Selamat Datang

Selamat membaca artikel yang kami sajikan.

18 Maret 2008

Badan Arbitrase Internasional Dalam Tax Treaty

Selama ini perbedaan interpretasi terhadap ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) selalu dapat diselesaikan melalui forum Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) antara kedua competent authority.

Dalam hubungan ini dapat diberikan beberapa contoh yang menunjukkan bahwa pihak aparat perpajakan Indonesia telah keliru memberi interpretasi atas suatu ketentuan di dalam P3B yang bersangkutan. Pemberian jasa oleh perusahaan Jerman kepada IPTN (akhir 1980-an) dikenai pajak oleh salah satu Kantor Inspeksi Pajak (nama pada waktu itu) melalui pemotongan. Pada saat itu P3B dengan Jerman adalah P3B yang belum direvisi, yaitu bahwa pemberian jasa tidak masuk dalam definisi bentuk usaha tetap. Ini berarti bahwa pemberian jasa (selain jasa konstruksi dan jasa pengawasan pelaksanaan konstruksi) hak pemajakannya berada di tangan negara domisili.
Perusahaan dimaksud kemudian mengadukan hal itu kepada competent authority Jerman dan berdasarkan pengaduan tersebut competent authority Indonesia dan Jerman bertemu untuk membahas interpretasi yang benar dari transaksi tersebut berdasarkan P3B yang berlaku. Langkah ini ditempuh melalui forum prosedur persetujuan bersama. Ada beberapa contoh lagi yang terjadi dan akhirnya dapat diselesaikan melalui prosedur persetujuan bersama.
Namun, masalah yang pernah timbul tidak berkaitan dengan transfer pricing. Seperti diketahui, suatu P3B dimaksudkan, disamping untuk menghindari pengenaan pajak berganda, juga mencegah terjadinya pengelakan pajak. Dalam hal terjadi masalah transfer pricing yang menurut salah satu negara tidak mencerminkan transaksi yang arm's length, maka harga transaksi dimaksud dapat dikoreksi oleh otorita pajak negara tersebut.
Koreksi ini harus dilakukan dalam upaya menghindari pengenaan pajak berganda, karena apabila salah satu negara melakukan koreksi tetapi negara lainnya tidak mengikutinya maka yang terjadi adalah pengenaan pajak berganda. Ini diatur dalam Article 9 dari OECD Model, seperti berikut.
Article- Associated Enterprises
Where an enterprise of a Contracting State participates directly or indirectly in the management, control or capital of an enterprise of the other Contracting State, or the same persons participate directly or indirectly in the management, control or capital of an enterprise of a Contracting State and an enterprise of the other Contracting State, and in either case conditions are made or imposed between the two enterprises in their commercial or financial relations which differ from those which would be made between independent enterprises, then any profits which would, but for those conditions, have accrued to one of the enterprises, but, by reason of those conditions, have not so accrued, may be included in the profits of that enterprise and taxed accordingly.
2. Where a Contracting State includes in the profits of an enterprise of that State - and taxes accordingly - profits on which an enterprise of the other Contracting State has been charged to tax in that other State and the profits so included are profits which would have accrued to the enterprise of the first-mentioned State if the conditions made between the two enterprises had been those which would have been made between independent enterprises, then that other State shall make an appropriate adjustment to the amount of the tax charged therein on those profits. In determining such adjustment, due regard shall be had to the other provision of this Convention and the competent authorities of the Contracting State shall if necessary consult each other."
Yang jadi masalah bila salah satu negara tidak sependapat dengan koreksi negara lainnya. Pada tahap ini, sesuai dengan ketentuan Article 9, kedua competent authorities akan membahasnya. Bila pembahasan antara competent authorities tersebut tidak mencapai titik temu maka tidak ada upaya hukum lain untuk menyelesaikan masalah tersebut, sehingga yang menanggung akibatnya adalah wajib pajak.
Walaupun UU domestik masing-masing negara memberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau banding, hal itu tidak menjamin terciptanya perlakuan pajak yang adil dalam arti penerapan atas ketentuan P3B yang benar.
Dalam konteks inilah berkembang wacana untk membentuk suatu badan arbitrase internasional yang menjadi forum untuk memecahkan masalah interpretasi dari tax treaty, terutama yang menyangkut masalah transfer pricing. Namun demikian pembentukan badan arbitrase internasional tidak sederhana. Tulisan ini mencoba memberi gambaran masalah-masalah yang berkaitan dengan pembentukan badan arbitrase tersebut, yang didasarkan atas laporan yang disusun oleh International Fiscal Association (IFA).
Interaksi Dengan UU Domestik
Pembentukan suatu badan arbitrase harus mempertimbangkan interaksi dari produk hukum badan tersebut dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari sudut pandang UU Pajak Penghasilan, dalam hal surat ketetapan pajak telah diterbitkan, wajib pajak dapat mengajukan keberatan, dalam waktu tiga bulan.
Surat keberatan wajib pajak tersebut harus diberi keputusan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam waktu satu tahun. Apabila keberatan wajib pajak tersebut ditolak, maka wajib pajak dapat mengajukan banding dalam waktu tiga bulan setelah penolakan keberatan. Di tingkat banding pengadilan pajak harus memutuskan banding tersebut dalam waktu satu tahun. Jadi keseluruhan proses tersebut memerlukan kira-kira dua setengah tahun.
Kaitan masalah tersebut dengan wacana pembentukan badan arbitrase di bidang perpajakan adalah bahwa dapatkah wajib pajak menempuh upaya melalui jalur arbitrase dan secara bersamaan menempuh upaya hukum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Berkaitan dengan masalah tersebut perlu disimak ketentuan Pasal 3 dari Undang-undang Nomor 30/1999 (Undang-undang tentang Arbitrase) yang mengatur bahwa pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah memilih arbitrase sebagai jalan keluar.Selanjutnya Pasal 11 undang-undang tersebut mengatur bahwa hak-hak yang bersengketa untuk mengikutsertakan pengadilan negeri dalam menyelesaikan sengketa tersebut.
Situasi tersebut agak berbeda dalam hal terjadi suatu penetapan pajak yang menyangkut wajib pajak luar negeri. Apabila penetapan pajak dimaksud sebagai hasil dari koreksi terhadap transfer pricing, maka negara lain wajib melakukan correlative adjustment. Apabila negara yang disebut belakangan menolak melakukan adjustment maka yang terjadi adalah pengenaan pajak berganda.
Dalam situasi yang demikian maka yang menanggung akibatnya adalah wajib pajak. Sebaiknya sebelum diterbitkannya surat penetapan pajak, dibuka kesempatan melalui forum Mutual Agreement Procedure. Dan seandainya tidak dicapai kesepakatan maka masalahnya baru dapat dibawa ke badan arbitrase.
Apabila prinsip sebagaimana dikandung dalam Pasal 3 Undang-undang No. 30/1990 diadopsi maka seharusnya tindak lanjut dari produk hukum sebelumnya (yaitu surat ketetapan pajak) juga dihentikan. Disinilah letak masalah yang berkaitan dengan wacana pembentukan badan arbitrase internasional perpajakan. Jadi sebaiknya apabila badan ini terbentuk maka para pihak yang bersengketa dicegah untuk melakukan apa yang disebut "lis alibi pendens", artinya menempuh beberapa upaya hukum melalui beberapa yurisdiksi secara simultan.
Selama ini perbedaan interpretasi terhadap ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) selalu dapat diselesaikan melalui forum Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) antara kedua competent authority. Wacana pendirian suatu badan arbitrase internasional yang dilontarkan ini diarahkan kepada dua situasi, yaitu :
  • Dua pejabat berwenang tidak dapat mencapai kesepakatan atas perlakuan pajak yang diajukan oleh wajib pajak, tidak sesuai dengan interpertasinya; atau
  • bila kesepakatan yang dicapai oleh pejabat berwenang tidak sesuai dengan ketentuan P3B yang bersangkutan.
Kedua situasi tersebut akan menuju kepada interaksi dengan undang-undang domestik karena ada dua pilihan yang terbuka bagi wajib pajak. Pertama, wajib pajak mengikuti prosedur yang ada di dalam undang-undang domestik yaitu mengajukan keberatan dan apabila tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan, kemudian mengajukannya kepada pengadilan pajak, sebelum meneruskannya ke badan arbitrase. Dari sudut pandang undang-undang domestik Indonesia, seluruh proses yang harus dilalui membutuhkan waktu kurang lebih 2,5 tahun jika harus sampai kepada pengadilan pajak. Jika seandainya di pengadilan pajak juga kalah wajib pajak masih dapat mengajukannya ke badan arbitrase. Dalam hal demikian ada satu masalah yang penting yaitu proses penagihan atas tunggakan pajak. Dari sudut pandang Indonesia, masalah penagihan pajak merupakan hal yang sangat penting. Kedua, wajib pajak langsung mengajukannya kepada badan arbitrase tanpa melalui prosedur sesuai dengan yang ada di undang-undang domestik.Proses ini tidak menimbulkan masalah interaksi dengan undang-undang domestik, sepanjang di dalam persetujuan tentang badan arbitrase disebutkan syarat yang disebut "lis alibi pendens", yaitu bahwa dalam hal wajib pajak menempuh jalur arbitrase maka wajib pajak tidak dapat menempuh proses lain sebagaimana diatur dalam undang-undang domestik. 
Pihak yang bersengketa
Sebagai wacana badan arbitrase P3B merupakan bagian dari suatu P3B sehingga pihak-pihak yang bersengketa di dalam badan arbitrase adalah pejabat yang berwenang di dalam P3B dimaksud. Namun demikian, mengingat wajib pajak adalah pihak yang juga terlibat maka sebaiknya wajib pajak juga diikutsertakan.
Wajib pajak tidak dapat menjadi pihak yang bersengketa di dalam arbitrase sebab yang menjadi pihak-pihak dalam arbitrase adalah pejabat yang berwenang dari dua Negara. Tetapi harus diingat bahwa keputusan yang diputuskan oleh badan arbitrase tersebut akan menyangkut wajib pajak maka perlu komitmen dari wajib pajak tersebut untuk menghormati keputusan apapun yang dikeluarkan oleh badan arbitrase.
Di samping itu perlu ditegaskan bahwa apabila kedua pejabat berwenang memutuskan untuk membawa suatu kasus ke badan arbitrase maka keduanya harus memberikan komitmen untuk menghormati keputusan badan itu. Jumlah arbitrator yang menangani suatu kasus seperti di badan arbitrase internasional lainnya, terdiri dari satu yang ditunjuk oleh wajib pajak, dan masing-masing satu yang dicalonkan oleh kedua pejabat yang berwenang. Dengan demikian jumlahnya adalah tiga dan salah satu diantaranya dipilih sebagai ketua.
Penunjukan para arbitrator tersebut sangat erat berhubungan dengan kompetensinya. Mengingat bahwa kasus yang akan dihadapi adalah masalah yang berkenaan dengan P3B maka yang ditunjuk sebagai arbitrator harus mempunyai kompetensi yang cukup. Dalam kaitannya dengan penentuan ruang lingkup dari badan arbitrase P3B perlu klausula yang sangat jelas agar kasus-kasus yang seharusnya ditangani oleh badan tersebut tidak ditangani oleh badan peradilan lainnya. Ini sangat penting agar setiap terjadi perbedaan interpretasi terhadap perlakuan pajak dalam kerangka pelaksanaan P3B tetap berada di alur P3B.
Rumusan konsep badan arbitrase P3B
International Fiscal Association (IFA) telah mencoba melakukan riset tentang masalah ini. Hal yang sama juga dilakukan oleh OECD dan International Chamber of Commerce Commission on Taxation (badan dari EEC). Sebagai suatu wacana rumusan yang dikembangkan oleh IFA, yang diusulkan disisipkan setelah Article 25, menjadi Article 25A, yang sebagian rumusan dari ketentuan yang penting adalah sebagai berikut.
"Article 25A - Arbitration of Treaty Controversies
Binding Arbitration
If a case has been presented to the competent authority of one of the Contracting States in accordance with Article 25 and within two years following such presentation the competent authorities have not reached a mutual agreement [or if the person presenting the case to the competent authority (the "taxpayer"] considers that the agreement reached is not in accordance with this Convention], the matter shall be settled by binding arbitration in accordance with this Article and with a Memorandum of Understanding to be exchanged through diplomatic channels, which the competent authorities may from time to time modify and supplement in order better to implement the provisions of this Article.
The official seat of hearing shall be within on of the Contracting States, although the convenience arbitrators may hold the deliberations in any location.
Taxpayer Agreement to Arbitrate
Alternative 1
Arbitration will take place only if the taxpayer and the relevant associated enterprises in the other Contracting State submit in writing to such authority its agreement that the case will be subject to arbitration as provided herein and that the taxpayer and each such enterprise will be bound by any final award.
Alternative 2
A taxpayer presenting a request to the relevant competent authority must, as a condition to its consideration, submit in writing to such authority its agreement, and the agreement of each relevant associated enterprise in each relevant Contracting State, that the case will be subject to arbitration as provided herein and that the taxpayer and each such enterprise will be bound by any final award.
Alternative 3
A taxpayer submitting a case to the relevant competent authority must, as a condition of its consideration of the request, submit in writing to such authority its agreement, and the agreement of each relevant associated enterprise in the other Contracting State, that it will not bring or prosecute any judicial or administrative proceeding under the national law of either Contracting State relating to the subject matter of the case.
Arbitration will take place only if thereafter the taxpayer and each such enterprise submits in writing to both of the competent authorities its agreement that the case will be subject to arbitration as provided herein and that the taxpayer and each such enterprise will be bound by any final award.
3. Initiation of Arbitration
Arbitration may be initiated by the competent authority of either Contracting State or the taxpayer by submitting a written Request for Arbitration with the Appointing Authority designated in paragraph 5 of this Article no sooner than two (2) years and not later than four (4) years following the initial presentation of the case to the relevant competent authority."
Salah satu hal yang perlu dicatat di dalam konsep di atas adalah siapa yang berhak mengambil inisiatif untuk mengajukan kasusnya ke badan arbitrase.Yang dapat mengajukan kasusnya ke badan arbitrase P3B adalah wajib pajak atau salah satu dari pejabat yang berwenang. Karena badan arbitrase P3B ini dalam ruang lingkup arbitrase internasional maka jalurnya adalah The Permanent Court of Arbitration di Den Haag, yang bertindak sebagai "Appointing Authority" sebagaimana dimaksud di ayat 3 di atas. Badan tersebutlah yang menerima pengajuan penyelesaian sengketa dalam kaitannya dengan P3B.
Seandainya Indonesia harus menerapkan ketentuan yang mewajibkan membawa kasus P3B ke badan arbitrase P3B, maka perlu penyesuaian dengan ketentuan domestik sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan pajak.Prinsip "lis alibi pendens" harus diadopsi yaitu bahwa apabila wajib pajak memilih badan arbitrase P3B maka upaya hukum sesuai dengan ketentuan undang-undang domestik tertutup bagi wajib pajak yang bersangkutan.Perlu penyesuaian dalam undang-undang penagihan pajak mengingat jangka waktu penyelesaian oleh badan arbitrase P3B bisa panjang.
Oleh Rachmanto Surahmat
Tax PartnerPrasetio, Sarwoko & Sandjaja Consult

Tidak ada komentar: