Selamat Datang

Selamat membaca artikel yang kami sajikan.

09 Juli 2008

Perlukan Pakta Integritas?

Oleh : Muhammad Na'im Amali

Pendahuluan

Pakta Integritas menurut situs Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (www.menpan.go.id) adalah pernyataan atau janji tentang komitmen untuk melaksanakan segala tugas dan tanggung jawab sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pakta Integritas merupakan sistem ekstra yudisial – di luar hukum – namun masih dalam kerangka hukum yang berlaku, baik peraturan pemerintah maupun Undang-undang Antikorupsi. Pakta Integritas diberlakukan untuk mencegah terjadinya korupsi di jajaran birokrasi yang meliputi korupsi administrasi, korupsi dalam pengadaan barang dan jasa publik dan sebagainya.


Perlukah Pakta Integritas?

Menurut Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, korupsi tidak sepenuhnya dapat dipantau, namun dapat dikontrol melalui kombinasi etika perilaku, dan tindakan hukum yang tegas. Dalam kaitan tersebut, Pakta Integritas menjadi alat kontrol dengan menekankan asas-asas antara lain (1) tidak memikirkan diri sendiri, (2) integritas yang tinggi, (3) objektivitas, (4) akuntabilitas, (5) keterbukaan, (6) kejujuran, dan (6) kepemimpinan.

Penerapan Pakta Integritas di institusi publik diperlukan untuk memastikan bahwa semua kegiatan dan keputusan di institusi dimaksud dilakukan secara transparan. Dalam hal ini semua proyek atau pekerjaan yang dilaksanakan, jasa yang diberikan atau diterima, serta barang atau material dipasok ke institusi oleh vendor tanpa adanya manfaat atau tambahan keuntungan finansial dalam bentuk apapun di luar yang ditetapkan secara hukum.

Dengan Pakta Integritas, keputusan-keputusan yang diambil oleh para pejabat tidak dipengaruhi oleh berbagai kepentingan pihak-pihak di luar institusi. Beberapa elemen dan karakteristik dari Pakta Integritas adalah adanya proses pengambilan keputusan yang dibuat sederhana dan transparan. Dalam hal ini pernyataan atau janji dari pejabat dan karyawan yang ditandatangani, baik secara individu maupun bersama-sama dengan pihak lain dalam bentuk Pakta Integritas.


Apa Bedanya dengan Surat Pernyataan Kode Etik?

Sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-34/PJ./2007 tanggal 23 Juli 2007, Surat Pernyataan Bersedia Mematuhi Kode Etik Pegawai DJP memuat tentang pernyataan telah membaca, memahami dan bersedia mematuhi kode etik; terikat pada ketentuan kode etik; dan menyadari pengenaan sanksi apabila melanggar kode etik.

Sedangkan menurut Peraturan Menteri Keuangan RI nomor 1/PM.3/2007 tanggal 23 Juli 2003 disebutkan bahwa Kode Etik berisi kewajiban dan larangan Pegawai dalam menjalankan tugasnya serta dalam pergaulan hidup sehari-hari. Kode etik pegawai DJP disusun dengan tujuan (1) meningkatkan disiplin Pegawai, (2) menjamin terpeliharanya tata tertib; (3) menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan iklim kerja yang kondusif; (4) menciptakan dan memelihara kondisi kerja serta perilaku yang profesional; dan (5) meningkatkan citra dan kinerja Pegawai.

Jadi pada dasarnya muatan Surat Pernyataan Bersedia Mematuhi Kode Etik Pegawai hampir serupa tetapi tidak sama dengan Pakta Integritas. Yang jadi pertanyaan kemudian adalah, masih perlukah Pakta Integritas untuk Pegawai DJP? Apabila memang diperlukan, adakah dasar hukum yang mengaturnya sehingga memiliki kekuatan hukum yang dijamin oleh ketentuan.


Best Practice di Beberapa Negara dan Institusi

Isi Pakta Integritas pada umumnya memuat tentang mekanisme untuk pengaduan atas pelanggaran Pakta Integritas; pihak pemantau independen atas pelaksanaan Pakta Integritas; mekanisme insentif dan disinsentif; mekanisme penyelesaian konflik yang cepat, murah serta efisien; juga perlindungan bagi saksi pelapor. Namun demikian, isi Pakta Integritas dalam beberapa Negara dan instansi dapat berbeda-beda disesuaikan dengan kebutukan.

Negara-negara yang telah melaksanakan Pakta Integritas antara lain Meksiko, Jerman, Venezuela, India, Inggris, Brasil, Bosnia, Republik Ceko, Pakistan, Latvia, Hongkong, Malaysia, Korea Selatan dan Philipina. Bagaimana dengan Indonesia?

Dari dalam negeri, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara boleh jadi merupakan pelopor dalam menerapkan Pakta Integritas dibandingkan dengan institusi lainnya. Kepeloporan ini ditandai dengan penandatanganan Pakta Integritas yang dilakukan oleh Menteri, Taufiq Efendi, dan para pejabat terasnya. Sebut saja Deputi Bidang Pengawasan – Gunawan Hadisusilo, Asisten Deputi Pemantauan dan Evaluasi Pemberantasan Korupsi – Lukman Sukarma, dan Direktur Eksekutif Indonesia Procurement Watch – Budihardjo Hardjowijono.

Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan juga telah menerapkan Pakta Integritas dalam setiap penugasan pemeriksaan terhadap beberapa Direktorat di lingkungan Departemen Keuangan. Pakta Integritas yang dibuat memuat antara lain kewajiban dan larangan yang harus dipatuhi baik oleh Tim Pemeriksa maupun Unit yang diperiksa, mekanisme pengaduan kepada atasan langsung, pengenaan sanksi, serta komitmen untuk melakukan kerjasama dan koordinasi. Pakta Integritas ditandatangani oleh Ketua Tim Pemeriksa dan Kepala unit yang diperiksa. Bagaimana dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP)?


Penerapan di Direktorat Jenderal Pajak

Dengan semakin pentingnya peran pajak bagi penerimaan Negara maka membuat masyarakat juga semakin kritis dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja aparatur pajak di Indonesia. Apalagi sejak peristiwa ditolaknya yudicial review Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Pasal 34 UU KUP oleh Mahkamah Konstitusi diliput secara luas oleh media cetak dan elektronik. Inilah yang menjadi salah satu alasan beberapa kepala unit vertikal di Direktorat Jenderal Pajak yang kemudian menerapkan Pakta Integritas bagi seluruh pegawainya. Disisi lain, pegawai juga diwajibkan menandatangani Surat Pernyataan Bersedia Mematuhi Kode Etik Pegawai DJP. Perbedaan keduanya terletak pada materi surat dan frekuensi penandatanganan. Surat Pernyataan Bersedia Mematuhi Kode Etik Pegawai DJP ditandangani sekali setiap menempati jabatan atau kedudukan di kantor terbaru untuk semua jenis pekerjaan yang menjadi tanggung jawab pegawai yang bersangkutan. Sedangkan Pakta Integritas ditandatangani untuk setiap jenis pekerjaan, seperti penerbitan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2), Surat Keterangan Bebas (SKB), Surat Keterangan Fiskal (SKF), proses pengembalian kelebihan pembayaran pajak, dan sebagainya.

Dalam Acara Pembekalan terhadap semua Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak di Lingkungan Kantor Wilayah DJP Banten pada hari Selasa tanggal 8 Juli 2008, Kepala Sub Direktorat Investigasi Internal, Direktorat Transformasi Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (Kitsda) dengan tegas menyatakan bahwa Pakta Integritas tidak diatur dalam ketentuan. Perlu tidaknya Pakta Integritas dapat disesuaikan dengan kondisi masing-masing unit vertikal. Pada dasarnya Surat Pernyataan Bersedia Mematuhi Kode Etik Pegawai DJP sudah lebih dari cukup untuk menjaga attitude pegawai. Justru yang lebih penting adalah upaya untuk meningkatkan pemahaman dan pengamalan ajaran agama. Jawaban ini diberikan sebagai respon atas pertanyaan dari Kantor Wilayah DJP Banten yang telah menerapkan Pakta Integritas untuk setiap penerbitan SP2 bagi pejabat fungsional pemeriksa pajak di kantor tersebut.

Yang paling penting untuk dipahami adalah surat pernyataan maupun pakta tidak secara otomotis dapat menjamin attitude pegawai. Keduanya merupakan salah satu alat untuk mengatur atau mengarahkan agar attitude pegawai dapat sesuai dengan yang diharapkan.

Tidak ada komentar: