Selamat Datang

Selamat membaca artikel yang kami sajikan.

18 Maret 2008

Transfer Pricing Kembali Beraksi

Dalam beberapa hari terakhir ini, kita sering membaca di banyak media nasional yang mewartakan adanya 3 perusahaan pertambangan batu bara yang menggunakan modus operandi transfer pricing sebagai cara untuk menghindari pajak. Tunggakan pajak yang mestinya dibayar oleh ketiga perusahaan tersebut sangatlah besar, yaitu sekitar 2,5 triliun dari hasil pemeriksaan yang dilakukan untuk tahun pajak 2004 s.d 2006. Jumlah ini sangatlah fantastis, belum termasuk potensi pajak yang terutang di tahun pajak 2007. Otoritas perpajakan di Indonesia memberikan jangka waktu pelunasan kepada Wajib Pajak paling lambat Desember 2008.

Kasus serupa juga pernah terbongkar untuk perusahaan kelapa sawit, yang mengakibatkan potensi kerugian negara (baca : pajak yang harus dibayar) sebesar 1,2 triliun. Kasus di atas dapat terungkap dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh otoritas perpajakan dengan cara membandingkan penghitungan laba dan pajak yang wajib dibayar dengan perusahaan lain di sektor yang sama.

Paling tidak ada 3 modus operandi yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan pertambangan batu bara dan kelapa sawit sebagai upayanya untuk mengemplang pajak. Pertama, transfer pricing. Ini dilakukan dengan membentuk anak perusahaan di luar negeri yang kemudian mengekspor pada tingkat harga tentertu (non arm's length price) sehingga omzetnya lebih rendah dan pajak yang dibayar lebih kecil. Kedua, membeli perusahaan lain oleh pemegang saham pada kelompok usaha yang sama. Beban biaya dari perusahaan yang dibeli dimasukkan ke neraca anak perusahaan berlaba tinggi sehingga menekan laba dan akan memperkecil pajak. Ketiga, merger dengan perusahaan rugi agar beban pajak perusahaan utama dapat ditekan oleh kerugian perusahaan barunya.

Berdasarkan uraian di atas, sudah saatnya otoritas perpajakan di Indonesia membuat peraturan yang lebih ketat untuk mengantisipasi praktik transfer pricing yang sering digunakan oleh perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia. Ketentuan perpajakan yang ada telah berusia lebih dari satu dasawarsa. Tentunya hal ini tidak sejalan dengan perkembangan ekonomi global yang melaju dengan cepatnya. Tidak ada salahnya bila Indonesia mencontoh negara-negara anggota OECD atau negara-negara maju di belahan Amerika, Asia dan Afrika dalam mengatur praktik transfer pricing.

Hal lain yang tidak kalah penting adalah segera menerapkan amanat Pasal 18 UU KUP, yaitu menyelenggarakan Advance Pricing Agreement (APA). Mungkin cara inilah yang mampu meminimalisir efek dari transfer pricing. Dan disisi lain, otoritas perpajakan dituntut untuk memiliki database yang dapat dihandalkan.

Tidak ada masalah yang tanpa solusi. Tidak ada kesulitan yang tidak disertai dengan kemudahan.

Tidak ada komentar: