Selamat Datang

Selamat membaca artikel yang kami sajikan.

13 Agustus 2008

Otonomi Daerah Dan Penyakit Tropis

Oleh : Muhammad Na'im Amali

Pendahuluan

Sejak kelahirannya organisasi negara menganut asas sentralisasi. Dengan asas tersebut pembentukan berbagai kebijakan dilakukan oleh pemerintah dan pelaksanaannya oleh aparatur pemerintah di puncak hirarki organisasi pemerintahan. Dalam organisasi negara yang besar, kerapkali dianut pula asas dekonsentrasi sebagai penghalusan sentralisasi. Pada hakekatnya dengan asas dekonsentrasi pembentukan berbagai kebijakan juga dilakukan oleh pemerintah, sedangkan pelaksanaannya oleh aparatur pemerintah yang tersebar di berbagai wilayah. Aparatur pemerintah yang melaksanakan kebijakan tersebut memperoleh pelimpahan (delegasi) wewenang dari pemerintah selaku pembentuk kebijakan. Baik sentralisasi maupun dekonsentrasi dimaksudkan untuk menjamin keseragaman kebijakan dan implementasinya dalam organisasi negara.

Pada dasarnya konsep pemerintahan umum mencakup berbagai kegiatan di luar kegiatan yang tergolong pemerintahan khusus. Pertama, menegakkan hukum dan menciptakan ketertiban masyarakat. Kedua, menciptakan stabilitas politik., Ketiga, koordinasi kegiatan antara instansi vertikal dan daerah otonom, antar daerah otonom yang lebih tinggi dan daerah otonom di bawahnya baik dalam perencanaan maupun pelaksanaannya. Keempat, pengawasan yuridis terhadap produk hukum daerah otonom yang lebih rendah. Kelima, menyeimbangkan berbagai kepentingan antar kekuatan dan antara daerah otonom dan pemerintah (balancing agent). Keenam, menyelesaikan konflik antar daerah otonom. Ketujuh, sebagai trouble shooter terhadap berbagai hambatan, gangguan dan ancaman. Kedelapan, mengupayakan kesetaraan kualitas layanan antar daerah otonom secara vertikal dan horizontal. Kesembilan, berperan memperkecil rentang kendali pemerintah pusat terhadap susunan daerah otonom yang lebih rendah.

Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Pada jaman orde baru, organisasi negara Indonesia menganut asas sentralisasi, dimana banyak kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat dan harus dilaksanakan oleh semua tingkat pemerintahan di bawahnya. Berbeda setelah jaman reformasi, organisasi negara berubah menganut asas desentralisasi atau yang secara umum disebut otonomi daerah.

Menurut PBB, pengertian desentralisasi mengandung unsur pembentukan local government atau daerah otonom di Indonesia. Unsur tersebut selalu muncul dalam pendapat para ahli pemerintahan daerah. Menurut Cheema at all (1983), bentuk lain dari desentralisasi yang disebut devolusi ”seeks to create or strengthen independent levels or units of government through devolution of functions and authority”. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Rondinelli at all (1983) bahwa devolusi adalah the creation or strengthening financially or legally of sub national units of government. Sementara Aldelfer (1964) menyatakan bahwa in decentralization, local units are established with certain powers of their own and certain fields of action in which they may exercise their own judgment, initiative, and administration. Bahkan Mawhood (1983) berpendapat bahwa pembentukan local government dalam desentralisasi dengan undang-undang dan keberadaannya terpisah dari pemerintah.

Disamping unsur pembentukan local government, desentralisasi juga berarti penyerahan wewenang dalam pembentukan kebijakan. Smith (1967) mengemukakan bahwa dalam desentralisasi, the authority to make certain decisions in some spheres of public policy is delegated by law to subnational territorial assembles (c.g. local authority). Dalam istilah Indonesia wewenang yang diserahkan kepada daerah otonom disebut wewenang pengaturan. Cara penyerahan wewenang dapat dengan ultra vires doctrine atau dapat dengan open end arrangement (general competence). Hal ini ditegaskan oleh Maddick (1963) bahwa desentralisasi adalah legal conferring of powers to discharge specified or residual functions upon formally constituted local authorities. Walaupun demikian, wewenang dan fungsi (urusan pemerintahan) yang diserahkan kepada daerah otonom (local government) terbatas dalam wewenang dan fungsi pemerintah (baca Presiden).

Pertumbuhan Penyakit Tropis

Setelah dilimpahkannya beberapa wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah seharusnya mempermudah pada penciptaan kesejahteraan masyarakat. Hal ini didasarkan karena wewenang Pemerintah Daerah untuk menentukan kebijakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat di wilayahnya semakin terbuka dan luas. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian, banyak kasus yang terjadi di Indonesia justru secara tidak langsung disebabkan oleh tidak efektifnya pelaksanaan otonomi daerah.

Contoh kasus yang terbaru adalah penyebaran jumlah penyakit tropis, seperti malaria, kusta atau lepra, dan filariasis atau kaki gajah hingga kini tidak teratasi (Kompas : 11/8). Hal ini ditandai dengan angka kasus yang dalam lima tahun terakhir tidak kunjung turun. Penyakit kaki gajah pada tahun 2000 berjumlah 4.472 penderita, tahun 2005 berdasarkan data Departemen Kesehatan RI melonjak menjadi 10.239 penderita. Penyakit kusta yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium leprae pada tahun 2001 diderita oleh 14.061 orang diseluruh Indonesia. Namun, tahun 2005 sudah naik menjadi 19.695 penderita. Sedangkan penyakit malaria, jumlah kasusnya menonjol di luar Jawa, terutama Nusa Tenggara Timur, Papua, Maluku, Nusa Tenggara Barat, dan Kepulauan Riau.

Menurut Direktur Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan, Nyoman Kandun, ada beberapa faktor yang menghambat pengendalian penyakit tropis. Hal ini antara lain karena rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi masyarakat setempat. Berbeda dengan negara-negara di Eropa yang dulunya dikenal sebagai daerah endemik kolera, cacar, dan sebagainya telah mampu mengatasi penyakit tersebut seiring dengan peningkatan taraf pendidikan dan ekonomi.

Muncul pertanyaan, kenapa masalah peningkatan penyakit tropis tersebut justru timbul ketika Indonesia menganut otonomi daerah. Kenapa ketika masih dianutnya asas sentalisasi kesehatan masyarakat Indonesia relatif lebih baik. Bukankah secara teori seharusnya tidak demikian. Hal ini lebih disebabkan karena Pemerintah Daerah pada dasarnya belum sepenuhnya siap untuk mengimplementasikan otonomi daerah. Otonomi daerah lebih dipahami sebatas pelimpahan keuangan dari pusat kepada daerah melalui mekanisme bagi hasil pajak maupun dana desentralisasi. Otonomi tidak dimaknai lebih luas sebagai pelimpahan wewenang dan tanggung jawab daerah untuk memakmurkan (efficient and effective) dan memberdayakan (local democracy) masyarakat di daerahnya.

Sungguh ironis memang, ketika seorang Menteri Kesehatan RI pernah mengakui bahwa sangat sulit untuk menjangkau apalagi menyelesaikan permasalahan kesehatan di desa dan pelosok tanah air (kasus flu burung). Tetapi sebenarnya pernyataan Menteri Kesehatan tersebut tidak dapat disalahkan dalam kasus ini. Bagaimanapun urusan kesehatan telah didesentralisasikan dari pusat kepada daerah sehingga seharusnya Pemerintah Daerah lebih bertanggung jawab terhadap kesehatan warganya. Sulitnya Departemen Kesehatan menangani masalahan kesehatan di beberapa daerah lebih disebabkan karena kendala birokratis yang ditimbulkan oleh mekanisme otonomi.

Koordinasi Pusat dan Daerah

Ada fenomena menarik ketika melihat banyak pimpinan pemerintah daerah yang memilih berhubungan langsung dengan Presiden dibandingkan melalui Gubernur terlebih dahulu. Padahal dalam konsep desentralisasi peran Gubernur juga merupakan wakil pemerintah pusat yang berada di daerah. Peran ini menuntut Gubernur untuk memberikan bimbingan dan supervisi kepada daerah-daerah di bawahnya. Namun ternyata banyak pimpinan daerah yang merasa independent (baca : otonom) sehingga tidak memerlukan keberadaan Gubernur. Bahkan dalam beberapa kasus tidak mau tunduk dengan instruksi Gubernur. Sebagai contoh adalah proses pengajuan Anggaran Penerimaan dan Pembelanja Daerah (APBD).

Fenomena di atas menunjukkan bahwa praktik otonomi daerah justru menghasilkan koordinasi yang lemah antara pusat dan daerah. Selain itu eforia politik terjadi hampir disemua daerah. Dalam setahun, warga negara dapat mengikuti hampir sebelas kali coblosan pemilu, yaitu mulai dari pemilihan kepala desa, camat, bupati, gubernur, legislatif tingkat satu dan dua, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Presiden (Eep Saefulloh : 2008). Akibatnya warga negara menjadi jenuh dan letih menghadapi demokrasi yang berlarut-larut, sementara mereka tidak merasakan dampak positif dari penyelenggaraan tersebut. Bisa dibayangkan, berapa banyak dana Negara yang digunakan untuk menyelenggarakan pemilihan ini.

Dari hasil penelitian beberapa ahli pemerintahan, sebagian besar sumber dana yang digunakan oleh pemerintah daerah berasal dari pemberian pemerintah pusat dalam bentuk dana bagi hasil pajak dan dana desentralisasi. Hanya sebagian kecil sumber dana yang diperoleh dari pendapatan asli daerah (PAD). Kondisi ini tentu sangat ironis ketika kemudian banyak daerah yang terus mengajukan pemekaran kepada DPR. Permintaan ini sangat bernuansa politis, dan jauh dari pertimbangan penciptaan kesejahteraan masyarakat.

Kesimpulan

Pemberian otonomi daerah ternyata belum mampu menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat. Otonomi daerah justru lebih banyak mendatangkan manfaat hanya bagi segelintir elite daerah. Banyaknya kasus kesehatan di Indonesia, seperti flu burung dan merebaknya penyakit tropis, tidak bisa dilepaskan dari fenomena otonomi daerah.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

mas,boleh saya minta data dan jurnal yang berkaitan dengan sunset policy untuk bahan skripsi???
klo boleh tlg kirim ke email dhea_layza@yahoo.co.id