Selamat Datang

Selamat membaca artikel yang kami sajikan.

17 Juli 2008

Menaruh Harapan Kepada Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak

Oleh : Muhammad Na'im Amali

Pendahuluan

Seiring dengan makin meningkatnya peran Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai salah satu institusi publik yang memiliki tanggung jawab besar dalam menghimpun penerimaan Negara di sektor perpajakan, maka peran Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak (selanjutnya disebut Pemeriksa) juga semakin besar. Selama ini peran Pemeriksa lebih pada penegakan law enforcement terhadap Wajib Pajak yang tidak atau kurang patuh dalam melaksanakan kewajiban perpajakan dibandingkan dengan fungsi penerimaan. Walaupun masih sangat minim peranannya – hanya menyumbang sekitar 5% dari total penerimaan pajak setiap tahunnya –peran Pemeriksa untuk andil dalam menghimpun penerimaan Negara akan terus ditingkatkan.

Sebagai upaya untuk meningkatkan peran Pemeriksa sebagaimana di atas, beberapa minggu terakhir telah dilakukan mutasi dan pengangkatan pertama sebagai Pemeriksa di Lingkungan DJP. Mutasi pertama diawali dengan keluarnya Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor KEP-133/PJ/UP.53/2008 tanggal 12 Juni 2008 khusus untuk Pemeriksa golongan III ke bawah. Kedua, mutasi untuk Pemeriksa golongan IV ke atas ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan nomor 166/KMK.01/UO.11/2008 tanggal 23 Juni 2008. Dan terakhir, keluarnya keputusan Menteri Keuangan tentang pengangkatan pertama dalam jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak sesuai keputusan nomor 447/KM.1/UP.11/2008 tanggal 2 Juli 2008.

Rentetan mutasi dan pengangkatan pertama sebagai Pemeriksa mengundang harapan baru dalam era modernisasi seperti saat ini. Pemeriksa yang sebelumnya dikonotasikan sebagai jabatan yang cenderung “arogan” diharapkan akan mampu merubah diri menjadi lebih professional seiring dengan tuntutan perubahan dari masyarakat terhadap institusi DJP.

Pembekalan

Mengingat sifat kerja Pemeriksa yang mengharuskan berhadapan langsung dengan Wajib Pajak melalui kegiatan pemeriksaan, maka posisi Pemeriksa dipandang sangat rentan terhadap potensi pelanggaran Kode Etik. Banyak contoh kasus hukum yang melibatkan Pemeriksa dari kegiatan pemeriksaannya. Yang terkenal adalah kasus sebagaimana yang dimuat sebagai headline Majalah Forum dengan judul “Mafia Cincai Dirjen Pajak”.

Belajar dari kasus tersebut, Kantor Wilayah DJP Banten memandang perlu untuk segera dilakukan internalisasi kode etik sekaligus pembekalan kepada para Pemeriksa. Pembekalan ini dilakukan sehari dengan materi meliputi pemahaman tentang obyek pengawasan investigasi internal, aspek hukum dalam pemeriksaan, ketentuan KUHP yang mengatur tindak pidana, kebijakan pemeriksaan dan kebijakan pemeriksaan bukti permulaan. Untuk merealisasikan kegiatan tersebut, Kantor Wilayah DJP Banten mengundang langsung narasumber dari KPDJP, yaitu Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (KITSDA), Direktorat Peraturan Perpajakan II, Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan, serta Direktorat Intelijen dan Penyidikan.

Acara yang diadakan pada hari Selasa tanggal 8 Juli 2008 dan dimotori oleh Bidang Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak (P4) ini mengundang Pemeriksa dari Kantor Wilayah DJP Banten, Pemeriksa KPP Madya Tangerang, Pemeriksa di KPP-KPP Pratama, dan para Kepala Seksi Pemeriksaan di lingkungan Kantor Wilayah DJP Banten. Jumlah Pemeriksa yang diundang terdiri dari 115 orang, terdiri dari 8 orang golongan IV ke atas dan 107 orang golongan III ke bawah.

Ada Apa Dengan Fungsional (AADF)

Sesi I pembekalan menampilkan nara sumber dari Direktorat KITSDA yang diwakili oleh Kepala Sub Direktorat Investigasi Internal dan Kepala Seksi Internalisasi Kepatuhan. Dalam pengantarnya, Kepala Seksi Internalisasi Kepatuhan menguraikan tentang tindak lanjut atas kasus pajak pertama yang ditangani KPK, kasus Majelis Kode Etik yang pertama disidangkan, temuan Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan terkait dengan prosedur pemeriksaan pajak, serta gagasan pimpinan DJP tentang perlunya Pakta Integritas. Begitu banyak kasus hukum yang melibatkan Pemeriksa sehingga muncul pertanyaan dari KITSDA, “Ada Apa Dengan Fungsional (AADF)”.

Sedangkan Kepala Sub Direktorat Investigasi Internal lebih banyak memberi motivasi kepada Pemeriksa untuk lebih bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa serta menguraikan contoh-contoh kasus yang saat ini sedang diproses oleh Sub Direktorat Investigasi Internal. Dalam kesempatan ini juga ditegaskan bahwa Pakta Integritas belum diatur dalam ketentuan perpajakan. Perlu tidaknya Pakta Integritas dapat disesuaikan dengan kondisi masing-masing unit vertical DJP. Pada dasarnya Surat Pernyataan Bersedia Mematuhi Kode Etik Pegawai DJP sudah lebih dari cukup untuk menjaga attitude pegawai. Justru yang lebih penting adalah upaya untuk meningkatkan pemahaman dan pengamalan ajaran agama masing-masing. Jawaban tersebut diberikan sebagai respon atas pertanyaan dari Kantor Wilayah DJP Banten yang telah menerapkan Pakta Integritas untuk setiap penerbitan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) bagi pejabat fungsional pemeriksa pajak di kantor tersebut.

Perlindungan Hukum Bagi Pemeriksa

Pada Sesi II, Direktorat Peraturan Perpajakan II yang diwakili oleh Kepala Sub Direktorat Bantuan Hukum, Kepala Seksi Bantuan Hukum I dan Kepala Seksi Bantuan Hukum IV memberi pembekalan tentang aspek hukum pemeriksaan pajak.

Pemeriksaan pajak seyogyanya dilakukan dengan itikad baik serta sesuai prosedur, baik terkait dengan tata cara pemeriksaan, kewenangan dan kewajiban Pemeriksa, maupun hak dan kewajiban Wajib Pajak. Konsekuensi hukum hasil pemeriksaan dapat berpotensi terjadi pada penerbitan STP, penagihan pajak, upaya hukum yang dilakukan Wajib Pajak, pengujian baik oleh internal maupun eksternal auditor, serta pemeriksaan oleh aparat hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan KPK. Proses hukum terkait dengan tuduhan tindak pidana perpajakan memakan waktu yang sangat lama dan cukup melelahkan, meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, putusan, banding, kasasi dan peninjauan kembali.

Terdapat beberapa pasal dalam KUHP yang mengatur mengenai perlindungan hukum bagi pemeriksa, yaitu :

Pasal 50
Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana.

Pasal 51
(1) Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
(2) Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.

Kepala Sub Direktorat Bantuan Hukum mengingatkan kepada semua Pemeriksa untuk tidak segan-segan meminta bantuan hukum kepada Direktorat Peraturan Perpajakan II apabila berhadapan dengan kasus hukum, dalam hal Pemeriksa yakin bahwa telah melakukan kegiatan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.

Kebijakan Pemeriksaan

Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan yang diwakili oleh Kepala Seksi Perencanaan Pemeriksaan Wajib Pajak Badan dan Kepala Seksi Teknik Pemeriksaan memberikan pembekalan tentang Kebijakan Pemeriksaan pada Sesi III.

Pembekalan yang diberikan oleh Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan adalah pertama, kebijakan pemeriksaan. Uraian kebijakan pemeriksaan terdiri atas model kepatuhan, strategi pemeriksaan, risk based audit, target pemeriksaan UP2, mapping LP2, dan fokus pemeriksaan. Kedua, diuraikan juga ketentuan pemeriksaan terbaru sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-19/PJ/2008 dan PER-20/PJ/2008 tanggal 2 Mei 2008. Ketiga, prosedur penghentian pemeriksaan sehubungan dengan sunset policy. Dan terakhir, faktor pendukung kegiatan pemeriksaan seperti Sistem Informasi Manajemen Pemeriksaan Pajak (SIMPP).

Peran Pemeriksa dalam risk based audit adalah (1) analisis risiko yang dibuat oleh Account Representative atau Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi merupakan pre-condition yang harus ditandingkan dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Pemeriksa, (2) hasil pemeriksaan harus dapat menjawab indikasi ketidakpatuhan Wajib Pajak yang menjadi risiko penyebab dilakukannya risk-based audit. Pemeriksa juga diingatkan terhadap adanya format Nota Perhitungan baru sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ./2008 dengan penambahan kolom “Pembahasan Akhir (Disetujui)”.

Kebijakan Pemeriksaan Bukti Permulaan

Sesuai dengan Pasal 43A UU KUP 2007, pemeriksaan bukti permulaan tidak lagi menjadi ranah pemeriksaan tetapi ranah penyidikan. Namun demikian ketentuan pelaksanaan UU KUP yang terakhir masih berupa Peraturan Menteri Keuangan nomor 202/PMK.03/2007, sedangkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak dan aturan pelaksanaan lainnya masih dalam proses penyusunan.

Dalam Sesi IV, Direktorat Intelijen dan Penyidikan yang diwakili oleh Kepala Seksi Bukti Permulaan II menguraikan tentang kebijakan pemeriksaan bukti permulaan serta konsep Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Materi pembekalan secara rinci meliputi tata cara pemeriksaan bukti permulaan, SPT lebih bayar yang ditindaklanjuti dengan pemeriksaan bukti permulaan, sunset policy sesuai Pasal 37A UU KUP, alpa pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A UU KUP, kinerja tindak lanjut pemeriksaan bukti permulaan, serta konsep Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Ketentuan terbaru yang akan diatur sesuai dengan konsep Peraturan Direktur Jenderal Pajak antara lain kewajiban membuat Laporan Kemajuan, serta pembentukan Tim Penalaah di Kantor Wilayah minimal terdiri dari 3 Kepala Bidang yang salah satunya adalah Kepala Bidang P4.

Penutup

Setelah dilakukan internalisasi kode etik serta pembekalan kepada para Pemeriksa di lingkungan Kantor Wilayah DJP Banten diharapkan Pemeriksa menjadi lebih aware terhadap reformasi birokrasi yang saat ini sedang dilakukan secara serentak oleh Departemen Keuangan di semua Direktorat. Pemeriksa juga diharapkan mampu mengubah citra sebagai Fiskus yang professional sebagaimana dimimpikan oleh banyak pihak.

Dengan mengacu kepada prinsip-prinsip good governance (Gunter Felber, 2003) reformasi adminsitrasi perpajakan dengan tetap mengedepankan tujuan pemenuhan penerimaan negara dan mendorong tingkat kepatuhan sukarela, harus mengarah ke hal-hal berikut : (1) Adanya partisipasi masyarakat yang tertib sosial karena pajak pada hakikatnya dari masyarakat, oleh masyarakat, dan pada akhirnya juga untuk masyarakat (2) adanya landasan dan kepastian hukum (rule of law) pengenaan, pemungutan dan penarikan pajak, (3) adanya semangat trasparansi baik dari administrasi perpajakan, masyarakat pembayar pajak maupun para pihak yang terakit dengan sistem perpajakan, (4) semangat responsiveness, yaitu peka dan fleksibel terhadap perubahan sosial, politik, hukum, ekonomi dan kebutuhan publik, (5) keadilan (equity) dalam sistem perpajakan, (6) adanya visi strategik dari administrator pajak, (7) prinsip efektivitas dan efisiensi, di mana adminsitrasi dipandang sebagai fungsi, sistem dan institusi, (8) adanya profesionalisme dalam pelaksanaan proses pemajakan, (9) adanya semangat (budaya) akuntabilitas, di mana setiap kegiatan (pemungutan dan pembelanjaan uang pajak) dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, dan (10) adanya supervisi yang sehat.

Akhirnya, pajak adalah masalah kita semua dalam berbangsa dan bernegara, sehingga reformasi administrasi perpajakan merupakan bagian dari pembaharuan tata kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, tidak mudah mencapai keberhasilan tanpa dukungan konstruktif dari semua kelompok masyarakat tanpa terkecuali.

Tidak ada komentar: