Selamat Datang

Selamat membaca artikel yang kami sajikan.

24 Agustus 2008

Membangun Pendidikan Nasional Yang Berorientasi Pada Kompetensi

Oleh : Muhammad Na'im Amali

Pendahuluan

Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dipublikasikan pada bulan Maret 2008 menunjukkan adanya tren penurunan jumlah pengangguran di Indonesia. Data ini pula yang sering digunakan oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, setiap kali berpidato untuk menunjukkan salah satu indikasi keberhasilan kepemimpinannya. Data jumlah pengangguran bulan Pebruari 2008 adalah 9.427.600 orang, lebih kecil dibandingkan dengan data bulan Pebruari 2007 yang menunjukkan 10.547.900 orang. Data jumlah penganggur terbesar terjadi pada bulan Nopember 2005 yang mencapai 11.899.300 orang (BPS : 2008).

Berdasarkan laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO) tentang Tren Ketenagakerjaan dan Sosial di Indonesia tahun 2008 ternyata menunjukkan bahwa sebanyak 4.516.100 dari 9.427.600 orang yang masuk kategori pengangguran terbuka Pebruari 2008 adalah lulusan SMA, SMK, program diploma, dan universitas. Ekonom dari ILO di Jakarta, Kee Beom Kim, bahkan mengatakan sebanyak 50,3% penganggur tahun 2007 berpendidikan SMA dan lebih tinggi. Rendahnya daya adaptasi lulusan sekolah formal memenuhi tuntutan pasar kerja kian menjadi persoalan mengatasi pengangguran.

Sebanyak 5.660.036 orang termasuk dalam kelompok pengangguran terbuka berusia 15-24 tahun. Walaupun secara umum tingkat pengangguran terbuka nasional turun, tetapi tingkat pengangguran terdidik sebenarnya terus meningkat (Kompas, 23/8/08).

Ironisnya kondisi ini berlangsung saat perekonomian Indonesia mencapai pertumbuhan tertinggi selama 10 tahun terakhir, yaitu 6,3%.


Sistem Pendidikan Berorientasi Kompetensi

Pemerintah harus secepatnya mengubah sistem pendidikan nasional ke sistem yang lebih mengutamakan kompetensi dan keahlian peserta didik. Sistem yang berjalan saat ini dinilai berkontribusi terhadap tingginya tingkat pengangguran terbuka, yang setengahnya minimal lulusan SMA ke atas.

Sistem pendidikan yang dimiliki Indonesia saat ini masih cenderung berorientasi menghasilkan lulusan yang memiliki nilai akademis sesuai norma yang ditetapkan. Bakat dan minat peserta didik terhadap suatu hal kurang mendapat perhatian. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Wakil Ketua Badan Nasional Serifikasi Profesi (BNSP), Sumarna F Abdurrahman, sistem pendidikan berbasis kompetensi yang sudah mulai berjalan masih belum optimal. Pemerintah masih lebih mengedepankan prestasi akademis dari sisi lembaga pendidikan, belum dari sisi penyerapan tenaga kerja.

Peningkatan jumlah penganggur terdidik semestinya menjadi perhatian semua pihak. Sebagai orang yang memiliki kemampuan intelektual tinggi maka tingginya penganggur terdidik bisa berpotensi memicu persoalan sosial yang sangat besar (Rekson Silaban : 2008).

Minimnya kompetensi dan keahlian lulusan sekolah formal terlihat dalam bursa-bursa kerja yang semakin sering diselenggarakan sejak tahun 2006. Meskipun peminat setiap bursa membludak, ternyata hampir 30% lowongan kerja yang tersedia tidak terisi karena pelamar tidak memenuhi kriteria pemberi kerja. Artinya, lapangan kerja tersedia tetapi kompetensi peminat tidak memenuhi persyaratan yang diminta (Erman Suparno : 2008).


Ujian Nasional

Hingga saat ini masih terjadi pro dan kontra sehubungan dengan Ujian Nasional yang telah dilakukan pemerintah untuk SD hingga SMA. Ada yang berpendapat bahwa ujian nasional tidak baik untuk anak didik, karena kelulusan siswa hanya akan ditentukan dalam 3 sampai 5 hari saat pelaksanaan ujian nasional. Sedangkan proses belajar mengajar yang telah diikuti siswa selama beberapa tahun tidak begitu banyak menjadi pertimbangan kelulusan. Berbeda dengan pendapat yang pro, bahwa kini saatnya Pemerintah menentukan standar prestasi minimal agar keberhasilan atau mutu pendidikan nasional dapat terukur dan dapat dibandingkan, baik setiap periode maupun dengan Negara lainnya.

Disadari atau tidak, salah satu ketidakberhasilan lulusan pendidikan nasional diserap oleh dunia kerja karena mutu pendidikan nasional yang masih rendah. Rendahnya mutu pendidikan akibat sekolah diberi kewenangan yang sangat besar dalam menentukan kelulusan anak didiknya. Akibatnya banyak ditemui sekolah-sekolah yang dengan sengaja meninggikan nilai akhir siswa demi membangun persepsi (image building) kepada masyarakat bahwa sekolah tersebut baik. Tujuan akhirnya adalah, sekolah berharap akan memperoleh kepercayaan dari masyarakat untuk medidik anak-anak setiap tahunnya, tanpa peduli dengan kompetensi anak-anak yang dididik.

Beberapa Negara di dunia, baik yang berbentuk Negara kesatuan maupun Negara federal, telah lama menerapkan mutu nasional. Penetapan mutu nasional ini hampir serupa dengan ujian nasional di Indonesia. Apapun kurikulum dan metode yang diberikan sekolah kepada anak didik, pada akhirnya setiap sekolah harus mampu mengikuti ujian nasional yang ditentukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah Negara federal. Dengan demikian maka kualitas nasional dapat dibangun untuk seluruh lembaga pendidikan yang ada di Negara tersebut.

Walaupun masih relatif baru, tetapi pelaksanaan ujian nasional di Indonesia seharusnya memperoleh dukungan dari masyarakat luas. Kebijakan ujian nasional pada hakekatnya adalah untuk membentuk kualitas nasional yang dapat dijadikan acuan bagi pemerintah pusat untuk terus meningkatkan program-program pendidikan.

Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, dimana kewenangan bidang pendidikan merupakan salah satu yang dilimpahkan dari pemerintah pusat kepada daerah, maka daerah seyogyanya ikut berperan mensukseskan peningkatan kualitas pendidikan nasional kita. Bukan sebaliknya, banyak gedung sekolah yang dibiarkan tanpa ada renovasi hingga beberapa tahun, banyak tenaga pengajar honorer yang tidak dimanage dengan baik sehingga berpotensi menimbulkan masalah, dan contoh-contoh lainnya.


Upaya Mengurangi Pengangguran

Sebagai salah satu upaya utnuk mengurangi tingkat pengangguran, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) berencana mengembangkan dan merevitalisasi pendidikan politeknik (Fasli Jalal : 2008). Depdiknas tengah bekerja sama dengan 14 kabupaten/kota dan satu provinsi untuk mengembangkan politeknik, dimana pemerintah daerah yang terkait sudah mengembangkan analisis kebutuhan dan pihak industri sepakat bahwa dibutuhkan lulusan-lulusan di bidang tertentu.

Tingkat pendidikan SMA ke atas juga harus terus mengembangkan kewirausahaan (entrepreneur) sebagai salah satu mata kuliah yang diajarkan dalam kelas. Selama ini kewirausahaan lebih banyak bernuansa teori, sehingga perlu dikembangkan menjadi bentuk praktik yang lebih berbobot. Mental kewirausahaan para anak didik juga harus terus ditumbuhkan agar kelak ketika lulus tidak selalu berorientasi menjadi pegawai. Salah satu bentuk yanag dapat diterapkan adalah metode achievement motivation training (AMT).

Tidak ada komentar: