Selamat Datang

Selamat membaca artikel yang kami sajikan.

24 Agustus 2008

Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi Pengelolaan Keuangan Daerah

Oleh : Muhammad Na'im Amali

Pendahuluan

Korupsi umumnya didefinisikan sebagai penyalahgunaan jabatan di sektor pemerintahan (misuse of public office) untuk kepentingan pribadi. Korupsi yang didefinisikan seperti itu meliputi, misalnya, penjualan kekayaan Negara secara tidak sah oleh pejabat, kickbacks dalam pengadaan di sektor pemerintahan, penyuapan, dan “pencurian” (embezzlement) dana-dana pemerintah.

Korupsi merupakan outcome, cerminan dari lembaga-lembaga hukum, ekonomi, budaya dan politik suatu Negara. Korupsi dapat berupa tanggapan atas peraturan yang berguna atau peraturan yang merugikan. Peraturan lalu lintas, misalnya, adalah peraturan yang berguna untuk mengatur ketertiban di jalan. Pelanggar aturan ini menyogok polisi lalu lintas untuk menghindari sanksi. Atau, kebijakannya memang buruk dan sengaja diadakan agar orang menyogok (Djankov, LaPorta, Lopez-de-Silanes dan Shleifer : 2003).


Tidak Ada Toleransi Bagi Koruptor

Berdasarkan data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), transfer dana dari pusat ke daerah semakin meningkat lebih dari dua kali lipat. Yang semula hanya Rp 129,7 triliun pada tahun 2004, pada APBN-Perubahan tahun 2008 melonjak menjadi Rp 292,4 triliun. Bahkan pada tahun 2009, transfer dana dari pusat ke daerah akan meningkat lagi menjadi Rp 303,9 triliun.

Meningkatnya transfer dana dari pusat ke daerah tersebut seharusnya tidak diikuti dengan peningkatan terjadinya penyimpangan, salah urus, dan tindakan korupsi di daerah. Bagaimanapun, APBN dan APBD merupakan uang rakyat yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat.

Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, saat menyampaikan keterangan pemerintah tentang kebijakan pembangunan daerah dalam Sidang Paripurna Dewan Pemerintah Daerah (DPD) di Gedung Nusantara MPR/DPR pada hari Jum’at tanggal 22 Agustus 2008 menegaskan bahwa dirinya tidak akan mentoleransi terjadinya korupsi baik di pusat maupun daerah (Kompas 23/8/2008). Presiden juga menerima masukan yang disampaikan oleh DPD terkait dengan permalahan-permasalahan daerah, diantaranya (1) adanya benturan antara peraturan dan implementasi di lapangan, (2) adanya politisasi jabatan nonpolitik pasca-pilkada, (3) kurangnya pasokan listrik, (4) kelangkaan bahan bakar minyak, (5) pertambangan, (6) kelangkaan pupuk, (7) pendidikan, dan (8) pembagian Dana Alokasi Umum (DAU).


Modus Operandi Korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengindentifikasi paling tidak terdapat 18 (delapan belas) modus operandi tindak pidana korupsi pengelolaan keuangan daerah (Antasari : 2008). Hal ini disampaikan ketua KPK, Antasari Azhar, saat mengadakan acara dengan semua gubernur, bupati, serta walikota dengan tema “Menyelamatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dengan Menggunakannya Secara Transparan”. Modus operandi yang dimaksud terdiri atas, pertama, pengusaha menggunakan pengaruh pejabat pusat untuk “membujuk” kepala/pejabat daerah mengintervensi proses pengadaan dalam rangka memenangkan pengusaha/rekanan tertentu dan meninggikan harga atau nilai kontrak dan pengusaha/rekanan dimaksud memberikan sejumlah uang kepada pejabat pusat maupun daerah.
Kedua, pengusaha mempengaruhi kepala/pejabat daerah untuk mengintervensi proses pengadaan agar rekanan tertentu dimenangkan dalam tender atau ditunjuk langsung dan harga barang/jasa dinaikkan (mark-up), kemudian selisihnya dibagi-bagikan. Ketiga, panitia pengadaan membuat spesifikasi barang yang mengarah ke merek atau produk tertentu dalam rangka memenangkan rekanan tertentu dan melakukan mark-up harga atau nilai kontrak.

Keempat, kepala/pejabat daerah memerintahkan bawahannya untuk mencairkan dan menggunakan dana atau anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya kemudian mempertanggungjawabkan pengeluaran-pengeluaran dimaksud dengan menggunakan bukti-bukti yang tidak benar atau fiktif.

Kelima, kepala/pejabat daerah memerintahkan bawahannya menggunakan dana atau uang daerah untuk kepentingan pribadi koleganya, atau untuk kepentingan pribadi kepala/pejabat daerah yang bersangkutan atau kelompok tertentu, kemudian mempertanggungjawabkan pengeluaran-pengeluaran dimaksud dengan menggunakan bukti-bukti fiktif.

Keenam, kepala daerah menerbitkan peraturan daerah sebagai dasar permberian upah pungut atau honor dengan menggunakan dasar peraturan prundang-undangan yang lebih tinggi yang tidak berlaku lagi. Ketujuh, pengusaha, pejabat eksekutif, dan pejabat legislatif daerah bersepakat melakukan tukar guling (ruislag) atas aset pemda, melakukan mark-down atas aset pemda, dan mark-up atas aset pengganti dari pengusaha/rekanan. Kedelapan, para kepala daerah meminta uang jasa (dibayar di muka) kepada pemenang tender sebelum melaksanakan proyek. Kesembilan, kepala daerah menerima sejumlah uang dari rekanan dengan menjanjikan akan diberikan proyek pengadaan.

Kesepuluh, kepala daerah membuka rekening atas nama kas daerah dengan specimen pribadi (bukan pejabat dan bendahara yang ditunjuk), dimaksudkan untuk mempermudah pencairan dana tanpa melalui prosedur. Kesebelas, kepala daerah meminta atau menerima jasa giro/tabungan dana pemerintah yang ditempatkan di bank. Kedua belas, kepala daerah memberikan ijin pengelolaan sumber daya alam kepada perusahaan yang tidak memiliki kemampuan teknis dan finansial untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.

Ketiga belas, kepala daerah menerima barang/jasa yang berhubungan dengan proses perijinan yang dikeluarkannya. Keempat belas, kepala daerah/keluarga/kelompoknya membeli lebih dahulu barang dengan harga yang sudah murah kemudian dijual kembali kepada instansinya dengan harga yang sudah di mark-up. Kelima belas, kepala daerah meminta bawahannya untuk mengangsurkan barang pribadinya dengan menggunakan anggaran daerah.

Keenam belas, kepala daerah memberikan dana kepada pejabat tertentu dengan beban pada anggaran dengan alasan pengurusan Dana Alokasi Umum (DAU) atau Dana Alokasi Khusus (DAK). Ketujuh belas, kepala daerah memberikan dana kepada DPRD dalam proses penyusunan APBD. Dan kedelapan belas, kepala daerah mengeluarkan dana untuk perkara pribadi dengan beban anggaran daerah.


Sistem Pembukuan Negara Terpadu

Untuk menciptakan good corporate governance pada pemerintah daerah, Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Anwar Nasution, meminta kepala daerah untuk segera mewujudkan sistem pembukuan Negara yang terpadu. Hanya dengan demikian pemerintah dapat mengetahui posisi keuangan maupun kondisi likuiditasnya setiap saat (Anwar : 2008).

Pemerintah daerah juga harus meningkatkan opini pemeriksaan laporan keuangannya dengan, antara lain, memperbaiki sistem pembukuan, sistem aplikasi teknologi komputer, inventarisasi aset dan utang, jadual waktu penyusunan laporan keuangan dan pemeriksaan, serta tanggung jawab anggaran. Selain itu, pemerintah daerah harus mulai berani untuk membuang kebiasaan lama pada era Orde Baru, seperti memberi “entertainment” kepada setiap pejabat pusat yang datang ke daerah.

Tidak ada komentar: