Selamat Datang

Selamat membaca artikel yang kami sajikan.

14 Maret 2008

Adilkah Rencana Pembebasan PPh atas Obligasi Global

Harian Kompas pernah memuat berita terkait Pemerintah Indonesia berencana membebaskan para pemilik obligasi berdenominasi valuta asing dari kewajiban membayar Pajak Penghasilan atau PPh atas bunga obligasinya. Atas kebijakan ini, pemerintah mengalokasikan dana Rp 800 miliar pada tahun 2008 sebagai ongkos untuk menanggung PPh tersebut.

“Langkah ini dilakukan agar obligasi internasional pemerintah setara dengan obligasi internasional negara lain. Ini dilakukan agar investor diperlakukan sama di pasar dunia, karena mereka pun pasti menanamkan modal di obligasi lain. Kebijakan ini sudah dilakukan sejak obligasi global kami terbitkan,” tutur Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan (Depkeu) Anggito Abimanyu.

Dirjen Pengelolaan Utang Depkeu Rahmat Waluyanto menambahkan, pembebasan PPh tersebut sudah dikenal sebagai praktik yang lumrah dilakukan di antara penerbit obligasi internasional. Kebijakan itu menjadi bagian dari tax treaty atau perjanjian perlakuan pajak khusus yang disepakati di antara negara-negara yang meratifikasinya. Setiap negara harus menghormati itu. Tax treaty juga dihormati dalam transaksi obligasi negara, baik di dalam negeri maupun luar negeri.

Dalam Rancangan APBN Perubahan (RAPBN-P) 2008 disebutkan, alokasi anggaran untuk menanggung PPh atas bunga obligasi itu mencapai Rp 800 miliar. Ini dilakukan agar daya saing obligasi internasional Indonesia semakin kuat sehingga bisa menembus pasar modal dunia lebih mendalam. Ini menggenapkan subsidi pajak yang diberikan pemerintah pada tahun 2008 menjadi Rp 20,1 triliun, subsidi terbesar adalah subsidi Pajak Pertambahan Nilai atas pembelian bahan bakar minyak Rp 9 triliun.

Berbeda dengan pendapat anggota Komisi XI DPR, Dradjad Wibowo, yang mengatakan ongkos yang disebabkan oleh pembebasan PPh itu malah menyebabkan kupon riil obligasi pemerintah menjadi lebih tinggi. Maka, langkah itu tidak meningkatkan daya saing obligasi valuta asing (valas). Ini sama dengan bank yang kesulitan likuiditas, lalu menawarkan deposito dengan bunga lebih tinggi dan atau memberi hadiah kepada deposan. Dari sisi politik anggaran, pembebasan PPh merupakan strategi ”mengorbankan penerimaan untuk mendapatkan utang lebih banyak”. Strategi seperti ini justru membuat negara semakin dalam terjebak dalam jebakan utang. Langkah ini bersifat distortif, tidak adil terhadap pemegang SUN Rupiah dan ORI karena mereka tetap terkena pajak final. Mengapa investor domestik tetap harus membayar pajak, sementara investor asing pajaknya ditanggung pemerintah?

Adapun Kepala Ekonom BNI A Tony Prasetiantono mengatakan, pembebasan PPh ini bisa memberi tambahan daya saing atas obligasi valas pemerintah. Itu disebabkan investor asing tidak ingin dibebani pajak.

Namun, meski obligasi valas ini menguntungkan bagi pemerintah (karena beban bunganya lebih rendah dibanding pinjaman lain), pemerintah harus hati-hati agar utang luar negeri tidak berlebihan. Jika berlebihan, kelak ketika jatuh tempo bisa membahayakan keseimbangan eksternal neraca pembayaran, ujung- ujungnya bisa mengganggu stabilitas rupiah.
Pengenaan pajak mestinya tidak boleh dilakukan secara diskriminatif, kecuali apabila diatur secara khusus dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (tax treaty) yang merupakan lex spesialist dari perlakukan perpajakan Internasional. Kita tinggal menunggu keputusan yang akan diambil oleh Pemerintah Indonesia setelah memperoleh persetujuan dari Komisi XI DPR. Mudah-mudahan apapun keputusan yang diambil nantinya tidak menciptakan ketidakadilan baru bagi pemegang Obligasi, khususnya Obligasi yang diterbitkan Pemerintah.
Kasihan kan rakyat kecil yang telah terlanjur membeli ORI....

Tidak ada komentar: