Selamat Datang

Selamat membaca artikel yang kami sajikan.

07 Mei 2008

Kebangkitan yang Menghidupkan

Sekali berarti, setelah itu mati
(Chairil Anwar)

Menurut ilmuwan politik, Rizal Mallarangeng, Chairil Anwar tidak berbicara tentang kematian. Dengan kalimat tersebut, ia justru bicara tentang kehidupan, tentang esensi membangun, mencipta. Chairil Anwar memang mati muda, namun semangatnya tetap hidup sepanjang masa.

Dalam kehidupan sehari-hari, terutama di negeri ini, kita terlampau sering mendengar seseorang berujar, 'berani mati' untuk sebuah kehidupan. Kita juga sering menyaksikan orang-orang bersiaga dalam pasukan 'berani mati' untuk sebuah harapan. Ujaran dan pasukan itu tidak salah secara gramatika, tapi kurang tepat digunakan sebagai pemacu semangat. Kalau kita mau mati, lantas buat siapakah kehidupan ini? Untuk itu, sebaiknya berjuanglah untuk hidup, jangan berjuang untuk mati.

Pada saat Dr Soetomo dan kawan-kawan mendirikan Boedi Oetomo satu abad silam, tujuan utamanya mempercepat proses kemerdekaan, dengan cara mempersatukan kekuatan yang masih tercerai berai akibat kekuasaan kolonial yang menerapkan politik divide it impera. Di sinilah, semangat nasionalisme tak hanya dihidupkan, tapi juga dimanifestasikan.

Manifestasi nasionalisme dalam konteks kekinian adalah bagaimana membangkitkan semangat untuk hidup, yang meskipun hanya sekali, tapi berarti. Berarti bagi semua (bagi dirinya, keluarga, masyarakat, dan negara). Itulah hidup yang, menurut Erich Fromm, penuh harapan. Harapan kita perlukan karena ia merupakan unsur yang sangat penting dalam setiap upaya perubahan sosial agar menjadi lebih hidup, lebih sadar, dan lebih berakal (Fromm, 1996:7).

Dalam konteks itulah makna kebangkitan yang menghidupkan itu. Kebangkitan yang membawa bangsa ini menuju peradaban yang lebih baik, lebih bermakna bagi kehidupan bersama, dan untuk masa depan anak-anak kita. Tapi, perlu segera digarisbawahi, kehidupan semacam ini tidak akan datang sendiri secara taken for granted. Ia harus diperjuangkan, dengan cara-cara yang sesuai dengan semangat yang menghidupkan.

Pertama, dengan memupuk rasa saling percaya. Kedengarannya sederhana, tapi justru itulah persoalan besar yang dihadapi bangsa ini. Membangun bangsa pada dasarnya adalah membangun kebersamaan. Bangsa besar ini lahir karena adanya kebersamaan. Kita tak bisa membayangkan jika, misalnya, orang-orang Sunda ingin mendirikan negara sendiri, begitu juga orang-orang Jawa, Minangkabau, Batak, Melayu, Madura, Dayak, Badui, dan lain-lain, tentu Nusantara ini akan terdiri dari beberapa negara.

Tapi rasa kebersamaan itu sekarang rasanya kian terkikis. Kita berjalan, tidak hanya secara sektoral, tapi lebih sempit dari itu malah secara individual. Di negeri ini, setidaknya pada saat ini, begitu sulit membangun rasa saling percaya. Di ranah ekonomi, politik, bahkan agama. Bayangkan, dalam satu komunitas agama, rasa saling percaya itu pun sudah luntur. Maunya menang sendiri. Kebenaran ingin dimonopoli. Seolah-olah surga itu hanya milik golongan tertentu, dengan ciri-ciri tertentu.

Kita tidak tengah membenci pilihan-pilihan individual. Setiap individu punya hak untuk mempertahankan keyakinan yang dianutnya, bahkan untuk memperjuangkan kebebasan yang diinginkannya, tapi bukan berarti kita harus mengorbankan kebersamaan. Karena setiap individu pada dasarnya menjadi bagian dari individu yang lain. Kita tak bisa hidup sendirian. Karena itulah kita butuh negara, butuh birokrasi, butuh organisasi. Suatu kebersamaan yang diatur dalam kontrak sosial, dengan dilandasi 'lagi-lagi' rasa saling percaya. Tanpa ada rasa saling percaya, baik negara, birokrasi, organisasi, atau apa pun namanya, hanya akan menjadi bangunan tua yang dihuni manusia-manusia yang saling memangsa (homo homini lupus).

Kedua, dengan berpikir positif. Menurut para psikolog, buruk sangka akan melahirkan energi negatif bagi lingkungannya. Orang yang selalu curiga, akan sulit mencapai harapan yang diimpikannya. Sebaliknya, orang-orang yang selalu berpikir positif akan lebih mudah mencapai apa yang dicita-citakannya.

Karena, menurut Rhonda Byrne--penulis buku best seller, The Secret--nasib manusia ditentukan frekuensi pemikirannya. Jika pemikirannya berada pada frekuensi yang negatif, ia akan lebih banyak dihinggapi hal-hal yang buruk. Sebaliknya jika berada pada frekuensi yang positif, segala kebaikan akan menyertai kehidupannya.

Hidup ini pada dasarnya hanyalah pertarungan antara dua cara berpikir, positif atau negatif. Mengapa negeri ini begitu sulit bangkit dari keterpurukan? Dengan formula Byrne, kita sudah mafhum. Barangkali, karena yang menghuni negeri ini mayoritas orang-orang yang berpikir negatif.

Ketiga, dengan memupuk optimisme. Seperti pikiran negatif, pesimisme bisa menular. Oleh karenanya, optimislah. Jangan biarkan pesimisme menggerogoti kehidupan kita. Boleh percaya boleh tidak, hanya dengan optimisme, harapan hidup orang miskin lebih baik daripada harapan hidup orang kaya tapi pesimistis. Maka, pandanglah dunia dengan penuh optimisme, untuk mendapatkan kehidupan yang lebih berarti dan bermanfaat.

Hanya dengan ketiga cara itu, rasa saling percaya, berpikir positif, dan optimisme, tentu ada harapan besar bagi kebangkitan bangsa ini. Suatu kebangkitan yang menumbuhkan asa dan cita-cita akan hadirnya masa depan yang memberi ruang bagi anak-anak kita untuk hidup dalam suasana ceria, seraya menatap langit, memandang cakrawala.

Jeffrie Geovanie, Intelektual Muda Partai Golkar
Media Indonesia
Selasa, 06 Mei 2008 07:45 WIB

Tidak ada komentar: