Selamat Datang

Selamat membaca artikel yang kami sajikan.

05 Juni 2008

Hubungan Pemerintah Pusat - Daerah

Oleh : Muhammad Na’im Amali

Pendahuluan

Manajer Hubungan Eksternal Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng, Sabtu (31/5) di Jakarta, mengatakan, Pemda seringkali hanya dijadikan obyek atas kebijakan pemerintah pusat tanpa punya hak untuk menolak atau mengajukan aspirasi. Konstruksi hubungan antara pemerintah pusat sebagai yang utama dan Pemda menjadi pihak yang tersubordinasi.

“Kebijakan pemerintah pusat yang berubah-ubah juga sering membingungkan Pemda. Pemerintah pusat selalu menuntut Pemda berbuat yang terbaik, tetapi tuntutan Pemda kepada pemerintah pusat seringkali diabaikan,” lanjutnya. (Kompas, 3/6).


Supply vs Demand Side

Kesimpulan tersebut boleh jadi merupakan cerminan dari pelaksanaan desentralisasi yang dilakukan pemerintah pusat selama ini melalui perspektif supply side. Dengan kata lain desentralisasi seringkali lebih merupakan keinginan dan kebutuhan pemerintah pusat daripada memperhatikan apa yang seharusnya dimiliki dan menjadi kebutuhan daerah. Desentralisasi menjadi sesuatu yang given dan harus diterima oleh pemerintah daerah sekalipun bertentangan atau diluar kemampuan dan kemauan pemerintah daerah untuk melaksanakan kewenangan yang diberikan.

Perspektif supply side yang dilakukan pemerintah pusat berpotensi mengakibatkan, pertama, terjadinya kesenjangan kapasitas sistem pemerintahan dan masyarakat daerah . Apa yang dimiliki oleh daerah melalui desentralisasi pada dasarnya tidak mencerminkan kebutuhan dan kemampuan yang sesungguhnya di daerah. Desentralisasi hanya menjadi komoditas politik pemerintah pusat untuk mendapatkan dukungan politik dari pemerintah dan masyarakat daerah. Kedua, mengurangi motivasi masyarakat daerah untuk berpartisipasi. Desentralisasi lebih mencerminkan hubungan antara government (central) to government (local), telah menyebabkan lack of motivation bagi masyarakat daerah. Desentralisasi seringkali dimaknai sebagai penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada Pemda sehingga otonomi daerah diartikan sebagai otonomi Pemda. Makna sempit ini tidak memberikan ruang kepada masyarakat daerah untuk menjadi aktor dalam pembangunan daerah. Itu sebabnya otonomi daerah kurang mampu memberikan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat daerah.

Ketiga, mengurangi tingkat legitimasi dan akseptansi masyarakat terhadap Pemda. Kewenangan yang dimiliki oleh Pemda merupakan hasil pemberian pemerintah pusat, sedangkan sumber dan pengguna akhir kewenangan tersebut adalah masyarakat daerah. Pemda merupakan suatu sistem yang mendapatkan legitimasi dan kekuasaan dari rakyat. Tanpa penyerahan kekuasaan dari rakyat melalui proses demokrasi maka tidak akan ada penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada Pemda. Jika kewenangan yang diberikan hanya memberikan kemakmuran dan kesejahteraan kepada elite dan penguasa daerah, maka lambat laun akan terjadi defisit kepercayaan masyarakat terhadap desentralisasi. Terakhir, munculnya keinginan pemerintah pusat untuk melakukan resentralisasi. Ketidakmampuan Pemda untuk melaksanakan kewenangan, rendahnya motivasi dan dukungan masyarakat, serta difisit kepercayaan masyarakat terhadap Pemda hanya akan menyebabkan justifikasi bagi pemerintah pusat unruk meresentralisasi kewenangan yang diberikan kepada Pemda.
Untuk mengeliminir akibat negatif dari penggunaan perspektif supply side, sudah saatnya pemerintah pusat melakukan rekonstruksi pemikiran desentralisasi melalui prespektif demand side. Yaitu pendekatan yang tidak hanya didasarkan pada sanksi dan otoritas pemerintah pusat dan Pemda semata, tetapi kepada pengorganisasian sendiri (self-organizing. Pendekatan desentralisasi yang berbasis demand side akanmemberikan ruang yang lebih besar bagi partisipasi masyarakat (Prasojo : 2006).


UU No. 32 Tahun 2004

Dengan berlakunya UU No. 32 Tahun 2004, hubungan kewenangan Pusat dan Daerah telah mengalami banyak perubahan. Pengaturan mengenai distribusi urusan pemerintahan mengalami perubahan yang mendasar. Pertama, urusan pemerintahan yang tidak dapat didesentralisasikan. Kelompok urusan pemerintahan ini dipandang penting bagi keutuhan organisasi dan bangsa Indonesia. Urusan pemerintahan ini meliputi politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter, fiskal nasional, yustisi dan agama. Kelompok urusan pemerintahan ini diselenggarakan menurut asas sentralisasi, dekonsentrasi kepada wakil pemerintah (gubernur) dan instansi vertikal di provinsi dan tugas pembantuan kepada daerah otonom dan desa. Kedua, urusan pemerintahan yang dapat didesentralisasikan, yaitu urusan pemerintahan di luar kelompok urusan pemerintahan yang pertama. Urusan pemerintahan ini disentralisasikan, didekonsentrasikan kepada gubernur selaku wakil pemerintah, ditugasbantukan kepada daerah otonom dan desa.

Distribusi urusan pemerintahan tersebut di atas didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi. Selanjutnya urusan pemerintahan yang didesentralisasikan, dapat bersifat wajib dan dapat pula bersifat pilihan. Dalam pustaka Inggris masing-masing urusan wajib dan urusan pilihan lazim disebut obligatory functions dan permissive functions (Hoessein : 2006)

Tidak ada komentar: