Selamat Datang

Selamat membaca artikel yang kami sajikan.

18 Maret 2008

Sulitnya Membuktikan Transfer Pricing

Pada sebuah media cetak belum lama ini, secara panjang lebar dimuat dugaan manipulasi pajak oleh kelompok RGM melalui Grup AA. Penghematan pajak diperoleh melalui pengalihsebaran laba usaha objek pajak Indonesia ke Hong Kong, British Virgin Island (BVI), dan Makao. Pengalihsebaran laba tersebut dilakukan melalui suatu konstruksi artifisial legal formal dengan mendirikan SPV. Perusahaan sisipan dibuat untuk memanfaatkan tarif pajak yang murah di Makao (12%), BVI (15%), Hong Kong (16%), Singapura (22%), Malaysia (28%) dan tidak ada potongan pajak atas dividen dibandingkan dengan Indonesia (pajak badan 30% dan pajak atas dividen 20%).
Dalam artikel tersebut terdapat tiga contoh pengalihsebaran (realokasi) laba. Pada transaksi 1, dalam penjualan yang sebenarnya dilakukan PT ISS (Indonesia) ke M/S ME (India) disisipkan SPV di Hong Kong dan Makao. Pada transaksi 2, dalam penjualan yang sejatinya dilakukan oleh PT SMA (Indonesia) dengan POM Sdn Bhd (Malaysia) disisipkan SPV Hong Kong dan BVI. Pada transaksi 3, dalam penjualan yang sebenarnya dilakukan PT ISS (Indonesia) kepada CG (Singapura) disisipkan SPV BVI.
Berdasarkan lampiran Keputusan Menkeu No. 650/KMK.04/1994 beberapa negara seperti Hong Kong, BVI dan Makao termasuk dalam daftar negara yang mengenakan pajak dengan tarif rendah (tax haven countries/THCs). Dalam regulasi perpajakan dimaksud transaksi yang dilakukan melalui para pihak (SPV) yang berdomisili di negara dimaksud diduga sebagai sarana rekayasa pengalihsebaran objek pajak yang seharusnya dikenakan pajak di Indonesia.
Dalam Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (3) UU Pajak Penghasilan diatur cara menangkal pengalihsebaran objek pajak dimaksud. Kalau Pasal 18 ayat (2) yang dielaborasi dengan Kepmenkeu 650/1994 di atas dan Surat Edaran Dirjen Pajak No. 22/Pj.4/1995 memberikan ketentuan pemajakan SPV di beberapa THCs dengan menentukan saat perolehan dividen wajib pajak persero Indonesia. Pada Pasal 18 ayat (3) yang (tetap) merujuk pada elaborasi dalam Surat Edaran 04/Pj.7/1993 memberikan penanganan perpajakan atas pengalihsebaran objek pajak melalui rekayasa transfer pricing (TP).
Meski sudah ada ketentuannya, dalam administrasinya sering muncul masalah mengenai data dan keterangan sebagai bukti bahwa telah terjadi pengalihsebaran objek pajak melalui rekayasa TP yang menyebabkan surat pemberitahun (SPT) diisi dengan kurang benar (jumlahnya), lengkap (unsurnya) dan jelas (sumbernya).
Untuk memberlakukan Pasal 18 ayat (2) dibutuhkan data kepemilikan SPV oleh wajib pajak Indonesia baik langsung maupun tidak langsung dan besaran jumlah laba SPV. Sementara itu, untuk menerapkan ketentuan Pasal 18 ayat (3) diperlukan data atau keterangan tentang status pihak yang bertransaksi (apakah mempunyai hubungan istimewa) dan data atau keterangan tentang jumlah objek pajak yang sewajarnya atau seharusnya (apakah harga penyerahan atau laba sudah wajar jumlahnya).

Tukar informasi
Problem utama menangkal TP adalah pembuktian berdasar data atau keterangan. Pembuktian bahwa ada minimalisasi pajak melalui rekayasa TP dalam negeri untuk menghemat Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), misalnya, jelas tidak gampang mencarinya, apalagi kalau rekayasa TP itu melibatkan SPV di beberapa negara.
Walaupun Indonesia sudah menjalin perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) dengan lebih dari 50 negara, yang di dalamnya terdapat klausul pertukaran informasi, dalam praktik kesepakatan itu belum berjalan efektif. Ini dapat dimaklumi karena pemberian data menyangkut TP justru berpotensi mengurangi penerimaan pajak negara dimaksud. Pengumpulan data dan keterangan tersebut akan lebih sulit lagi apabila SPV itu berdomisili di negara yang belum menjalin P3B dengan Indonesia. Apalagi kalau SPV itu hanya paper companies yang belum tentu terdaftar dalam administrasi pajak negara dimaksud.
Dalam kasus TP dengan penyisipan SPV di beberapa negara ini mungkin terdapat perbedaan antara data arus barang dan arus uang. Berdasar permintaan informasi dari Indonesia tersebut boleh jadi karena ada potensi penerimaan negara, terhadap SPV yang belum terdaftar tadi malah akan dilakukan ekstensifikasi (registrasi) dan sekaligus intensifikasi penerimaan oleh negara. Sehubungan dengan pengumpulan data dan keterangan, selain melalui permintaan data ke negara domisili SPV, dapat dilakukan melalui pihak penegak hukum terkait atau lembaga media masa maupun wartawan dan pihak lainnya.
Wajib pajak yang diperiksa karena TP biasanya akan pengajuan keberatan ke kantor pajak maupun banding ke pengadilan pajak. Dari beberapa putusan banding tentang sengketa TP, misalnya putusan No. 00202/204/92/052/94 tanggal 22 September 1994 menyangkut sengketa antara sebuah perusahaan farmasi dan Ditjen Pajak, wajib pajak diputus menang sehingga semua koreksi atas objek pajak dibatalkan. Ditjen Pajak kalah karena tidak bisa menunjukkan bukti di pengadilan.
Walaupun hukum pajak menganut hukum materiil yang mengedepankan substansi dibandingkan formal, dalam praktiknya tidak mudah mewujudkan aksioma tersebut, karena bukti dan keterangan formal sering dipertanyakan dalam sengketa pajak. Analisis internal data wajib pajak oleh pemeriksa rupanya belum dapat dipakai sebagai alat pembuktian dalam sengketa TP. Tampaknya yurisprudensi untuk dapat dipakai sebagai rujukan hukum oleh administrasi pajak juga masih sangat langka, sehingga lebih menambah kompleksitas kasus TP.
APA belum efektif
Untuk mereduksi kompleksitas TP, Pasal 18 ayat (3a) UU PPh menyediakan win-win solution atas kasus TP melalui perjanjian dengan wajib pajak (dan bekerja sama dengan administrasi pajak negara lain) untuk menentukan harga transaksi antarpihak yang mempunyai hubungan istimewa.
Perjanjian ini lazim disebut advance pricing agreement (APA) sebagai kesepakatan di muka atas TP untuk tujuan penghitungan objek pajak. Kalau APA ini dapat dilaksanakan tentu kedua belah pihak akan memperoleh manfaat. Administrasi pajak secara sederhana akan dapat memperoleh penerimaan pajak dengan tidak adanya perusahaan yang terus menerus rugi karena rekayasa TP.
Di lain pihak, perusahaan yang tidak akan dicurigai memanipulasi pajak, tidak harus mengorbankan waktu untuk melayani pemeriksaan pajak dan dapat membayar pajak sejumlah yang cukup beralasan dan dapat diperkirakan di muka, sehingga bisa lebih mencurahkan waktunya untuk menjalankan bisnisnya.
Namun perlu disadari bahwa karena tidak gampang untuk menyusun aturan pelaksanaan APA dimaksud, sampai saat ini belum ada aturan operasional Pasal 18 ayat (3a), sehingga mungkin banyak para pelaku bisnis dan investor yang tetap menunggu aturan pelaksanaan dimaksud untuk dapat memanfaatkan APA.
Apa yang harus diperbuat?
Dalam buku International Accounting (2002), Prof Choi dkk memperkirakan lebih dari 60% transaksi bisnis dunia dilaksanakan antarpihak yang mempunyai hubungan istimewa dan terjadi TP. Dengan demikian tentu masih banyak pelaku TP di Indonesia selain RGM dan AA Group.
Untuk memperoleh bagian penerimaan pajak yang wajar dari para pihak yang mempunyai hubungan istimewa dimaksud, rasanya dalam pembahasan RUU Perpajakan perlu diperkuat dan diwujudkan prinsip materialitas dari ketentuan perpajakan. Hal ini perlu untuk mengatasi kasus TP dan rekayasa SPV dimaksud dengan penguatan doktrin antiavoidance dan self enforcing rule.
Misalnya, dengan ketentuan pengabaian (disregards rule) atas transaksi artifisial dan SPV (untuk tujuan perpajakan transaksi dan badan dianggap tidak pernah ada), penerapan pendekatan alternatif pajak minimal (kepada beberapa perusahaan yang misalnya sudah 5 tahun tetapi lapor rugi terus sebagai ganti atas pajak yang seharusnya dibayar atas public goods yang telah dimanfaatkan).
Ditjen Pajak sendiri perlu memutakhirkan dan mempertajam ketentuan TP (Pasal 18 ayat (3) dan Surat edaran 04, mengoperasionalkan APA, mengefektifkan pertukaran informasi dengan berbagai pihak (antar Negara, lembaga penegak hukum, pihak terkait dan media massa), pembentukan basis data (kepemilikan perusahaan, harga barang dan jasa, kinerja perusahaan, dan lainnya), memperluas jaringan dan akses data pembanding (misalnya dengan departemen perdagangan, industri, bea cukai, BKPM, dan sebagainya). Selain itu, karena salah satu penyebab TP adalah kurang bersaingnya tarif pajak badan dan sistem pemajakan atas dividen di Indonesia, mungkin perlu dipertimbangkan untuk menurunkan tarif pajak badan dan meninjau ulang sistem pemajakan atas dividen. Untuk mewujudkan substance over form rule dalam ketentuan perpajakan, kiranya lembaga peradilan pajak perlu memperkaya yurisprudensi kasus TP tanpa meninggalkan keadilan dalam alokasi beban pajak.
Oleh Gunadi
Guru Besar Perpajakan FISIP UI

Tidak ada komentar: