Selamat Datang

Selamat membaca artikel yang kami sajikan.

28 Maret 2008

Pajak Mendeterminasi Bangsa

Hari-hari ini DPR kita sibuk membahas RUU perihal sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan negara kita, pajak. Sedikit sekali orang peduli dengan isu ini.

Mungkin karena pajak merupakan isu yang tidak menantang imajinasi dan cenderung dibenci semua orang. Tapi, sejatinya pajak adalah perkara besar yang menyodok hati setiap rakyat yang membayarnya sekaligus mendeterminasi konsep negara dan akhlak penguasanya.

Ada pertanyaan elementer di seputar pajak. Apa itu pajak dan untuk siapa/apa? Meski sederhana, pertanyaan ini ajaib karena dapat membuka tabir kenapa di satu pihak ada negara (seperti Indonesia) yang pejabatnya begitu korup tak peduli dengan derita rakyatnya, sementara di lain pihak ada negara (sebut Amerika) yang korupsinya terkendali, tapi gemar menyengsarakan rakyat di negara-negara lain.

Rasanya tidak satu pun dari kedua tipe tadi yang secara sosial, apalagi moral, layak jadi model negara idaman masa depan oleh rakyat mana pun di dunia ini. Lalu, negara yang seperti apa? Apa hubungan perilaku negara dan pejabatnya dengan pajak yang dipungut paksa dari rakyatnya?

Pajak adalah darah kehidupan (life blood) tubuh kekuasaan raksasa yang bernama negara. Pajak dibayar negara tegak, pajak diboikot negara ambruk. Juga ibarat makanan bagi tubuh kita. Jika makanan yang kita konsumsi halal dan baik, tubuh menjadi sehat dan kehidupan pun penuh berkah.

Sebaliknya, jika makanan yang kita konsumsi buruk lagi haram, maka tubuh akan penyakitan dan kehidupan jauh dari keberkahan. Untuk menjawab pertanyaan sederhana di atas, kita catat ada tiga konsep pajak, sekaligus tiga karakter negara yang dilahirkannya sepanjang sejarah.

1. Pajak upeti (dlaribah)

Pertama kali muncul di bumi kekuasaan, pajak dikonsepsikan sebagai upeti. Orang Arab menyebutnya maks atau yang lebih populer dlaribah, dari kata dlaraba, yang berarti 'memukul', atau memalak.

Siapa pun dipukul jelas sakit dan mengumpat, seperti sakitnya orang dipalak oleh preman di jalanan. Bedanya pukulan atau palakan berupa pajak pelakunya adalah preman berseragam, yakni aparat negara di perkantoran.

Ketika pajak dipahami sebagai upeti/palak (dlaribah), maka uang pajak jelas uang kotor, uang yang dibayar dengan umpatan dan tentunya jauh dari keberkahan. Karena itulah agaknya banyak orang tua dulu wanti-wanti anak cucunya kelak jangan menjadi pegawai pajak atau pejabat negara karena hidupnya dari uang pajak, yang haram, minimal syubhat.

Sebuah hadis Rasulullah SAW menegaskan, ''Tidak halal harta seseorang (bagi pihak lain) kecuali dari hati yang ikhlas (min thibi nafsin).'' Hadis lain: ''Tidak masuk surga orang yang memungut dan atau memakan upeti'' (HR Ibn Khuzaimah). Juga Bible: ''Pandanglah para pemungut pajak upeti itu seperti layaknya para pendosa (Lukas 5: 30), pelacur (Matius 21: 31) atau orang kafir (Matius 18:17).

Sebagai uang hasil palak, uang pajak upeti tentunya diklaim oleh penguasa negara sebagai miliknya. Jika keseluruhan uang pajak dihabiskan untuk memuaskan keperluan pribadi mereka dan keluarga, rakyat pun hanya bisa mengeluh dan mengumpat di hati. Kalau ada secuil dialokasikan untuk rakyat, itu sekadar gula-gula untuk meredam amuk mereka.

Dalam negara upeti (seperti Indonesia kini) konsep korupsi sebagai kejahatan atas keuangan negara tidak ada dalam peta kesadaran para elitenya. Jika ada yang mewacanakan itu sekadar jargon kosong untuk pergaulan belaka. Undang-Undang Anti-Korupsi boleh dibuat dan aparat pemburu korupsi boleh dibikin berlapis. Tapi, mereka pulalah justru pelaku utamanya. Negara upeti adalah negara penguasa, uang pajak upeti adalah uang penguasa, untuk keperluan penguasa.

2. Pajak imbal jasa (jizyah)

Tidak terima terus jadi objek pemerasan para raja/penguasa, sebagian rakyat pembayar pajak mulai menyadari posisinya dan memberontak. Di Inggris dengan Magna Carta-nya, di Prancis dengan revolusi sosialnya, bermuara di Amerika dengan slogannya 'No Taxation without Representation'.

Pajak boleh dipungut, tapi tidak bisa cuma-cuma. Rakyat pembayar pajak berhak ikut menentukan penggunaannya dan mendapatkan imbalan pelayanan dari negara sesuai dengan pajak yang dibayarkannya. Pajak sebagai imbal jasa (jizyah).

Lahirlah konsep negara modern yang kita kenal dewasa ini, yang ditandai dengan adanya parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat pembayar pajak. Peran utama lembaga ini adalah menyuarakan aspirasi rakyat pembayar pajak, khususnya dalam menentukan anggaran negara untuk keperluan apa/siapa pajak yang mereka bayar itu dibelanjakan (ditasarufkan). Bahkan, kemudian kepala negara/pemerintahan yang mengelola uang pajak pun dipilih oleh rakyat pembayar pajaknya.

Dalam negara imbal jasa (jizyah) ini konsep korupsi sebagai kejahatan kekuasaan pun mulai muncul. Penggunaan uang negara yang tidak sesuai dengan ketentuan formal anggaran yang disepakati bersama antara pejabat negara dan wakil pembayar pajaknya. Klaim bahwa uang pajak merupakan hak monopoli penguasa negara seperti dalam rezim negara upeti sudah tidak berlaku lagi.

Namun, perubahan konsep pajak menjadi imbal jasa (jizyah) mengidap cacat sistemik yang dapat menstrukturkan ketidakadilan antara rakyat yang kaya dan miskin. Pertama, karena konsepnya adalah imbal jasa, maka rakyat kaya pembayar pajak besar tentunya berhak mendapatkan layanan dari negara lebih besar dibanding yang diterima pembayar pajak kecil. Pada saat yang sama, rakyat miskin papa yang tidak mampu membayar pajak sama sekali, secara normatif tidak berhak menuntut apa-apa dari negara selain menunggu tetesan kedermawanan (trickledown effect) belaka dari para elitenya.

Kedua, karena negara menyadari bahwa pembayar pajak besar sangat menentukan hidup matinya negara, lebih dari siapa pun, maka negara akan berketetapan hati untuk memberikan pelayanan prima dan utama kepada mereka. Inilah basis logika kenapa negara jizyah semakin hari semakin telanjang memosisikan dirinya sebagai pelayan belaka bagi kelas kapitalisnya yang kaya raya.

Jika kepentingan kelas kapitalis ini tidak lagi bisa dicukupi dengan resource dalam negeri sendiri, maka penguasa negara jizyah pun dengan sigap membukakan jalan dan jaminan agar ketamakan mereka dapat dipenuhi dengan sumber daya milik negara-negara lain.

Dulu proses itu dilakukan dengan penjajahan fisik yang kasar. Kini dengan penjajahan halus melalui perjanjian dan kelembagaan internasional yang menggurita di berbagai bidang, terutama keuangan (dengan World Bank, IMF, dan lain-lain), dan perdagangan (melalui WTO, APEC, dan sebagainya).

Jika perangkat perjanjian dan kelembagaan internasional kurang memuaskan, maka tidak segan-segan mereka kembali ke cara primitif dengan invasi militer untuk menjarah atau mengendalikan sumber daya negara lain. Agresi militer yang sangat kasar dan berkepanjangan di kawasan Timur Tengah dan Asia Tengah yang kaya sumber daya alam adalah bukti telanjang bagaimana negara jizyah memuaskan nafsu (ketamakan) kelas kapitalis masing-masing sebagai andalan pajak jizyah-nya.

3. Pajak sedekah (zakat)

Cita-cita luhur kemanusiaan untuk menegakkan keadilan bagi semua, terutama mereka yang lemah, hanya mungkin diwujudkan oleh negara yang mampu melakukan revolusi dalam mendefinisikan pajaknya. Bukan sebagai upeti (palak/dlaribah), juga bukan sebagai imbal jasa (jizyah), melainkan sebagai 'sedekah', suatu kewajiban moral sosial bagi orang yang beriman untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi semua. Islam menyebutnya zakat, yang secara harfiyah berarti bersih dan berkembang bagi semua.
Revolusi ini bukan pada tataran teknis terkait dengan tarif dan objeknya, tapi pada makna dan konsep dasarnya, perihal apa hakikat pajak dan untuk kepentingan siapa?. Dengan revolusi pemaknaan pajak ini, maka pertama dari sudut rakyat pembayar (tax-payer), pajak akan dibayarkan dengan hati ikhlas sebagai ibadah karena Allah untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama dengan imbalan pahala berlipat di akhirat kelak.

Kedua, umpatan yang selama ini menyertai setiap momen pembayaran pajak dan membuatnya sebagai uang panas dan kotor akan digantikan dengan keikhlasan beribadah yang akan mengubah status uang pajak menjadi halal dan penuh keberkahan.

Ketiga, akan terjadi proses peralihan pada uang pajak yang dalam konsep Upeti (dloribah) atau Imbaljasa (jizyah) merupakan uang penguasa bergeser menjadi uang Allah untuk rakyat tanpa membedakan agama/keyakinannya (At-Taubah: 60). Persisnya bisa dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, pemberdayaan rakyat lemah (kaum fakir miskin, budak, orang-orang bangkrut, rehabilitasi sosial, pengungsi) sebagai prioritas utama. Kedua, biaya rutin pemerintahan sebagai aparat pelayan publik (amilin). Ketiga, public good (sabilillah) baik fisik seperti jalan, maupun nonfisik (penegakan hukum, pengembangan ilmu pengetahuan, seni budaya, dan sebagainya.

Keempat, kehadiran nama Allah dalam pembayaran setiap rupiah dari uang pajak akan menggugah ketakwaan (bukan sekadar ketakutan) pada nurani setiap aparat negara, baik pemungut maupun pengelola, untuk ekstra hati-hati agar setiap rupiah dari uang pajak yang dikelolanya dapat dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT maupun ke bawah, segenap rakyat yang membayar (muzakki), maupun yang berhak menerima manfaat (mustahiq).

Kelima, pajak sebagai panggilan iman dan kewajiban sosial ini mengundang kesadaran segenap rakyat pembayar pajak maupun rakyat penerima. Ini untuk mengontrol jalannya pemerintahan negara sedemikian rupa sehingga perilaku negara benar-benar sejalan dengan visi misinya sebagai instrumen penegak keadilan dan kesejahteraan bagi segenap rakyat yang ada dalam naungannya, apa pun warna kulit dan keyakinan agamanya (sila kelima Pancasila).

Ikhtisar:
- Niat yang benar dalam bernegara akan memastikan negara menjadi alat keadilan yang sangat menjanjikan.
- Berpajak adalah wujud paling nyata dari tindakan bernegara.

Masdar Farid Masudi
Ketua PBNU

Republika, 25 Maret 2008

Tidak ada komentar: