh KBRI kita, sementara citizen sepenuhnya urusan DN Australia.

Kemudian, untuk simplenya, kita berasumsi bahwa PR ini adalah bujangan. Dan dia bekerja di “kasta” non profesional. Sebagai contoh ádalah clearing service. Sebagai info di sana untuk profesional seperti akuntan , dokter atau bahkan lawyer dibayar sangat “muahallll”. Sebagai contoh, jika kita menyewa Layer untuk kasus perdata, tarif “sewa” nya bisa AUS $ 400 per jam.

Di Canberra, rata-rata bayaran untuk cleaning service adalah $ 15 per jam (di Weekend bisa 1.5 atau 2 x lipatnya). Kita asumsikan bahwa rata-rata seseorang bekerja selama 8 jam per hari dan 25 hari per bulan. Dengan demikian, sebulan seorang bujangan tanpa keahlian bisa mendapatkan 15 x 8 x 25 atau AUS $ 3000 per bulan. Dengan kata lain, dia mendapatkan penghasilan $ 36.000 per tahun. Asumsikan secara sederhana bahwa pengurang penghasiln bruto adalah sebsar 5 % atau $ 1.800 dan PTKP adalah $ 6.000. dengan demukian Ph Netto adalah $ 28.200. asumsikan lagi bahwa tarifnya adalah 10 %. Pajak yang dibayar adalah $ 2.820. sehingga dia dapat net income sebesar $ 25.380 per tahun. Jika rata-rata biaya hidup minimal adalah $ 1.500 per bulan atau $ 18.000 per tahun, maka dia bisa net saving sebesar $ 7.380 per tahun. Dengan kurs AUS $ 1 = Rp 7.500,- maka saving dia setahun sebesar Rp. 55.350.000,-

Sekarang kita hitung, berapa pajak yang harus dia bayar berdasarkan hukum PPh di Indonesia, jika diasumsikan dia tidak memiliki pendapatan lain baik dari Indonesia maupun di LN lainnya. Hasil meng”cleaning service” di LN bila di kurskan adalah sebesar Rp 270.000.000,- per tahun. Dengan biaya jabatan sebesar Rp 1.296.000 dan PTKP 2009 adalah Rp 15.840.000,- maka penghasilan kena pajak adalah sebesar Rp 252.864.000. Dengan tarif PPh tahun 2009, PPh terutang adalah sebesar Rp 33.216.000. dengan hak kredit PPh pasal 24 sebesar Rp 21.150.000,- maka dia hanya perlu membayar PPh di Indonesia sebesar Rp 12.066.000,-. Jadi kalo net saving dia sebelum kena pajak di Indonesia adalah sebesar Rp 55.350.000,-, maka setelah bayar pajak di Indonesia dia masih punya tabungan sebesar Rp 43.284.000,- setahun. Jadi seorang cleaning service aja masih bisa nabung sebesar 40 jutaan rupiah.

Dengan demikian, benarkah claim bahwa mereka akan jatuh miskin hanya karena bayar pajak di Indonesia?? Silahkan anda menjawabnya sendiri.

Mengenai kritik tentang PTKP yang teramat kecil di Indonesia, mungkin benar, jika mereka “compare” biaya hidup di Singapore. Tapi jika kita melihat di Australia, PTKP untuk bujangan adalah $ 6000 setahun sementara biaya hidup minimal setahun adalah $ 1.500 per bulan atau $ 18.000 per tahun. Dengan demikian kenapa mereka sangat cerewet jika berkaitan dengan kewajiban mereka terhadap negara Indonesia, namun tidak pernah berpikir betapa “ketidakadilan” juga kadang terjadi di negara lain. kenapa mereka protes bahkan memaki-maki negara kita, hanya karena “diminta” “sumbangan” pajak sebesar Rp 12 jutaan per tahun, sementara di saat yang sama dia “menyumbang” pajak ke negara asing sebesar Rp 21 jutaan. Bahkan jika tarif pajak di LN lebih tinggi dari Indonesia, maka mereka tak akan membayar se sen pun ke Indonesia?? Ok-lah jika mereka beralasan bahwa pantas mereka membayar pajak di negara asing karena mereka menikmati fasilitas di negara tersebut? Tapi lupakah mereka bahwa mungkin Anak mereka, Istri mereka, Saudara, atau orang tua mereka menikmati Jalan, Sekolah, jembatan, dan fasilitas lain di Indonesia? Dan lupakah mereka bahwa fasilitas tersebut di bangun dari pajak??

Kemudian menyangkut “ancaman” untuk hengkang di Indonesia, dengan teramat sedih saya katakan bahwa saya pribadi mempersilahkan mereka yang memandang “jijik” negara tercinta ini untuk meninggalkan dan menjadi warga negara lain. karena di jaman sekarang itu adalah termasuk “Hak Asasi Manusia” yang dihargai. Karena bagi saya pribadi, saya sangat respek jika orang pergi dari negeri ini jika alasannya adalah idealisme dan keyakinan baik politik maupun agama.

Namun, jika orang hengkang hanya karena masalah “uang”, hal ini hanya mengungkit luka lama mengingat kisah para perampok BLBI yang lari ke negara tetangga. Mungkin masih segar dalam ingatan kita, bagaimana uang ratusan triliun rupiah di ambil dan kemudian dengan pongahnya mereka lari ke negara lain. uang BLBI yang dijarah tersebut mengakibatkan negara terpaksa mengeluarkan biaya rekapitulasi perbankan. Dan hal tersebut dibebankan oleh APBN. Dan ironisnya beban bunga dan rekap tersebut diambil dari dana PAJAK yang sekarang mereka hujat.

Bagi saya pribadi, negara Indonesia tidak akan runtuh hanya karena “orang-orang yang MERASA pinter” lari ke negara lain untuk menghindari pajak. Dan bangsa Indonesia tidak akan tenggelam hanya karena di urus oleh kita-kita yang di CAP BODOH oleh mereka.

Mungkin benar bahwa negara kita belum sempurna. Mungkin benar juga bahwa pemerintah kadang abai terhadap kewajibannya. Tapi bukankah hal tersebut juga menimpa masyarakat Indonesia lainnya yang hidup di Indonesia? Lupakah kita, bahwa itu semua memerlukan pengorbanan dan cinta kita bersama untuk memperbaikinya???

Oleh: Dul Arief