Selamat Datang

Selamat membaca artikel yang kami sajikan.

07 Mei 2008

Disorientasi Kebijakan Ekonomi

Filsuf Inggris GE Moore dalam bukunya, Principia Ethica (1903), menjelaskan konsep kesalahan alamiah (naturalistic fallacy) yang kemudian lebih dikenal sebagai formal fallacy. Intinya menciptakan kesimpulan etis dari fakta alamiah. Tidaklah mengherankan jika saat ini muncul diskursus yang mencoba mengatakan kenaikan harga BBM di dalam negeri merupakan keharusan.

Terjadinya formal fallacy merupakan bukti bahwa bangsa Indonesia tengah masuk perangkap mazhab Mafia Berkeley yang mendorong pemerintah untuk menaikkan harga BBM domestik. Para penyokong Mafia Berkeley selalu mengatakan kenaikan harga BBM (baik yang versi kenaikan sebesar 10% hingga 15%, 10% hingga 30% ataupun 100%) dapat diterima masyarakat (ada pula yang menyarankan kenaikan yang lebih tinggi daripada itu) dan masih dapat ditanggung oleh rakyat. Lucunya, pendapat mereka tidak pernah didasarkan pada penelitian tentang hal tersebut, misalnya jika dinaikkan harganya, berapa persen penduduk miskin akan bertambah miskin? Berapa besar dampaknya terhadap inflasi? Apa yang menjadi argumentasi dari angka 10% hingga 15% dan kenapa tidak 3%? Apa dampaknya dengan daya saing perekonomian?

Perlu diingat bahwa situasi dunia saat ini berbeda dengan kondisi periode kenaikan harga BBM di masa lalu yang sekarang justru harga komoditas selain minyak juga meningkat secara deras. Intinya analisis dengan metodologi apa pun akan terjebak kepada analisis linear yang menyesatkan karena kondisinya tidak lagi cateris paribus. Tanpa didukung penelitian yang memadai, Tinkerbell effect yang diharapkan akan sulit tercapai. Sementara itu, Fed baru saja menurunkan tingkat suku bunga sebesar 25 bps menjadi 2% dan discount rate menjadi 2,5% untuk membentuk Tinkerbell effect.

Dengan demikian, harga Fed rate akan tetap diperkirakan sebesar 2% hingga akhir 2008 jika digunakan pasar futures, namun grafik yang terbentuk adalah seperti huruf U yang menuju akhir 2008 Fed rate akan sedikit melemah. Dengan demikian, apa yang diperkirakan oleh pasar futures dapat saja tidak terpenuhi. Artinya, kondisi huruf U untuk Fed rate pada 2008 ini belum tentu terpenuhi. Untuk itu, nilai tukar dolar diperkirakan terus melemah sehingga daya saing Amerika Serikat akan terus menguat sekaligus untuk mengoreksi kondisi global imbalances.

Konsekuensinya, harga minyak dan energi akan terus meroket sehingga juga akan meningkatkan harga-harga komoditas pangan lainnya. Bagi perekonomian Indonesia yang merupakan small open economy, orientasi kebijakan ekonomi haruslah mempertimbangkan faktor-faktor ini. Kesalahan dalam mempertimbangkan faktor-faktor ini akan menyebabkan disorientasi kebijakan ekonomi yang pada gilirannya akan menyebabkan alokasi sumber daya dan dana secara tidak efisien.

Dalam kondisi kenaikan harga minyak dunia yang bersifat exogeneous maka upaya kenaikan harga minyak domestik justru akan menyebabkan spiral inflation dan penurunan kapasitas ekonomi yang pada gilirannya memukul pertumbuhan ekonomi. Apalagi jika kenaikan harga BBM di dalam negeri justru meninggikan program-program subsidi jaringan sosial di bawah kendali Menko Kesra yang bersifat tunai maupun nontunai.

Program-program subsidi sebagai kompensasi kenaikan harga BBM belum memiliki kajian yang ilmiah dalam meningkatkan kesejahteraan para penduduk miskin di Indonesia, apalagi 2009 adalah tahun pemilu yang tentu sangat rawan dalam hal penyalahgunaan dana. Banyak bukti yang memperlihatkan program kompensasi kenaikan harga BBM bukan hanya salah sasaran tetapi juga bersifat top down yang bersifat helicopter drop (Milton Friedman). Padahal nilai program ini terus meningkat secara fantastis dari tahun ke tahun.

Program Nasional Pendampingan Mandiri (PNPM) yang besarnya sampai 30% dari setiap departemen dengan pimpinan Menko Kesra melibatkan verifikasi dari Bank Dunia, sementara konsultan verifikasinya Bank Dunia adalah kakak dari Menteri Keuangan Sri Mulyani dari Lembaga UKM FEUI. Bukan hanya itu HPP gabah hanya Rp2.300, sedangkan harga beras di pasar internasional mencapai Rp9.300 per kilogram, mengapa justru harga BBM yang dinaikkan dan bukan HPP gabah? Logikanya HPP gabah harus dinaikkan minimal menjadi Rp8.000 untuk menciptakan optimalitas bagi pembangunan perekonomian Indonesia.

Sementara itu, kenaikan harga BBM domestik berarti juga penurunan daya saing produk Indonesia terhadap produk-produk buatan Amerika Serikat karena penurunan nilai tukar dolar terhadap rata-rata mata uang dunia, penurunan cost capital akibat penurunan Fed rate dan semakin murahnya harga BBM alternatif di Amerika Serikat karena program subsidi biodisel. AS menerapkan subsidi BBM (melalui program biodisel) yang terbukti efektif untuk mendorong permintaan domestik sehingga pertumbuhan ekonomi kuartal pertama 2008 tidak negatif yaitu berada pada 0,6%.

Yang mengerikan adalah upaya kenaikan harga BBM domestik merupakan disinsentif bagi upaya peningkatan produksi minyak di Indonesia. Padahal jika produksi minyak dapat ditingkatkan, nilai subsidi yang dapat ditekan lebih besar ketimbang skenario kenaikan harga BBM apa pun. Dengan pendekatan Mafia Berkeley yang telah menciptakan budaya kenaikan harga BBM domestik semenjak zaman Orde Baru, hasilnya adalah munculnya korelasi penurunan produksi minyak di dalam negeri dengan kenaikan harga BBM domestik. Artinya, penurunan produksi minyak di dalam negeri akan semakin besar jika pemerintah terus menaikkan harga BBM di dalam negeri.

Dengan kata lain strategi yang akan diterapkan oleh pemerintah merupakan obat yang hanya mengobati gejala penyakit di dalam perekonomian Indonesia dan bukan penyakitnya itu sendiri. Jika harga minyak terus memperlihatkan kenaikan dalam minimal tiga tahun ke depan, tanpa kenaikan volume produksi minyak di dalam negeri akan menyebabkan harga BBM domestik terus mengalami peningkatan yang melebihi apa yang telah diekspektasikan oleh masyarakat dan pemerintah sendiri.

Tugas Menteri Pertambangan dan Energi untuk menaikkan lifting minyak menjadi mandul dengan kenaikan harga BBM domestik. Kondisi ini akan menimbulkan ketidakpastian (expectation gap) dalam proses berbisnis karena pemerintah dipastikan kehilangan kontrol dalam menghentikan kenaikan harga BBM domestik akibat produksi minyak domestik yang terus tertekan. Padahal, pemerintah telah meningkatkan harga BBM untuk sektor industri (dan juga pertamax). Artinya, cost push inflation sudah terjadi yang jika disertai pelemahan aggregate demand akibat BI rate yang tidak diturunkan dan pelemahan daya beli masyarakat akan menyebabkan demand led recession yang pada gilirannya mengancam stagflasi pada perekonomian Indonesia.

Jelas bahwa peningkatan harga BBM untuk masyarakat pada gilirannya semakin memukul daya beli masyarakat. Di sinilah terlihat ketidakkonsistenan kebijakan pemerintah dalam menghadapi ancaman resesi global yang seharusnya berupaya memompa permintaan domestik termasuk dengan mempertahankan subsidi BBM. Inflasi spiral yang ditimbulkan oleh kenaikan BBM pada gilirannya akan menyebabkan pelemahan nilai rupiah yang justru akan semakin membuat harga BBM dalam rupiah kembali semakin mahal.

Kondisi itu bagaikan lingkaran setan yang sulit dicari ujung pangkalnya. Lingkaran setan ini hanya dapat diputus jika harga minyak dunia kembali melemah atau nilai tukar rupiah kembali menguat terhadap dolar. Yang pertama tampaknya di luar kendali para perencana ekonomi di Indonesia karena harga minyak dunia bersifat exogenous, sedangkan yang kedua membutuhkan cadangan devisa yang kuat dengan cadangan devisa Indonesia saat ini justru relatif sangat rendah.

Peningkatan ekspor sangat sulit karena perekonomian dunia sedang melemah dan biaya produksi di Indonesia semakin tidak kompetitif dengan naiknya harga BBM. Seperti kata peraih hadiah Nobel Kahneman dengan prospect theory-nya yang akhirnya pilihan yang optimum tergantikan dengan pilihan dunia nyata sepanjang pengambil keputusan mengetahui secara pasti output, risiko, dan probabilitas masing-masing. Implikasinya, Indonesia akan semakin terbelit oleh lingkaran setan yang justru akan semakin membuat bangsa ini menghadapi pilihan-pilihan yang semakin berisiko yang berdampak pada semakin terdisorientasinya kebijakan-kebijakan pembangunan untuk kepentingan politik jangka pendek!

Achmad Deni Daruri, President Director Center for Banking Crisis
Media Indonesia
Selasa 6 Mei 2008

Tidak ada komentar: